Langsung ke konten utama

Pengertian Indonesia Asli

Oleh : Zakri Achmad


Pengaturan kembali Keppres 14 A/1980 dan Keppres 18/1981 dalam bentuk Keppres 29/1984 adalah merupakan bukti tentang konsistennya pembinaan pemerintah terhadap golongan pengusaha lemah. Sekalipun pada dasarnya Keppres-Keppres tersebut merupakan peraturan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun sejak dikeluarkannya Keppres-Keppres ini, masyarakat lebih menitikkan perhatiannya kepada masalah pembinaan golongan ekonomi lemah.

Mengapa masalah pembinaan golongan ekonomi lemah banyak dihubungkan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara tidak lain karena dalam sistem perekonomian sekarang sebagian peluang bisnis umumnya banyak tergantung dari besarnya anggaran belanja negara. Jadi pembinaan lewat jalur ini adalah sangat tepat. Apalagi dengan tujuan untuk membantu membimbing pertumbuhan serta meningkatkan kemampuan yang lebih besar bagi golongan ekonomi lemah. Bukan sekadar meratakan pembagian rezeki yang akhirnya akan memanjakan golongan ini. Menurut definisi yang telah digariskan dalam Keppres 14 A/1980, pasal 19 ayat 5, yang dikategorikan sebagai pengusaha lemah adalah:

a. sekurang-kurangnya 50% dari modal perusahaan dimiliki oleh pribumi;

b. lebih separoh Dewan Komisaris perusahaan adalah pribumi dan lebih dari separoh Direksi perusahaan adalah pribumi;

c. jumlah kekayaan bersih (netto) perusahaan adalah sebagai berikut:

  1. untuk bidang usaha perdagangan dan jasa lainnya di bawah Rp 25 juta;
  2. untuk bidang usaha industri dan konstruksi di bawah Rp 100 juta.

Termasuk dalam golongan ekonomi lemah adalah koperasi setempat yang telah memiliki unit usaha. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas masih tetap berlaku pada Keppres 18/1981.


Bersumber Undang-Undang

Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Soeharto dalam sambutan beliau pada seminar strategi Pembinaan Pengusaha Swasta Nasional tanggal 29 Mei 1975 bahwa masalah hubungan pribumi dan nonpribumi adalah masalah yang sangat peka. Selanjutnya ditambahkan oleh Presiden bahwa dengan menutup-nutupi masalah ini atau membiarkannya menjadi bahan pembicaraan tersembunyi hanya akan menumbuhkan benih ketegangan, yang mungkin dapat menjadi unsur penghambat pembangunan dan solidaritas sosial.

Yang terpenting dan perlu kita catat dari isi sambutan Presiden Soeharto tersebut ialah ajakan beliau untuk melihat persoalan ini dalam duduk persoalan yang wajar dengan membuang jauh-jauh prasangka buruk dari semua pihak dengan menyingkirkan sikap rasialis.

Berpangkal dari amanat Presiden Soeharto tersebut marilah kita mencoba mengamati Keppres No.  29/1984. Berbeda dengan Keppres-Keppres sebelumnya, istilah pribumi telah digantikan dengan istilah Indonesia asli. Yang dimaksud dengan golongan ekonomi lemah dalam Keppres yang baru ini adalah identik dengan Indonesia asli.

Indonesia asli adalah istilah resmi yang digunakan dalam UUD 1945 (pasal 6 jo pasal 26). Jadi penggunaan istilah ini sudah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban kita menjunjung tinggi dan mempertahankan UUD 1945. Lalu timbul pertanyaan mengapa baru sekarang digunakan kembali istilah tersebut? Sebagaimana telah digambarkan oleh Presiden Soeharto dalam sambutannya pada Seminar Strategi Pembinaan Pengusaha Swasta Nasional, masalah pribumi dan nonpribumi adalah suatu masalah yang sebenarnya sangat peka.

Selama ini untuk mengurangi kepekaan tersebut lahirlah berbagai istilah yang digunakan oleh pejabat pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk menggantikan istilah Indonesia asli tersebut. Apalagi pada saat sedang berpengaruhnya Baperki dan berlakunya UUDS (1950-1959), masalah yang peka ini selalu dijadikan bahan agitasi yang empuk untuk memisahkan kembali warga negara keturunan Cina dari negara kesatuan RI.

Dalam hubungan inilah, masyarakat Indonesia selalu dibuat sangsi untuk menggunakan istilah Indonesia asli, sekalipun istilah ini merupakan istilah resmi yang digunakan dalam UUD 1945 dan UU No. 3/1946 yaitu Undang-Undang mengenai warga negara dan penduduk negara.

Dengan menggeser pengertian Indonesia asli dari pengertian hukum ke pengertian biologis, pihak Baperki mencoba meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa yang namanya Indonesia asli itu tidak ada. Antara lain dilemparkan penemuan Tjekoslovak Janssky (1907) tentang golongan darah dan melalui penemuan ini ingin dicoba untuk meyakinkan masyarakat bahwa tidak ada darah asli, yang ada cuma 4 jenis golongan darah. Kemudian ditambahkan lagi dengan teori genotype yang menyatakan bahwa manusia di dunia ini hanya terdiri dari tiga ras induk yaitu Negroid, Mongoloid, dan Kaukasoid. Teori ini dibumbui lagi dengan teori tentang "mongoolse vlek" yaitu tanda biru yang banyak terdapat pada bagian pantat bayi-bayi di Indonesia. Dengan demikian sempurnalah argumentasi Baperki untuk menyatakan bahwa bangsa Indonesia itu bukan asli tetapi adalah keturunan ras mongol. Argumentasi demikian itu ternyata berhasil meyakinkan Bung Karno untuk melihat masalah Indonesia asli ini dari aspek darah sehingga dalam pidato sambutannya pada Kongres Nasional Baperki ke-VIII (14 Maret 1963) Bung Karno terpengaruh untuk menyatakan kesangsian tentang keaslian darah yang mengalir di tubuh beliau.


Menjadi Tabu

Pada Kongres Importir (KINSI) bulan Maret 1956, Mr. Assaat sebagai salah seorang pemrasaran, dalam rangka mengajukan gagasannya mengenai perlindungan khusus, mencoba memformulasikan pengusaha nasional sebagai berikut:

  1. Tiap usaha dengan 100% modal dan pimpinan warga negara Indonesia asli;
  2. Tiap usaha dengan modal dan pimpinan bersama dari warga negara Indonesia asli dan warga negara turunan asing, dengan ketentuan bahwa bagian warga negara Indonesia asli harus merupakan bagian terbanyak;

Formulasi itu pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan yang sekarang tercantum dalam Keppres 29/1984 kecuali mengenai pembatasan besarnya kekayaan bersih (netto).

Gagasan Mr. Assaat tersebut akhirnya dijadikan resolusi oleh Kongres dan disampaikan kepada pemerintah.

Ternyata hal tersebut menimbulkan reaksi hebat di kalangan Baperki dan resolusi tersebut dianggap diskriminatif dan rasialis. Menghadapi hal ini pemerintah mengambil sikap hati-hati sebagaimana tergambar dalam jawaban PM Ali Sastroamijoyo. PM Ali Sastroamijoyo menjawab pertanyaan Siau Giok Tjian pada babak pertama Keterangan Pemerintah di depan sidang DPR tanggal 16 April 1956 antara lain mengemukakan: "bantuan kepada pengusaha nasional harus diartikan bahwa Pemerintah akan memberikan perlindungan kepada mereka yang berkedudukan ekonomis lemah". 

Sejak itu, sekalipun tidak ada larangan atau anjuran, pemakaian istilah Indonesia asli dianggap menjadi tabu.


Aspek Yuridis

Pada dasarnya istilah Indonesia asli tidak ada hubungannya dengan masalah darah dan keturunan. Undang-Undang kewarganegaraan yang pertama kali dibuat yaitu UU No. 3/1946 menganut asas ius soli (asas daerah kelahiran), bukan ius sanguinis (asas keturunan).

Asas ini mungkin dilatarbelakangi oleh asas yang dianut oleh "Wet op het Nederlands Onderdaanschap van niet-Nederlands". Memperhatikan keadaan sesudah proklamasi kemerdekaan, penganutan asas ius soli ini adalah merupakan cara yang terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada waktu itu perdaftaran kelahiran belum merupakan kewajiban seluruh penduduk, terutama bagi golongan "otochtoon". Dengan demikian sukar untuk menentukan asal keturunan seseorang penduduk secara tepat. Sementara itu dalam usaha memencilkan atau mengisolir pemerintah Belanda, oleh pemerintah RI diambil kebijaksanaan untuk merangkul keturunan Eropa dan Asia menjadi kawan (Manifest Politik tertanggal 1 Nopember 1945). Enam bulan setelah keluarnya Manifest Politik tersebut lahirlah UU No. 3/1946, yang menentukan bahwa WNI terdiri dari orang-orang Indonesia asli, orang-orang Indo Eropa, Indo Asia, dan orang-orang asing yang kebetulan lahir di Indonesia. Jika orang-orang tersebut tidak menolak kewarganegaraan RI otomatis orang-orang tersebut menjadi WNI (stelsel passief).

Kebijaksanaan ini dianggap oleh sebagian tokoh politik sebagai pembagian hadiah kewarganegaraan kepada orang-orang asing. Selain itu pada waktu penyusunan UUD 1945 istilah Indonesia asli tidak menjadi masalah, terutama ketika sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan membicarakan persyaratan untuk jabatan Presiden RI. Sebagaimana dilaporkan oleh Bung Hatta selaku Ketua Panitia Persiapan tersebut dalam sidang tanggal 18 Agustus 1945 bahwa yang dihilangkan dari Rancangan UUD 1945 hanyalah 7 kata yang berasal dari Piagam Jakarta dan ketentuan yang mensyaratkan Presiden harus beragama Islam. Sedangkan ketentuan bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli tidak dipersoalkan. Akhirnya sekalipun istilah Indonesia asli dalam penjelasan UUD 1945 tidak diperinci secara mendalam namun hal itu harus dilihat dari kenyataan sejarah yang melatarbelakanginya. Menurut Indische Staatsregeling tahun 1925 (UUD-nya Hindia Belanda)--S 25, 412 jo 577, pasal 131 dan 163--struktur masyarakat waktu itu diatur menjadi 4 golongan:

  1. golongan Europeanen (orang-orang Eropa, termasuk orang Jepang);
  2. golongan Chineezen (orang-orang China);
  3. golongan Vreemde Oosterlingen (Timur Asing bukan Cina);
  4. golongan "Inlanders" (penduduk negeri).

Golongan terakhir ini disebut pula sebagai golongan penduduk otochtoon (bukan pendatang). Pembagian masyarakat menurut Undang-Undang tersebut sekaligus merupakan pembagian kelas atau kasta, dengan demikian golongan "Inlanders" adalah merupakan golongan terendah.

Dalam hubungan itu, Indonesia asli yang dimaksudkan UUD 1945 dan UU No. 3/1946 (Peraturan tentang Warga Negara dan Penduduk Negara) tidak lain ialah orang-orang yang dulunya termasuk dalam golongan Inlanders atau otochtoon tersebut. 

Dengan demikian jelas bahwa penggunaan istilah Indonesia asli pada Keppres 29/1984 bukan saja mempunyai landasan hukum yang kuat tetapi juga mempunyai nilai historis yang tinggi. Namun demikian masih perlu dilakukan penyempurnaan mengenai pengertian Indonesia asli yang terdapat pada Penjelasan Keppres tersebut, khususnya mengenai pasal 19 ayat 3.


Status Yang Disamakan

Sebagaimana dikemukakan Wertheim dalam Indonesian Society in Transition, masyarakat Indonesia sekarang ini berada dalam suatu masa peralihan. Dalam hubungan ini telah banyak terjadi perubahan status di dalam masyarakat dan untuk itu ada baiknya kalau kita memperhatikan aspek sejarah mengenai status keturunan Cina di Indonesia. Berdasarkan "Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap", kedudukan orang-orang Cina yang berada di Hindia Belanda telah disamakan (gelijkgesteld) dengan orang Belanda, kecuali kalau mereka sudah terbukti berbaur (opgelost) dengan anak negeri. Untuk menentukan apakah seseorang dapat dianggap telah berbaur diperlukan adanya kepastian (Pasal 163 ayat 3 I. S.) sama halnya dengan masalah beralih agama.

Dalam penjelasan mengenai pasal 19 ayat 5 Keppres 29/1984 diterangkan antara lain bahwa dalam rangka menciptakan pemerataan pelaksanaan pembangunan dan sekaligus untuk mendorong pembauran, untuk sementara pemberian kesempatan kepada golongan ekonomi lemah itu diberikan kepada orang Indonesia asli. Sampai di situ penjelasan ini sudah tepat, tetapi kemudian ditambah lagi bahwa "termasuk ke dalam orang Indonesia asli ialah mereka yang sudah membaur sebagai orang Indonesia asli". Kalimat terakhir ini bermakna menyamakan mereka yang sudah berbaur sebagai orang Indonesia asli.

Mengingat persamaan tersebut pada hakekatnya merupakan peralihan sosial (maatschappelijke overgang) maka seyogianya diperlukan suatu tolok ukur untuk memastikan peralihan tersebut. Hal ini menjadi sangat penting untuk dibahas dan ditentukan terutama mengingat kepastian status ini sangat dibutuhkan dan erat hubungannya dengan persyaratan jabatan Presiden RI. ***


*Zahri Achmad adalah Ketua Umum GINSI (Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia)


Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...