Langsung ke konten utama

Bagaimana Wali Mengislamkan Nusantara?

Sebuah seminar unik, akhir pekan lalu, berlangsung di Surabaya. Temanya Sejarah Perjuangan Sunan Drajat dalam Jaringan Penyebaran Islam di Nusantara. Pembukaan seminar ilmiah ini dibuka dengan tari, gamelan, dan Dandang Gulo dan Piwulang. "Ini seminar yang gayeng (semarak, red)," ujar seorang peserta dari Jakarta.

Panitia yang dimotori Bupati Lamongan HM Faried SH, tampaknya merancang pertemuan para pakar dan ulama dengan dua pendekatan, budaya dan ilmiah. Suasana itu membuat Gubernur Jatim Basofi Sudirman dan Dr Roeslan Abdulgani turut melantunkan Dandang Gulo dan Piwulang (ajaran), yang berisi wejangan dari Sunan Drajat.

Tari Sekar Giri dan Kenduran diiringi tembang Tombo Ati dan Lir Ilir membikin suasana kian semarak. Penyair asal Madura, D. Zawawi Imran, lantas membaca puisinya, Episode Gelombang, bertutur tentang kiprah para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa.

Toh, pengantar yang 'meriah' tak membuat acara tersebut kehilangan makna. Para pakar dengan berbagai sudut pandang tetap beradu argumen, membedah peran wali, khususnya Sunan Drajat, dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Asal-usul Walisongo

Keberadaan Sunan Drajat tak bisa dilepaskan dari Walisongo, sembilan wali yang berperan mengubah wajah Nusantara, khususnya Jawa yang Budha-Hindu ke Islam. Para wali yang berkiprah di abad 15-16 M tak datang tiba-tiba. Kehadiran mereka merupakan rangkaian dari proses panjang kehadiran Islam di Nusantara. Di bagian ini, Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid, menggugat teori menganggap Islam dibawa ke Nusantara oleh para pedagang Gujarat.

Menurut Gus Dur, panggilan akrabnya, para perwira muslim armada Cinalah yang menjadi perintis Islam di Nusantara. "Gelombang pertama kehadiran Islam di Nusantara datang dari perwira muslim Cina. Gelombang kedua dibawa dai asal Bangladesh yang membawa pengaruh mahzab Syafii. Pedagang Gujarat datang setelah gelombang ini menyebar. Jadi, Islam menyebar tidak dari Pasai," simpul Gus Dur.

Menurut sejarawan Prof Dr Hasan Muarif Ambary, pedagang dan perwira armada Cina memang berkunjung dan kontak dengan masyarakat Nusantara. Kontak-kontak ini semakin intens dengan kehadiran pemukiman (enclaves) di pelabuhan-pelabuhan besar Nusantara. Bahkan, banyak pemerintahan raja-raja Islam di Nusantara, kemudian hari, mengangkat muslim Cina menjadi syahbandar (kepala pelabuhan) seperti di Malaka.

"Tapi, bukan berarti Islam datang hanya lewat jalur Cina saja. Islam di Nusantara dikembangkan dari berbagai tempat dan jalur. Bukti-bukti arkeologi dan sejarah yang ditemukan membuktikannya," jelas Ambary.

Islam datang ke Nusantara, tambah Ambary, berproses sejak abad pertama Hijriah. Tapi, belum menyentuh masyarakat Nusantara. Islam mencapai bentuknya di abad ke-13, saat lahir kerajaan-kerajaan Islam. Di abad ke-16 Islam kemudian menyebar di hampir seluruh wilayah Nusantara.

Sementara, menurut Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Dr Syafiq, kehadiran para pedagang muslim sudah dimulai pada abad 7 M atau abad pertama Hijriah. Mereka mungkin ada yang menetap di sekitar pelabuhan yang mereka singgahi. "Bukan tak mungkin di antara mereka ada yang kemudian berdakwah dan mendapat pengikut sehingga ada sebagian penduduk setempat yang masuk Islam," jelasnya.

Penelusuran atas masuknya Islam di negeri ini penting dikemukakan untuk mempertegas asal-usul Walisongo, terutama keturunan Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, yang asal-usulnya masih diperdebatkan. Sebagian menyebut berasal dari Arab, terutama Hadramaut. Sebagian lagi menilai Sunan Gresik masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Ali bin Abi Thalib, keponakan sekaligus menantu Nabi Muhamad SAW. Pendapat lain menyebut ia berasal dari Gujarat (India), Iran, dan pedagang sukses.

Menurut silsilah yang dibuat oleh Solihin Salam, Syamsudduha, dan Subakir Hadikusumo, Sunan Gresik inilah yang melahirkan wali seperti Sunan Ampel (putranya), Sunan Drajat (cucu), dan Sunan Bonang (cucu). Dua putri Sunan Ampel (cucu perempuan Sunan Gresik) kemudian juga menikah dengan Sunan Kalijaga dan Sunan Giri. Seorang putri lain menikah dengan Raden Patah, pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak.

Khusus menyangkut Sunan Drajat, Syamsudduha ketua tim peneliti dan penulis Sejarah Sunan Drajat mencoba menelusuri apakah ibunya yang keturunan Campa, memang berasal dari Jeumpa, Aceh ataukah Campa di wilayah Kamboja. "Hasil penelusuran saya menunjukkan bahwa tak mungkin Campa yang dimaksud adalah Jeumpa di Aceh Timur. Besar kemungkinan adalah Campa, di Kamboja," katanya. Seperti diketahui, nenek dari Sunan Drajat atau istri dari Sunan Gresik adalah putri dari Ratu Campa, permaisuri Brawijaya, Raja Majapahit terakhir yang bernama Dewi Candrawulan.

Kiprah Wali

Peran wali dalam pengislaman di Jawa dan Nusantara amatlah besar. Dari data-data yang ada menunjukkan adanya hubungan kuat antara para wali dengan kalangan penguasa di Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. "Putra mahkota dari kerajaan Ternate berguru ke pesantren Giri. Ini menjadi petunjuk adanya hubungan tersebut," kata salah seorang tim peneliti Sunan Drajat.

Pendapat ini dibantah oleh Beryl C. Syamwil. Katanya, ada data-data lebih kuat yang menjelaskan bahwa Ternate, jauh sebelum kehadiran para wali sudah Islam.

Lepas dari itu semua, kata Ambary, jaringan dakwah atau proses sosialisasi nilai-nilai Islam di Nusantara, terbentuk dengan melibatkan peran wali. "Masalahnya kajian-kajian seperti ini masih belum optimal. Kita masih perlu untuk meneliti agar jelas dan mendalam," katanya.

Pendekatan budaya yang dilakukan oleh hampir semua wali menjadi pendorong cepatnya Islam mendapat tempat di hati umat saat itu. Contoh yang paling banyak diungkap adalah ketokohan dan peran Sunan Drajat. Sebagai putra Sunan Ampel, Sunan Drajat merupakan salah satu tokoh yang banyak membuat tembang berbahasa Jawa, yang sampai saat ini digemari masyarakat, yaitu Pangkur.

Dakwah Sunan Drajat pun tak kering dari upaya mengatasi persoalan sosial. Tema-tema dakwah yang diungkapnya selalu berorientasi kepada kegotongroyongan. Upaya mengentaskan fakir miskin dan anak-anak yatim piatu senantiasa ia lakukan di wilayah garapan dakwahnya.

"Masa itu telah terjadi kemiskinan, baik material-lahiriyah dan spiritual-bathiniyah. Karenanya, bidang garap Sunan Drajat demikian penting untuk dicontoh umat Islam di masa sekarang," ujar Dr Roeslan Abdulgani.

Seminar kali ini memang belum maksimal. Untuk itu, panitia seminar akan bekerja sama dengan MUI, Deppen, Depag, Depdikbud, ICMI, Ikatan Arkeolog Indonesia (IAI), PWI Pusat, Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Pemda Jatim menggarap seminar dalam skala lebih luas. Gunanya untuk merekonstruksi sejarah dan peran para wali dalam proses tersebut.

"Kita akan jadikan proyek ini bersifat nasional. Kita akan libatkan Pemda tingkat I, yang di wilayahnya terdapat jejak para wali," ujar Parni Hadi, Sekjen PWI Pusat yang terlibat banyak dalam seminar.

Usaha penggalian ini, setidaknya, bisa menghapus mitos dan legenda yang menyelimuti sejarah para wali. Selain itu, mudah-mudahan, bisa diungkap proses pengislaman manusia Indonesia. Apa saja yang dilakukan para wali hingga Indonesia berpenduduk mayoritas Islam? [] muarif



Sumber: Republika, 19 September 1997



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...