Cerita masa kecil Sunan Drajat bagai sebuah dongeng. Perjalanan hidupnya hingga menginjak usia dewasa sulit diperoleh. Ia tiba-tiba saja muncul di Desa Drajat, Lamongan, pada abad XVI. Hampir semua keturunan yang mengaku keluarga dekat Sunan Drajat tak ada yang menyimpan kisah lain kecuali itu.
Sunan Drajat yang bernama asli Raden Khosim adalah anak Sunan Ampel. Ketika menginjak dewasa, ia mendapat tugas menyiarkan agama Islam di sepanjang pantai utara, hingga menemukan Desa Drajat.
Di sana, kata Mohammad Said, salah seorang keluarga dekat sekaligus Ketua Yayasan Sunan Drajat, Raden Khosim tak langsung menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk yang umumnya masih berpaham Hinduisme. Khosim lebih dulu mengajarkan cara bercocok tanam, mengembangkan ekonomi guna meningkatkan taraf hidup warga setempat.
Raden Khosim semakin dikenal masyarakat Drajat setelah usaha pengembangan pertanian berhasil. Di samping itu, ia juga dikenal karena sikap dermawannya, rendah diri, suka menolong, dan tabiatnya yang sangat saleh. Kebiasaan masyarakat melantunkan tembang-tembang Pangkur pun, Khosim ikuti. Dalam waktu singkat, masyarakat Drajat dibuat tertarik pada perilaku Khosim. Tembang Pangkur ciptaannya hingga kini dihapal masyarakat luar dan sekitar.
Kegemaran menelusuri pantai dan sungai, dimanfaatkan Khosim untuk menyiarkan Islam. Dari Drajat, Raden Khosim menelusuri Babat, kemudian ke barat menelusuri sungai Bengawan Solo. Ia mengajarkan Islam kepada masyarakat secara pelan-pelan. Metode pengajarannya amat gampang diikuti santrinya.
Caranya, "Kebiasaan masyarakat Drajat melantunkan tembang-tembang dikembangkan Raden Khosim dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam. Isi Alquran diterjemahkan Raden Khosim ke dalam tembang. Intisari ajaran Islam jadi mudah dicerna masyarakat ketika itu," ujar Said.
Raden Khosim tak hanya tinggal di Drajat. Sebelum memutuskan untuk menetap lama dan menikah dengan putri Drajat, Raden Khosim meneruskan pengembaraannya menuju arah selatan hingga ke perbatasan Jawa Tengah, yaitu, Tuban. Bahkan, konon, ia mengembara sampai ke Cirebon. Bukti peninggalannya berupa sebuah masjid Cirebon.
Sejumlah anggota keluarga dekat keturunan Sunan Drajat umumnya membuat kegiatan rutin. Bentuknya, pertemuan tahunan dan reuni di tingkat lokal. Antara satu kelompok keturunan dengan yang lain tidak sama modelnya. Misalnya, keturunan dari keluarga Bojonegoro mengadakan pertemuan setahun sekali, keluarga Lamongan setahun dua kali. Ini berbeda dengan keluarga yang ada di Jombang, Surabaya, dan keluarga di Jakarta.
Keturunan Sunan Drajat terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama keturunan dari keluarga Sukandar, kedua keluarga Kyai Ghofur. Menurut Kyai Ghofur, sebagai pewaris Sunan Drajat ia meneruskan jejak Sunan Drajat menyebarkan ajaran Islam. Caranya dengan membangun Pondok Pesantren Sunan Drajat yang lokasinya di belakang makam Sunan Drajat.
Tak hanya warga Lamongan yang mengaku sebagai keturunan Sunan Drajat. Moh Said mendapat laporan yang datangnya dari Malaysia. Laporan itu menyebut bahwa di Malaysia juga ada kelompok yang mengaku keturunan Sunan Drajat. "Setelah ditelusuri ternyata sebagian dari keluarga Kyai Ghofur memang ada yang bermukim di Malaysia. Mereka di sana membentuk komunitas sebagai keturunan Sunan Drajat," jelas Said.
Bukti lainnya memang tidak ada. Jika toh ada pihak yang mengaku mempunyai hak waris, sulit dibuktikan. Warisan yang paling populer dan hingga kini masih dijalani oleh kerabat dekat Sunan Drajat, yaitu empat ajaran prinsip hidup.
Keempat ajaran itu adalah: Weneono teken marang wong kang wuto (Berilah petunjuk bagi orang buta), Weneono mangan wong kang luwe (Berilah makan bagi orang yang kelaparan), Weneono busono wong kang wudo (Berilah baju bagi orang yang telanjang), dan Weneono payung wong kang kudanan (Berilah payung bagi orang yang kehujanan).
Pertemuan keluarga, kata Said, bukan untuk membentuk kelompok eksklusif, melainkan untuk melestarikan kerukunan dan mengamalkan empat ajaran Sunan Drajat. "Empat ajaran itu tetap relevan sampai sekarang. Kami masih kesulitan melaksanakannya secara benar," ujar Said.
Semua masyarakat yang mengaku keturunan Sunan Drajat, kata Said, bisa dipastikan memiliki catatan ajarannya. Kekompakan mereka juga diwujudkan ketika Bupati Lamongan Mohamad Faried menelorkan ide membangun museum Sunan Drajat. Banyak ahli waris dari berbagai penjuru tanah air sukarela menyerahkan benda-benda yang diyakini peninggalan atau berkaitan dengan Sunan Drajat.
Pembangunan museum Sunan Drajat didanai dari APBD setempat. Tahun 1992 nilainya Rp 60 juta dan tahun 1993 Rp 98 juta. Kemudian APBD I Jatim tahun 1992 menurunkan dana sebesar Rp 100 juta. Disusul anggaran tahun berikutnya senilai Rp 131 juta. [] esa
Sumber: Republika, 14 September 1997
Sunan Drajat yang bernama asli Raden Khosim adalah anak Sunan Ampel. Ketika menginjak dewasa, ia mendapat tugas menyiarkan agama Islam di sepanjang pantai utara, hingga menemukan Desa Drajat.
Di sana, kata Mohammad Said, salah seorang keluarga dekat sekaligus Ketua Yayasan Sunan Drajat, Raden Khosim tak langsung menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk yang umumnya masih berpaham Hinduisme. Khosim lebih dulu mengajarkan cara bercocok tanam, mengembangkan ekonomi guna meningkatkan taraf hidup warga setempat.
Raden Khosim semakin dikenal masyarakat Drajat setelah usaha pengembangan pertanian berhasil. Di samping itu, ia juga dikenal karena sikap dermawannya, rendah diri, suka menolong, dan tabiatnya yang sangat saleh. Kebiasaan masyarakat melantunkan tembang-tembang Pangkur pun, Khosim ikuti. Dalam waktu singkat, masyarakat Drajat dibuat tertarik pada perilaku Khosim. Tembang Pangkur ciptaannya hingga kini dihapal masyarakat luar dan sekitar.
Kegemaran menelusuri pantai dan sungai, dimanfaatkan Khosim untuk menyiarkan Islam. Dari Drajat, Raden Khosim menelusuri Babat, kemudian ke barat menelusuri sungai Bengawan Solo. Ia mengajarkan Islam kepada masyarakat secara pelan-pelan. Metode pengajarannya amat gampang diikuti santrinya.
Caranya, "Kebiasaan masyarakat Drajat melantunkan tembang-tembang dikembangkan Raden Khosim dengan memasukkan ajaran-ajaran Islam. Isi Alquran diterjemahkan Raden Khosim ke dalam tembang. Intisari ajaran Islam jadi mudah dicerna masyarakat ketika itu," ujar Said.
Raden Khosim tak hanya tinggal di Drajat. Sebelum memutuskan untuk menetap lama dan menikah dengan putri Drajat, Raden Khosim meneruskan pengembaraannya menuju arah selatan hingga ke perbatasan Jawa Tengah, yaitu, Tuban. Bahkan, konon, ia mengembara sampai ke Cirebon. Bukti peninggalannya berupa sebuah masjid Cirebon.
Sejumlah anggota keluarga dekat keturunan Sunan Drajat umumnya membuat kegiatan rutin. Bentuknya, pertemuan tahunan dan reuni di tingkat lokal. Antara satu kelompok keturunan dengan yang lain tidak sama modelnya. Misalnya, keturunan dari keluarga Bojonegoro mengadakan pertemuan setahun sekali, keluarga Lamongan setahun dua kali. Ini berbeda dengan keluarga yang ada di Jombang, Surabaya, dan keluarga di Jakarta.
Keturunan Sunan Drajat terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama keturunan dari keluarga Sukandar, kedua keluarga Kyai Ghofur. Menurut Kyai Ghofur, sebagai pewaris Sunan Drajat ia meneruskan jejak Sunan Drajat menyebarkan ajaran Islam. Caranya dengan membangun Pondok Pesantren Sunan Drajat yang lokasinya di belakang makam Sunan Drajat.
Tak hanya warga Lamongan yang mengaku sebagai keturunan Sunan Drajat. Moh Said mendapat laporan yang datangnya dari Malaysia. Laporan itu menyebut bahwa di Malaysia juga ada kelompok yang mengaku keturunan Sunan Drajat. "Setelah ditelusuri ternyata sebagian dari keluarga Kyai Ghofur memang ada yang bermukim di Malaysia. Mereka di sana membentuk komunitas sebagai keturunan Sunan Drajat," jelas Said.
Bukti lainnya memang tidak ada. Jika toh ada pihak yang mengaku mempunyai hak waris, sulit dibuktikan. Warisan yang paling populer dan hingga kini masih dijalani oleh kerabat dekat Sunan Drajat, yaitu empat ajaran prinsip hidup.
Keempat ajaran itu adalah: Weneono teken marang wong kang wuto (Berilah petunjuk bagi orang buta), Weneono mangan wong kang luwe (Berilah makan bagi orang yang kelaparan), Weneono busono wong kang wudo (Berilah baju bagi orang yang telanjang), dan Weneono payung wong kang kudanan (Berilah payung bagi orang yang kehujanan).
Pertemuan keluarga, kata Said, bukan untuk membentuk kelompok eksklusif, melainkan untuk melestarikan kerukunan dan mengamalkan empat ajaran Sunan Drajat. "Empat ajaran itu tetap relevan sampai sekarang. Kami masih kesulitan melaksanakannya secara benar," ujar Said.
Semua masyarakat yang mengaku keturunan Sunan Drajat, kata Said, bisa dipastikan memiliki catatan ajarannya. Kekompakan mereka juga diwujudkan ketika Bupati Lamongan Mohamad Faried menelorkan ide membangun museum Sunan Drajat. Banyak ahli waris dari berbagai penjuru tanah air sukarela menyerahkan benda-benda yang diyakini peninggalan atau berkaitan dengan Sunan Drajat.
Pembangunan museum Sunan Drajat didanai dari APBD setempat. Tahun 1992 nilainya Rp 60 juta dan tahun 1993 Rp 98 juta. Kemudian APBD I Jatim tahun 1992 menurunkan dana sebesar Rp 100 juta. Disusul anggaran tahun berikutnya senilai Rp 131 juta. [] esa
Sumber: Republika, 14 September 1997
Komentar
Posting Komentar