Langsung ke konten utama

Konsensus Kebangkitan Bangsa

Oleh FAROUK MUHAMMAD

Momentum kebangkitan nasional yang diperingati bangsa Indonesia setiap tanggal 20 Mei hendaknya menjadi sarana bagi kita bersama untuk melakukan refleksi kritis dan konstruktif terhadap kondisi kebangsaan kita saat ini dan masa depan. Dan, hal ini seyogianya dimulai dari satu kesadaran sejarah tentang akar-akar fondasional Indonesia merdeka sehingga kita tidak menjadi bangsa yang tunasejarah dan tunawarisan kebangsaan--yang seharusnya kita pelihara dan tumbuh kembangkan dalam dimensi kekinian.

Apa tujuan Indonesia merdeka? Kita dapat menemukannya dalam Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, jika kita tanya kepada Bung Karno, kita tahu jawabnya melalui pidatonya tahun 1963 yang sangat terkenal diberi judul "Trisakti", yaitu: berdaulat secara politik, berberdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.

Lalu, jika ada pertanyaan, apa karakter dan watak asli bangsa Indonesia? Kita menemukan jawabannya pada lima sila Pancasila. Konsensus para pendiri bangsa mendudukkan Pancasila sebagai falsafah dan norma dasar (ground norm) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (philosophische grondslag) 

Pertama, Indonesia bangsa yang religius karena secara deklaratif mendasarkan diri atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Indonesia memiliki paham kemanusiaan universal yang mengatasi sekat-sekat negara dan kebangsaan. Ketiga, Indonesia dibangun di atas persatuan. Justru karena kesadaran akan keberagaman, kita memilih untuk bersatu sebagaimana semboyan kita Bhinneka Tunggal Ika. Keempat, bangsa Indonesia mengembangkan demokrasi yang khas dengan mengedepankan musyawarah dan perwakilan. Ia bukan demokrasi liberal bukan pula totaliter. Kelima, seluruh sila dibingkai dengan semangat kolektivisme (keadilan sosial) yang mesti dirasakan oleh seluruh warga bangsa dari Sabang hingga Merauke.

Realitas kebangsaan

Hari ini, kebangsaan kita menghadapi permasalahan dan tantangan yang tidak mudah dan cenderung menyimpangi tujuan dan konsensus Indonesia merdeka. Merebak berbagai fenomena kehidupan yang regresif dan destruktif, mulai dari narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, intoleransi, terorisme, radikalisme, separatisme, perilaku koruptif, perilaku permisif, konflik sosial, kekerasan etnis, hingga lunturnya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Permasalahan itu, jika semakin buruk, bisa mengarahkan Indonesia menjadi negara gagal (failed state). Tentu kita tidak berpretensi mengatakan Indonesia menjadi negara gagal, tetapi sinyal-sinyal ke arah sana tetap harus diwaspadai dan disikapi serius. Sinyal itu, selain tampak dari permasalahan riil di atas, juga dari fenomena disparitas ekonomi, yang antara lain terlihat dalam bentuk ketimpangan kaya dan miskin yang menganga dan jarak kesejahteraan yang terlalu jauh antara daerah maju dan tertinggal. 

Jika kita kaji lebih mendalam, permasalahan dan tantangan kebangsaan kita datang dari faktor internal dan eksternal. Secara internal, Reformasi 1998 membawa angin perubahan berupa kebebasan (liberasi) dan demokratisasi yang menghasilkan perubahan sistem politik ketatanegaraan dalam segenap aspeknya. Pada saat yang sama muncul ekses (negativitas) berupa gejala primordialisme, sektarian, kebebasan yang kebablasan yang melemahkan ikatan (bonding) kita sebagai bangsa.

Sementara itu, secara eksternal dunia berkembang begitu pesat akibat globalisasi, yang menembus batas negara (borderless), pergaulan dan hubungan antarbangsa dan antarwarga tidak lagi dibatasi negara (terra in cognita kata Alvin Tofler) akibat perkembangan teknologi informasi yang luar biasa. Akibatnya, invasi dan involusi budaya, nilai, identitas dominan dunia yang (mungkin) berbeda atau bertentangan dengan identitas karakter bangsa tidak dapat dihindari lagi.

Generasi muda bangsa mengalami fase transisi yang cukup rumit. Nilai/norma lama bangsa belum mereka tangkap lalu hadir reformasi dan globalisasi yang menawarkan nilai/norma baru yang lebih menarik dan "trendi", tetapi mereka belum sempat menghayati sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru. Inilah yang disebut sebagai kondisi ketidakpastian atau anomie (Durkheim 1897, Merton dalam Ritzer 2007, hal 251-257). Pun, acap kali institusi negara belum sempat menyesuaikan nilai/norma lama dengan kekinian.

Akibatnya, terjadi kerentanan dalam kepribadian generasi muda bangsa. Mereka menjadi pragmatis dan kehilangan idealisme sebagai anak bangsa. Sebagian menikmati liberalisasi dan gaya hidup kosmopolitan, sebagian lagi terlena dalam perilaku koruptif yang menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi/golongan, sebagian terjerumus dalam dekadensi moral (akhlak) seperti kejahatan, seks bebas, pornografi/pornoaksi, kekerasan seksual, dan sebagian lain ada yang frustrasi dan hilang harapan (hopeless) terlibat dalam tindakan radikalisme (Merton, 1938). 

Program pemerintah yang berfokus pada pembangunan infrastruktur sebagai upaya mempersatukan Indonesia secara fisik patut dihargai. Pembangunan infrastruktur fisik penting, tetapi sejalan dengan itu pemimpin/pemerintah juga harus melakukan pembangunan watak dan karakter bangsa. Laiknya, upaya Presiden Soekarno melakukan pembangunan karakter (character building) melalui Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi), yang antara lain berisi Pancasila, UUD 1945, dan Manipol Usdek. Atau, Presiden Soeharto melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau pengajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP)--betapapun di kemudian hari mengalami peyorasi.

Pemerintah saat ini sebenarnya juga telah mencanangkan program "revolusi mental" untuk merevitalisasi nilai-nilai kebangsaan, hanya saja tanpa didukung oleh struktur dan instrumen yang sesuai sebagai medan aktualisasinya tetap saja penyakit yang menyerang keindonesiaan masih tetap menyisakan permasalahan kebangsaan.

Kondisi kebangsaan hari ini mencerminkan dua blok. Satu pihak mengagungkan kebebasan dan hak asasi manusia (kelompok liberal). Sementara pihak lain menginginkan kembali kepada jati diri kebangsaan. Pertentangan ini menghasilkan turbulensi yang pada gilirannya mengantarkan kita pada kondisi disharmoni dan disorganisasi. Terlebih lagi, ditambah isu aktual kebangkitan komunis (PKI) dan merebaknya dekadensi moral (akhlak) yang menyulut kemarahan publik, yang dapat kita simak melalui berbagai media sosial. Jika tak disikapi dengan tepat, hal ini akan melengkapi pemicu-pemicu lain yang dapat mengarah pada disintegrasi bangsa. Puncaknya, kita merasakan bangsa ini sedang sakit karena turbulensi sosial yang nyaris tak terkendali.

Tawaran solusi

Realitas permasalahan kebangsaan yang diuraikan sebelumnya tidak bisa lagi diobati dengan naspro atau antibiotik, tetapi harus dioperasi (tindakan besar-mendasar). Maknanya tidak bisa lagi diselesaikan dengan undang-undang atau kebijakan formal, tetapi harus dengan pendekatan nonformal melalui "konsensus nasional" di antara tokoh bangsa seperti sejarah kebangkitan nasional kita, sejak Sumpah Pemuda 1928, upaya-upaya kemerdekaan melalui PPKI dan BPUPKI, hingga deklarasi kemerdekaan dan pembentukan konstitusi negara pada Agustus 1945.

Demikian pula, momentum reformasi tahun 1998 selalu diawali dengan konsensus nasional oleh tokoh-tokoh bangsa sebelum diformulasikan melalui lembaga-lembaga supra struktural.

Jika ditelisik, akar masalah kebangsaan kita bersumber dari degradasi rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (responsibility) terhadap publik dan negara (responsible freedom), kelangkaan elite pemimpin negarawan sebagai pemberi teladan dan penjaga moral kebangsaan, haluan negara yang bergeser dari nilai-nilai Pancasila ke nilai-nilai liberal, ketimpangan pembagian wilayah yang berorientasi jumlah penduduk, serta kepemimpinan nasional yang terbelenggu oleh prosedur formal.

Untuk itu, penulis menawarkan gagasan solusi yang dilandasi konsep bangsa yang Pancasilais, bukan serta-merta meniru bangsa lain, dengan mengkaji dan menata kembali sejumlah pilar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pertama, untuk mengendalikan kebebasan yang kebablasan bahkan menggerogoti nilai-nilai Pancasila perlu memberi keseimbangan yang proporsional antara hak dan kewajiban, bukan saja pada level perorangan, tetapi juga kewajiban untuk bersama-sama menegakkan nilai-nilai publik dengan menyemarakkan tindakan korektif serta kewajiban berkontribusi bagi kepentingan publik.

Kedua, mengembangkan konsep yang memberikan bobot substansial daripada sekadar prosedural dan formalitas, baik dalam berdemokrasi maupun dalam menegakkan hukum. Dalam berdemokrasi, mekanisme pemilihan baik legislatif maupun eksekutif harus lebih memberikan bobot pada aspek kualitas daripada popularitas dan finansial sehingga mampu menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang negarawan. Dalam penegakan hukum, pencapaian keadilan substansial harus lebih diutamakan daripada keadilan prosedural, termasuk dengan mengefektifkan mekanisme pengawasan masyarakat dan mengembangkan kepedulian publik untuk melakukan tindakan korektif terhadap setiap penyimpangan terkait norma kehidupan bersama.

Ketiga, penataan kembali pranata-pranata tersebut di atas menuntut perubahan yang signifikan dalam menentukan kebijakan dasar sebagai haluan negara yang akan menjiwai segenap program pembangunan dan peraturan perundangan-undangan. Keempat, kepentingan untuk menata kembali sistem perwakilan (parlemen) merupakan suatu keniscayaan; sementara itu sebagai perwujudan dari negara yang menjunjung nilai "kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan", kedudukan dan komposisi keanggotaan MPR perlu ditinjau kembali.

Terakhir, kelima, keseluruhan langkah yang direkomendasikan di atas akhirnya menuntut kehadiran kepemimpinan nasional (sistem presidensial) yang kuat dan berani mengambil tindakan-tindakan korektif yang tegas terukur dalam memimpin proses perubahan.

FAROUK MUHAMMAD
Wakil Ketua DPD RI



Sumber: Kompas, 24 Mei 2016



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...