Langsung ke konten utama

Cirebon dalam Kajian Jawa dan Islam

ABAD ke-14/15 Masehi merupakan tonggak awal Cirebon sebagai pemerintah baru di tanah Jawa dan Pasundan. Pewarisan kekuasaan politik dari Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah babak baru kekuasaan agama-politik di nusantara kala itu. Pangeran Cakrabuana dikenal juga dengan nama Ki Cakrabumi, Raden Walang Sungsang, Mbah Kuwu Cirebon, Haji Abdullah Iman, dan Ki Samadullah. Serah terima jabatan pemerintahan mereka merupakan contoh peralihan kekuasaan yang sangat damai di tengah hiruk pikuk perebutan kursi panas di kerajaan-kerajaan nusantara.

DALAM naskah yang selesai ditulis 1720 Masehi oleh Pangeran Arya Carbon, nama Cirebon disebut berasal dari kata sarumbun, lalu dikatakan menjadi caruban, akhirnya menjadi carbon (Cirebon). Oleh Walisongo, negeri Cirebon disebut dengan negeri puser bumi, juga disebut dengan negeri yang ada di tengah bumi Pulau Jawa. Oleh anak negeri, Cirebon dinamai dengan Nagari Gede (Kota Besar). Seiring dengan waktu, sebutan itu berubah menjadi Garage, dan saat ini menjadi Grage. Kata caruban bermakna campuran (Atja, 1986: 88), berasal dari fakta sosial lainnya, di mana berbagai etnis belahan dunia sudah pernah tinggal di Cirebon, seperti Arab dan Tionghoa.

Penyebutan puser bumi (pusat dunia) bagi Cirebon, menandakan bahwa tempat itu sangat penting. Relasi Cirebon dengan Jawa sudah tercipta sejak kerajaan Islam di Demak. Salah satunya pada masa Sultan Trenggana, Sultan Demak III (1521-1546). Dalam Naskah Kuningan (Wahju, 2007) disebutkan Sultan Trenggana belajar kepada Sunan Gunung Jati tentang "sifat sejati". Dalam teks beraksara pegon dengan bahasa Jawa kuno dialek Jawa dan Sunda, dituliskan, "angungsi ingkang sipat sajati, Susunan Jati asambada, amedor wisik jatine, dumateng ing Sultan Demak, mangkana kang pangandika, jenenging Pangeran iku, ya Sirr Jati Iman Tunggal."

Ada penghormatan luar biasa Sultan Trenggana kepada Sunan Gunung Jati. Buktinya, salah seorang putrinya dijodohkan kepada salah seorang putra Sunan Gunung Jati, Ratu Nyawa dinikahkan dengan Pangeran Sedang Lautan. Karena Pangeran Sedang Lautan meninggal dunia, lalu Ratu Nyawa dinikahkan lagi kepada iparnya, Pangeran Pasarean. Hasil pernikahan dengan Pangeran Pasarean inilah yang melahirkan keturunan raja-raja Cirebon berketurunan Demak.

Saling membantu dan kerja sama antara Cirebon dan kerajaan Islam di Jawa juga tetap berlanjut hingga ke Mataram, termasuk melalui model jalinan perkawinan. Di tengah era keemasan kerajaan Islam di Mataram, era Sultan Agung (1613-1645), Mataram sebagai bagian dari kerajaan Islam di Jawa, seperti juga Demak, sangat menghormati Cirebon, bahkan tidak bermaksud untuk menguasai Cirebon, karena Sultan Agung sangat menghormati Raja Cirebon, Panembahan Ratu I (1570-1649) sebagai gurunya.

Setelah Sultan Agung (Sunan Amangkurat I, 1645-1677), Mataram ternyata bekerja sama dengan kompeni untuk menahan kedua pangeran Cirebon, Pangeran Martawijaya, dan Pangeran Kartawijaya. Atas bantuan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, kedua Pangeran tersebut berhasil dibebaskan. Keduanya kemudian menjadi raja di Cirebon (1677). Pangeran Mertawijaya menjadi Sultan Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Kanoman (Ekadjati, 1991).


Kalender Jawa

Selain faktor agama dan politik, Cirebon berkait dengan Jawa dalam kebudayaannya. Seperti disebut Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja (1952), Jawa yang dimaksud adalah Jawa Kuna, bukan Kawi atau Jawa Baru. Salah satu contohnya kalender Jawa di Cirebon. Dalam tulisan Sulendraningrat (1987: 69-72), kalender itu disebut kalender anno Jawa, atau tanggalan tahun babad zaman tanah Jawa, disingkat dengan "tahun Jawa".

Kalender ini telah digunakan di Jawa pada khususnya dan nusantara pada umumnya, sejak salah satunya, ialah pendaratan perpindahan bangsa dari Keling yang terakhir di Jawa Barat dan dipimpin oleh Syekh Subakir sekitar tahun 870 M, hingga zaman kerajaan-kerajaan Pajajaran dan Majapahit, Cirebon, Demak, dan Mataram.

Dasar kalender itu atas hitungan candrasengkala yaitu peredaran bulan, yang berarti pergantian tanggalnya itu sejak masuknya matahari hingga matahari berikutnya. Beda dengan kalender Masehi yang didasarkan pada hitungan suryasengkala, yaitu berdasarkan peredaran matahari, yang berarti pergantian tanggalnya itu sejak jam 00.00 (tengah malam) hingga jam 00.00 berikutnya.

Isi bulan-bulan tahun Masehi itu 30, 31 hari, dan adakalanya 28 dan 29 hari untuk Februari. Berbeda dengan bulan-bulan tahun Jawa itu tetap berisi 29 dan 30 hari. Penamaan bulan-bulannya sebelum Islam datang disebut wulan ke siji, wulan ke loro, dst. Sejak kerajaan-kerajaan Islam, seperti Cirebon dan Demak, peredaran bulan-bulannya diberi nama antara lain, tanggal ke siji, tahun 1906 jadi tanggal 1 Sura tahun 1906/1394 Hijriah dan bulan 1 Muharram tahun 1394. Bulan Sura dan tahun 1906 adalah khusus untuk tahun Jawa dan bulan Muharram dan tahun 1394 adalah khusus untuk tahun Hijriah. Satu Sura sejak peredarannya di Cirebon/Jawa dirayakan sebagai tahun baru nasional, selain Idulfitri dan Iduladha.

Bersamaan dengan kehadiran Belanda, kalender anno Jawa diganti dengan kalender Masehi. Pada masa Jepang, kalender Masehi diganti kalender Jepang. Setelah Indonesia merdeka dan saat ini, kalendernya kembali ke kalender Masehi dan 1 Januari dirayakan sebagai tahun baru nasional. Sekalipun, 1 Sura/- Muharram juga diperingati sebagai tahun baru Hijriah secara nasional, tetapi gaungnya kalah jauh dengan tahun baru 1 Januari. Pengaruh kalender Jawa di Cirebon demikian menyatu.


Kontribusi bagi Islam

Fakta terkait kalender di atas, hanya salah satu contoh kaitan Cirebon dalam lingkar unsur Jawa. Hal serupa terjadi pada keterkaitan Cirebon dengan unsur Sunda pada aspek lainnya, terutama aspek bahasa lokal. Dalam kajian-kajian akademik, lokalitas sudah menjadi primadona dan unggulan di tengah persaingan global. Tidak hanya pada aspek antropologis, sosiologis, dan historis yang sudah lama digeluti, tetapi juga linguistik, hukum, dan keislaman. Cirebon sebagai bagian dari lokalitas menjadi daya tarik tersendiri selain karena unsur kejawaannya.

Naskah-naskah kuno di Cirebon juga dapat menjadi salah satu kontribusi penting dalam ranah kajian-kajian tersebut, terutama kajian Islam. Pembacaan atas naskah-naskah kuno yang bercirikan kecirebonan, selain dapat mengungkap keterkaitan Cirebon dengan unsur-unsur daerah-daerah lain, juga dapat menjadi kajian lokalitas dan perkembangan Islam dalam berbagai aspek keilmuan. Adanya naskah kuno itu karena adanya kebudayaan dan peradaban manusia. Adanya kebudayaan itu karena adanya kehidupan. Kehidupan manusia sangatlah kompleks, tidak dapat dikaji hanya satu keilmuan saja, baik dalam Islam maupun lainnya. Di situlah kajian tentang Cirebon, yang bukan dilihat secara geografisnya, tetapi kebudayaan Cirebon yang telah memengaruhi wilayah lainnya, seperti Kuningan, Indramayu, Majalengka, Brebes, Cilacap, Ngawi, Gresik, Banten, Jakarta, dan Cianjur.

Dalam konteks itulah, Cirebonologi punya momentum untuk mengembangkan kajian Islam berbasis lokalitas. Saat ini, membicarakan dunia global, tidak dapat meninggalkan apa yang terjadi di suatu lokasi tertentu yang jauh dari peradaban manusia kota.

Demikian halnya dengan kajian Islam saat ini. Jika kajian Islam hanya berpedoman pada perkembangan Islam di Mekah, Madinah, atau Mesir saja, maka kajian Islam akan tertinggal. Pembicaraan suatu wacana tertentu dalam Islam, tentu akan berkaitan dengan wacana Islam lainnya.

Di situ pulalah Cirebonologi, pada masa lalu (dan saat ini), tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan Jawa kuno, atau sebaliknya, berbicara kebudayaan Jawa (baru), seyogianya tidak boleh meninggalkan kontribusi Cirebon, terutama pada aspek keislaman pada masa Syarif Hidayatullah dan perkembangan dunia pesantrennya. Kalau kajian Islam saat ini merasakan kekurangan isu, kekeringan ide karena anti terhadap Barat, globalisasi atau modernisme, maka melalui kajian naskah kuno, seperti kajian-kajian tentang (dan di) Cirebon dapat menjadi kontribusi alternatif kajian Islam.***


(MAHRUS EL-MAWA, dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, pengurus pusat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Jakarta, pendiri Pusat Kajian Cirebonologi IAIN Sejati Cirebon, dan Wakil Sekretaris LP Maarif NU Pusat 2015-2020)


Sumber: Pikiran Rakyat, 9 Mei 2016


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...