SURABAYA, KOMPAS -- Praksis Islam di Indonesia yang disebut Islam Nusantara berpotensi menjadi teladan baru dari dunia Islam di mata dunia. Hal ini menimbang perkembangan sosial politik di sejumlah negara dan komunitas Islam dunia, termasuk di Timur Tengah, yang kini dilanda konflik sosial politik yang mengarah pada runtuhnya peradaban setempat. Meski ada berbagai pendapat, Islam Nusantara dipahami tetap merupakan Islam otentik sebagai ajaran Nabi Muhammad SAW sekaligus mampu mendamaikan pergaulan pemeluknya dan bahkan menyejahterakan lingkungannya, termasuk non-Muslim.
Demikian pendapat sejumlah pakar dalam Seminar Internasional "NU dan Islam Nusantara" yang digelar dalam rangkaian pelaksanaan Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama di kompleks kampus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) di Surabaya, Rabu (1/7).
Hadir dalam seminar yang digelar kerja sama harian Kompas dengan Panitia Muktamar NU Ke-33 ini antara lain Rektor UINSA Abdul A'la, Dekan Fakultas Adab UINSA yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Ghazali Said, dan penulis biografi Gus Dur dari Universitas Monash, Australia, Greg Barton. Hadir juga Wakil Gubernur Jawa Timur, yang juga Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-33 NU, Saifullah Yusuf dan Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim KH Mutawakil Alalah.
Gus Ipul, panggilan akrab Saifullah Yusuf, menjelaskan, Islam model Nusantara memberikan pandangan lain tehadap serbuan tawaran model Islam yang diklaim serta dikampanyekan organisasi dan kelompok komunitas yang menamakan diri mereka Islam dari lingkungan internasional. Mereka telah mengajak dan merebut perhatian generasi muda Muslim, termasuk generasi muda NU.
"Islam Nusantara mengajak masyarakat tidak mencemaskan Islam, misalnya melihat Islam di Afganistan, dan akan melihat kesejukan pada Islam Nusantara di Indonesia," katanya.
Ghazali Said menjelaskan, merebaknya paham jihad Islam yang mendorong pemuda Muslim melakukan kekerasan dan mengampanyekan radikalisasi agama muncul beberapa tahun terakhir ketika paham Islam dari berbagai negara di Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan menyebarkan ideologinya. Indonesia dan terutama generasi muda NU menjadi sasarannya.
Menurut Abdul A'la yang berpengalaman mendamaikan kelompok penganut Syiah di Madura dengan warga setempat, para juru kampanye Islam internasional itu mengembangkan cara yang efektif dan sistematis, menyebar agen-agen, mencetak selebaran, majalah, video, berkampanye di televisi dan masjid, bahkan menggunakan sarana modern media sosial, menyebarkan ajakan mengubah Indonesia menjadi negara Islam dan menerapkan sistem kenegaraan berdasarkan suatu sistem utopis.
"Mereka memiliki uang untuk memberikan beasiswa kepada ratusan pemuda NU setiap tahun, dan setelah pulang para pemuda NU ini berubah menjadi berpaham radikal," kata Ghazali.
Pandangan
Mereka diajari pandangan Islam yang sepenuhnya baru, suatu paham utopia Islam, tentang masa kejayaan Islam dan menyebut sistem itu atas nama "kekhalifahan". Ini mengherankan, kata Abdul A'la, karena mereka tidak lagi merujuk sistem kekhalifahan yang pernah ada dan bisa dirujuk sistemnya dalam kitab-kitab pustaka Islam lama, tetapi menciptakan sistem lebih baru yang belum pernah ada.
"Hasil akhirnya berujung pada kekerasan. Mereka lebih tampak sebagai komunitas putus asa setelah tumbangnya rezim kuat di negara-negara Timur Tengah, dan memimpikan sesuatu yang tak pernah ada, yang hanya berujung pada tindakan pelanggaran hak asasi manusia," ungkapnya.
Abdul A'la mengatakan, jangan berharap muncul peradaban Islam maju di Timur Tengah mengingat peradaban mereka telah dihancurkan sendiri. "Bagaimana mungkin akan muncul peradaban maju dengan dasar kerusakan seperti itu," katanya.
Greg Barton mengemukakan, NU merupakan kekuatan sosial politik berdasar Islam yang memberikan harapan bagi masa depan Indonesia dan masa depan Islam dalam pergaulan internasional. Jumlahnya besar meski tidak sebesar Tiongkok atau India.
NU dengan warisan sejarahnya, kekayaan pengetahuan khazanah Islam-nya, serta kebesaran hati dan ajaran para pendirinya sangat bisa diandalkan sebagai bentuk islam yang damai, yang menghindari konflik, tak ragu-ragu menerima Indonesia sebagai NKRI dengan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini sangat penting bagi Indonesia yang kini telah menjadi negara demokrasi besar.
(ETA/MBA/BIL/ODY)
Sumber: Kompas, 2 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar