Oleh H. ROSIHAN ANWAR
SEABAD Kebangkitan Nasional dirayakan 20 Mei 2008 tentu mengenang Boedi Oetomo, dokter-dokter lulusan STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) seperti Wahidin, Cipto Mangunkusumo, Soetomo, dan sebagainya. Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia mengadakan seminar internasional 22 Mei 2008 di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta dengan tema "Stovia-Kemunculan Pergerakan Kebangsaan Nasional".
Pelopor STOVIA ialah Sekolah Dokter Djawa yang dibuka tahun 1851. Menjelang akhir abad ke-19 Sekolah Dokter Djawa ditransformasikan menjadi Stovia. Siapa yang pernah melihat gambar siswa Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA pada tahun-tahun permulaannya akan terkesan oleh busana yang dikenakan. Mereka semua berpakaian tradisional ala Jawa, baju (sorjan), kain, blangkon, dan kaki telanjang. Menurut keterangan sejarawan dr. Rushdy Husein kepada saya, Belanda mengadakan aturan tadi dengan tujuan "agar calon dokter Djawa senantiasa merasa dekat dengan rakyat." Baru kemudian, setelah permintaan dari pihak siswa supaya diizinkan mengenakan pantalon dan jas pakaian Barat, ketentuan busana Jawa dihapuskan.
Saya memahami para siswa yang berasal dari Jawa tidak punya kesukaran berbusana tradisional. Memang mulanya yang diterima sebagai siswa Sekolah Dokter Djawa ialah pemuda Jawa, golongan priayi. Mereka biasa pakai sorjan dan blangkon. Tapi bagaimana halnya dengan dua pemuda asal Sumatera Barat dan dua pemuda asal Minahasa yang tahun 1856 atas biaya pemerintah Hindia Belanda diterima di Sekolah Dokter Djawa? Tidak ada cerita bagaimana pakaian mereka. Saya sukar membayangkan kedua anak Padang dan kedua Kawanua itu bisa berasa nyaman pakai kain, baju, dan blangkon.
Buku Ontwikkeling van het Geneeskundig Onderwijs te Weltevreden 1851-1926 terbit untuk merayakan HUT ke-75 STOVIA. Buku itu menceritakan siswa Sekolah Dokter Djawa dan STOVIA disebut dengan kata bahasa Prancis eleves. Artinya, murid-murid. Mengapa bahasa Prancis, tidak jelas. Mungkin karena Negeri Belanda di zaman Kaisar Napoleon Bonaparte dijajah oleh Prancis. Mungkin karena bahasa Prancis dianggap bahasa golongan bangsawan, kaum atasan, bahasa diplomat. Entahlah. Bagaimanapun Mas Patah Wirio Soeponto, lahir tahun 1861 di Langawang adalah eleve Sekolah Dokter Djawa.
Keadaan siswa
Dalam buku itu dapat dibaca keputusan Gubernemen Hindia Belanda 2 Januari 1849 No. 22 bahwa 30 pemuda Jawa diberi kesempatan pada rumah sakit militer untuk dididik menjadi dokter pribumi dan tukang suntik. Lebih disukai pemuda dari keluarga-keluarga Jawa yang sopan yang paham bahasa Melayu dan Jawa. Kepada eleves, gubernemen memberikan gaji 15 gulden sebulan, juga gratis tempat tinggal. Untuk seluruh pendidikan kedokteran disediakan dana 5.400 gulden setahun bagi tiap siswa.
Para siswa minimal harus berusia 16 tahun. Pelajaran diberikan oleh guru Belanda dalam bahasa Melayu. Tahun 1853 angkatan pertama terdiri dari sebelas eleves selesai dididik dan diberi penamaan Dokter Djawa. Ternyata Dokter Djawa tidak memenuhi harapan sehingga perlu diadakan revisi atau peninjauan kembali terhadap sistem pendidikan. Lambat laun yang diterima sebagai siswa ialah yang paham berbahasa Belanda. Tahun 1880 dihasilkan Dokter Djawa dari pendidikan baru. Sejak 1890 sekolah Dokter Djawa berganti nama menjadi STOVIA.
Di STOVIA inilah bangkit dan bertumbuh eleves yang mendirikan Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Dr. Wahiddin, Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Sutomo berperan di situ, tapi juga siswa putus sekolah atau drop out seperti R. M. Soewardi Soerjaningrat, kelak terkenal sebagai pendiri perguruan Taman Siswa tahun 1922 dan berganti nama jadi Ki Hajar Dewantara, selanjutnya Abdoel Moeis yang kelak anggota volksraad (dewan rakyat) dan novelis pengarang roman Salah Asuhan, kemudian Tirtohadisoerjo wartawan dan pendiri surat kabar pribumi pertama di Bandung Medan Priaji, semua mereka aktif dalam gerakan kebangsaan yang diorganisasikan secara modern.
Di antara dokter lulusan Stovia itu, banyak yang aktif dalam pergerakan rakyat mencapai Indonesia Merdeka. Mereka berasal dari pelbagai daerah. Tentu mayoritas berasal dari Pulau Jawa, tetapi yang berasal dari Sumatera Barat, khususnya Kota Gadang, diwakili dalam jumlah yang tidak memalukan. Saya baca tamatan sekitar tahun 1905, sebelum berdirinya Budi Utomo, nama dokter asal Minangkabau seperti Achmad Moechtar, A. G. Zakir Mohamad Sjaaf, Aziel Haznam gelar Soetan Said, Marzoeki Mahdi, Sjofjan Rassat, Marzoeki, Akmam gelar Soetan Baheran, Zainal, Mohamad Zen gelar Radja Magek, Mohamad Djamil, Goelam, Azir, Mohamad Anas, Maas, Moh. Ali Hanafiah, Aulia. Di kalangan tamatan asal Jawa terdapat dokter-dokter yang saya kenal seperti Mas Sardjito, Raden Latip, Raden Kodijat, Boentaran Martoatmodjo, Raden Mohamad Djoehana Wirodikarto, Soekiman, Raden Mohamad Saleh Mangoendihardjo, Mas Satiman Wirjosandjojo.
Rasa persatuan
Semua tadi hanyalah nama. Generasi muda sekarang tidak akrab dengan dokter-dokter STOVIA itu. Kecuali cucu-cucu atau cicit yang kebetulan membaca tulisan ini dalam Pikiran Rakyat, lalu teringat embah, eyang mereka. Nun di masa lampau dan siapa tahu kemudian memanjatkan doa kepada Tuhan agar arwah eyang mereka diterima di sisi-Nya.
Sebagai penutup, saya kutip kenang-kenangan Jacob Samallo, Indisch Arts, "Sekolah Dokter Djawa pada tahun 1896 berada di depan Militair Hospitaal, depan Gang Mendjangan, Pasar Senen, Weltevreden, terdiri atas dua bagian yaitu persiapan dan kedokteran. Tamatannya semata-mata dari asal bumiputra, misalnya orang-orang Jawa, Sumatra, Menado, Timor, Ambon, dan satu dua orang Makassar atau Melayu dari Borneo. Kecuali dengan beberapa perbedaan pendapat antara orang Minangkabau dengan Batak yang mengakibatkan berkelahi berhantam, kami hidup bersama sebagai putra-putra dari sebuah keluarga besar. Bicara secara umum, waktu itu terdapat persatuan di kalangan Stovianen."
Rasa persatuan itulah yang sentral berada dalam pikiran kita pada peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. ***
Penulis, wartawan senior.
Sumber: Pikiran Rakyat, 21 Mei 2008
Komentar
Posting Komentar