Langsung ke konten utama

100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL: Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo

Pengantar Redaksi
Dalam rangka perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional, harian "Kompas" menurunkan serial tulisan bertema "Kebangkitan Nasional 20 Mei, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, dan Sumpah Pemuda 28 Oktober". Serial tulisan tematik itu akan terbit tiap hari Senin selama 25 kali mulai hari ini hingga Senin, 27 Oktober 2008. Di antara tanggal tersebut, harian "Kompas" akan menurunkan liputan khusus tematik. Momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini dijadikan momentum untuk melihat perjalanan bangsa ini pada masa lalu, kini, dan esok, serta posisi bangsa ini di tengah bangsa lain. Pergulatan pemikiran mengenai kebangsaan juga akan menjadi salah satu tema tulisan.

"Pemerintah Belanda 
memiliki panggilan moral
terhadap kaum pribumi
Hindia Belanda."

Oleh MULAYAWAN KARIM

Dalam pidatonya, September 1901, Ratu Wilhelmina dengan tegas menyatakan, Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda. Orasi Ratu Belanda dalam sidang pembukaan parlemen itu kemudian umum disepakati sebagai momentum kelahiran faham atau aliran etis dalam kancah politik kolonial Belanda.

Banyak pihak meyakini, Ratu Wilhelmina mendapat inspirasi bagi pidatonya dari puisi "The White Man's Burden" karya sastrawan Inggris Rudyard Kipling, yang dipublikasikan untuk pertama kali dua tahun sebelumnya.

"The White Man's Burden" merupakan percikan permenungan Kipling atas nasib rakyat Filipina di tengah perang Amerika Serikat-Spanyol, 1898, untuk memperebutkan negeri mereka. Pesan yang ingin disampaikan Kipling lewat syair tujuh baitnya itu adalah bangsa-bangsa Barat memikul tugas suci untuk menyejahterakan dan mengangkat derajat bangsa jajahannya di seluruh muka bumi.

Kalaupun tidak sama sekali, puisi Kipling setidaknya bukan satu-satunya mata air inspirasi Ratu Wilhelmina. Sebelum "The White Man's Burden" diterbitkan dalam majalah McClure's pada 1899, sejumlah pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan sastrawan Belanda sudah mewacanakan gagasan itu.

Tunas pertama gagasan etis di Belanda muncul dari Pieter Brooshooft (1845-1921), wartawan yang pada masanya dikenal kritis terhadap pemerintah dan masyarakat Belanda. Seperti disebutkan sastrawan Indo-Belanda, Rob Nieuwenhuys, dalam buku Oost Indische Spiegel (Cermin Hindia Timur), antara 1883 dan 1884 Brooshooft menulis karangan sindiran yang menyoroti sikap masa bodoh warga Eropa di Hindia Belanda saat terjadi wabah kolera yang banyak menewaskan warga pribumi. Mereka baru peduli setelah ada warga kulit putih yang ikut jadi korban penyakit tropis itu.

Pada 1887, Brooshooft juga melakukan perjalanan berkeliling Pulau Jawa dan terkejut melihat kondisi kehidupan kaum pribumi. Ia kemudian menyampaikan imbauan kepada 12 tokoh terkemuka di Belanda untuk memahami dan memerhatikan "keadaan yang sangat menyedihkan di Hindia Belanda, yang terjadi akibat kebijakan pemerintah Den Haag".

Namun, di antara para etisis, tak dapat disangkal Theodore van Deventer (1857-1915) adalah yang paling dikenal dan berpengaruh di Belanda. Van Deventer adalah seorang praktisi hukum di Hindia Belanda yang kemudian menjadi politisi di negeri asalnya. Saat masih menjadi penasihat hukum bagi berbagai perusahaan swasta di Hindia Belanda, Van Deventer pernah menulis surat kepada orangtuanya. Di sana ia bilang, harus dilakukan sesuatu untuk kaum pribumi. "Jika tidak, suatu hari bendungan akan jebol dan lautan manusia akan menelan kita semua," seperti tertulis dalam surat tertanggal 30 April 1886.

Beberapa tahun kemudian, Van Deventer membuat karangan terkenal yang muncul dalam majalah De Gids (Panduan) pada 1899. Dalam tulisan berjudul "Een Ereschuld" (Utang Budi) itu, ia menjelaskan, Nederland menjadi negara makmur dan aman karena adanya dana yang mengalir dari tanah jajahan di Asia Tenggara. Jadi, sudah sepantasnya Belanda mengembalikannya.

Dalam tulisan itu Deventer, yang kemudian menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, bahkan mendesak dikembalikannya semua dana hasil keuntungan yang diraup pemerintah Den Haag dari Hindia Timur sejak 1867.

Balas budi setengah hati
Meski difatwakan ratunya, Belanda tak pernah sampai menerjemahkan faham etis ke dalam kebijakan kolonial yang dilaksanakan secara konsekuen. Gagasan itu juga tidak mengakar secara luas dalam masyarakat Belanda di Hindia Belanda. Di negeri jajahan yang kemudian bernama Indonesia itu, faham etis hanya dipahami sekelompok kecil pejabat, cendekiawan, sastrawan, dan wartawan yang, meski jumlahnya kecil, memiliki pengaruh yang besar.

Padahal, faham etis sempat lama jadi wacana politik yang hangat. Seperti diungkap sejarawan Inggris, DGE Hall, dalam buku Sejarah Asia Tenggara (1988), politisi sosialis di parlemen Belanda bahkan sempat menjadikannya titik tolak untuk mengampanyekan doktrin "Pemerintah Hindia untuk Hindia" yang berisi gagasan untuk memberikan hak desentralisasi atau otonomi bagi Hindia Belanda.

Dalam buku Nieuwenhuys di atas, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, disebutkan, dalam praktiknya, haluan etis hanya menghasilkan perbaikan sistem persekolahan dan sejumlah usaha lain yang dilakukan secara hati-hati untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa pribumi. Pembangunan sarana irigasi, pendirian bank perkreditan rakyat, dan pengucuran bantuan bagi industri kerajinan rakyat adalah beberapa di antaranya.

Meski lewat politik etis kaum pribumi memiliki peluang lebih besar menikmati berbagai fasilitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, hal itu sama sekali tak bertujuan untuk benar-benar menyejahterakan rakyat Hindia Belanda. Pendidikan yang ditujukan bagi kaum pribumi hanyalah bertujuan untuk menghasilkan tenaga birokrat rendahan yang diperlukan dalam struktur pemerintah kolonial. Politik etis tak lebih dari politik balas budi setengah hati.

Faktor eksternal
Bagaimanapun, faham politik etis dan berbagai kemajuan bagi kaum bumiputera yang dibawanya merupakan masa mulai memudarnya faham kolonialisme dan kekuasaan Belanda yang menyengsarakan. Kian terbukanya kesempatan bagi putra-putri Indonesia untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi, termasuk di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputera), yang sudah berdiri sejak 1898 tak saja menghasilkan pemuda Indonesia yang berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik.

Meski tak dimaksud demikian, munculnya faham politik etis merupakan faktor internal Hindia Belanda yang memicu lahirnya kesadaran kebangsaan.

Kalau saja faham politik etis tak pernah muncul di Belanda, juga jika peristiwa internasional yang berdampak luas di atas tak pernah terjadi, mungkin tak akan lahir pula Dr Wahidin Sudirohusodo dan Dr Sutomo, pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan modern Indonesia yang pertama, yang hari berdirinya, 20 Mei 1908, sampai kini kita sepakati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 



Sumber: Kompas, 5 Mei 2008



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...