Langsung ke konten utama

"Roomusha" Abad Ke-19 di KNIL

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

Dalam buku "Soldaten van Smaragd" (2005) Antropolog Belanda, Fred Lanzing, yang lahir di negeri ini karena ayahnya, begitu juga kakeknya Letkol KNIL mengutarakan sebuah segi tentara kolonial yang kini tidak diketahui lagi atau dilupakan oleh banyak orang.

YANG dimaksud ialah nasib "tentara pembantu" (hulpleger) KNIL yang dinamakan dalam bahasa Belanda: kettingberen. Mereka narapidana, orang tahanan yang kakinya dirantai, pekerja paksa (dwangarbeider) yang dipekerjakan oleh Belanda mengangkut, memikul barang, amunisi, makanan, minuman tentara KNIL yang berperang melawan de djahats, rakyat Indonesia yang dinilainya pemberontak, penjahat.

Dalam sebuah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh KNIL terhadap Pedir di Aceh tahun 1898 dilukiskan hal berikut: sebuah kolone panjang beberapa ribu serdadu, kuli, pekerja paksa dengan bersusah payah mencari jalan melalui hutan atau merancah lumpur sawah-sawah di mana mortir-mortir berat semakin dalam tenggelam di tanah, atau melewati pematang-pematang licin di mana para perwira dengan susahnya tetap duduk di atas pelana kuda yang tergelincir. Kolone demikian hanya maju beberapa kilometer sehari. Ia sangat meletihkan bagi para narapidana, juga fesulir bule.

Hal mengherankan ialah KNIL, kendati punya tradisi panjang melaksanakan ekspedisi militer, tidak memiliki dinas transpor profesional dalam formasinya. "Kereta" atau "de trein" sebagaimana dinas angkutan itu dinamakan harus dibentuk saban kali mau berperang. Coba pikirkan apa saja yang harus diangkut: orang, kuda, senjata, amunisi, makanan, bahan bakar, obat-obatan, hospital lapangan, alat-alat genie, periuk masak, tenda-tenda, bahan bangunan, selimut, pakaian, dll. Pengangkutannya menghendaki suatu upaya besar logistik yang tiap kali dikerjakan oleh laki-laki yang tidak terlatih untuk itu dan yang tidak punya routine sistematis dan pengalaman. Trein tadi dipimpin oleh beberapa perwira dan bintara. Awaknya terdiri dari pekerja-paksa.

"Orang rantai"

Di bawah bayangan semua patroli militer dan ekspedisi, di pinggir semua bivak, di tatar belakang semua gedung dan bengkel kerja, pada pekerjaan tidak menyenangkan dan berbahaya di pos-pos, di benteng-benteng, dan tangsi-tangsi bergeraklah bayangan hitam (silhouet) dari pekerja paksa yang seram. Mereka hadir, tapi orang tak melihatnya. Mereka ada, tapi rupanya seperti tak ada. Mereka tidak punya nama, tiada nomor stamboek sebagaimana dimiliki setiap militer yang pangkat tinggi, maupun yang rendah, dan tiada muka.

Seumur hidup! Begitu bunyi vonis yang diberikan oleh kompeni. Itu berarti mereka harus buat selama-lamanya berpisah dari kehidupan mereka, tanah mereka, desa mereka, keluarga mereka, dan harta yang sah maupun tidak sah. Di negeri ini di mana hukuman mati masih berlaku, ketiga bangsat ini memperoleh hukuman beratus kali lipat. Alih-alih mematikan mereka atau mengurung dalam ruangan sel, sang impresario agung telah membikin mereka sebagai pelayan (suruhan). Mereka tiada lagi manusia, mereka alat perkakas dari bivak, suatu onderdil perlengkapan militer dari kompeni.

Kendati mereka menjalankan peran penting dalam sejarah KNIL, walau jumlahnya ratusan ribu orang, mereka tidak kelihatan di dalam barisan dan formasi tentara. Dalam laporan resmi aksi-aksi militer kadang-kadang disebutkan jumlah mereka dalam satu angka, tetapi mengenai nasib mereka, penderitaan mereka dan kematian mereka tidak pernah dituliskan satu huruf pun. Bahkan, bagaimana mereka dikuburkan tidaklah jelas. Inilah tentara-pembantu para pekerja-paksa, narapidana yaitu roomusha-roomusha abad ke-19. Mereka disebut juga starapans dari kata Belanda strafgevangenen merupakan pembantu yang murah biayanya dan yang selalu amat dibutuhkan.

Terutama dalam periode aktivitas militer yang intensif banyak diperlukan pekerja-paksa. Pada masa-masa itu setiap penjatuhan vonis hukuman penjara lebih dari satu tahun dengan sendirinya membawa kepada kerja-paksa. Para pekerja-paksa itu memakai ikat kepala warna hitam dari orang hukuman, bajunya kain kasar warna cokelat merah dan di pergelangan kaki punya rantai. Mereka disebut Kettingberen. Mengingatkan kepada pekerja-paksa tambang Ombilin Sawahlunto zaman kolonial yang disebut "orang rantai". Kadang-kadang mereka disebut "batalion merah". Atau orang bicara tentang "batalion ke-21" di samping 20 batalion reguler dari KNIL. Dengan nada ajakan mereka juga disebut dalam bahasa Belanda "adelborsten" atau taruna angkatan laut, dan pihak Marine mendongkol karena penamaan tadi.

"Hewan beban"

Zentgraaf, Pemimpin Redaksi harian De Javabode yang sebelum jadi wartawan adalah sersan dalam KNIL menulis "mereka telah menderita lebih banyak daripada siapa juga". Untuk selebihnya tidak ada kedengaran apa-apa lagi. Tidak dalam pers, tidak dalam parlemen "Twede Kamer". Menurut perkiraan, selama tujuh tahun pertama Perang Aceh dari 1873 hingga 1880 sejumlah 8.250 orang pekerja-paksa, tahanan hukum itu telah tewas.

Strapans dikerahkan ke mana-mana dan selalu dperlakukan buruk. Makanannya tidak bergizi, hari istirahat mereka tidak kenal. Mereka dimasukkan dalam kediaman-kediaman kumuh. Perawatan kesehatan tidak ada. Tiada seorang pun memedulikan mereka.

Pada ekspedisi militer pekerja-paksa itu hanya menjadi hewan beban atau lastdierean, yang terus-menerus harus dipicu dan diburu-buru. Bila tidak bekerja, mereka dibiarkan saja sama nasib mereka. Menanggungkan hujan dan kekuatan alam mereka harus mengurus sendiri makan dan atap di atas kepala mereka. Kerja mereka terutama memikul barang. Beratnya rata-rata 25 hingga 30 kilogram per orang. Sudah termasuk di situ kebutuhan mereka sendiri. Makanan dimasukkan dalam kaleng empat segi dan dilak yang sangat tidak praktis untuk diangkut. Kaleng-kaleng itu memuat garam, dendeng, beras, minyak ikan dan ikan sardencis kaleng, kopi, teh, minyak,  jenever, dan semuanya yang digunakan oleh pasukan. Kaleng-kaleng itu kira-kira 18 kilogram beratnya.

Mereka juga ikut sebagai pemikul barang dalam patroli militer dan diberi tugas-tugas berbahaya seperti sebagai orang pertama menyeberangi sungai yang sedang banjir, berjalan di depan sekali pada verkenning mengintai musuh. Pekerja-paksa yang sakit ditinggal begitu saja di hutan.

Pada suatu ekspedisi di Sumatra Utara, mereka melalui terrein pegunungan yang berat. Mereka berada di jalan setapak di tepi jurang terjal. Perjalanan lamban, banyak henti dan penundaan. Orang pada kesal dan frustrasi merebak. Dengan marahnya seorang kopral mendorong punggung seorang pekerja-paksa yang terikat dengan rantai dengan narapidana lain. Orang itu jatuh ke dalam lembah dan menyeret bersamanya semua pekerja-paksa yang senasib sepenanggungan. Tapi tidak satu pun orang yang berkutik mempersoalkannya. Begitulah nasib pekerja-paksa di KNIL yang dinamakan roomusha-roomusha abad ke-19 dalam KNIL.***

Penulis, wartawan senior.



Sumber: Pikiran Rakyat, 12 April 2006



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...