Langsung ke konten utama

Tidak Mudah Mengungkap Fakta Sejarah

SAREKAT Islam tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu organisasi kebangsaan yang turut mewarnai pergerakan kebangsaan. Jika kemudian muncul Sarekat Islam Merah (SI Merah) dan Sarekat Islam Putih (SI Putih) maka keduanya juga bagian sejarah perjalanan organisasi tersebut. Namun, apakah juga tercatat dalam sejarah di masa Orde Baru bahwa SI Merah turut serta melawan penjajahan Belanda di Bumi Indonesia ini? Itulah yang hendak diungkapkan oleh Soe Hok Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah, Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920, diterbitkan tahun 1990 oleh Frantz Fanon Foundation, Jakarta. 

Judul: Di Bawah Lentera Marah
Penulis: Soe Hok Gie
Penerbit: Frantz Fanon Foundation (1990), Penerbit Bentang (1999)
Tebal: x + 108 halaman

BAGI Agus Edi Sartono, Direktur Frantz Fanon Foundation, buku itu seperti menyambung benang merah yang hilang, yaitu pergerakan Islam progresif atau yang lebih dikenal dengan SI Merah yang dilupakan oleh sejarah. Sebegitu besarnya keinginan penerbit untuk menyebarluaskan sejarah yang terlupakan hingga melakukan strategi yang sangat berisiko. Pada awal terbitnya buku, dia sengaja membagikan buku tersebut ke berbagai lembaga konvensional seperti pesantren, birokrasi, dan komando rayon militer (Koramil) di beberapa wilayah. Kontan, Kejaksaan mengeluarkan surat pelarangan, hingga mewajibkan kepada siapa saja yang menyimpan, memiliki, mengedarkan, serta memperdagangkan buku tersebut untuk menyerahkannya kepada kejaksaan setempat.

Sebenarnya, sejak awal sudah dapat diduga, buku ini akan dilarang. "Makanya saya simpan terus di gudang hingga situasi mereda," ucap Agus yang mencetak buku itu sebanyak 5.000 eksemplar. Baginya, buku itu sangat menarik, oleh karena itu Agus mencari cara agar buku tersebut dibaca orang. Namun, membagikan secara gratis bisa jadi justru tidak akan dibaca, terlebih sangat sedikit pembaca yang mengenal buku tersebut. Oleh karena itu, ia biarkan di gudang hingga Kejaksaan mengeluarkan larangan bernomor 107/J.A/09/1991 tanggal 10 September 1991.

Beberapa saat kemudian, melalui pos dan pola tangan ke tangan akhirnya disebarkanlah buku tersebut. Sebelum diterbitkan, tulisan Hok Gie itu sempat menjadi bacaan underground di kalangan aktivis dan akademisi sekitar tahun 1987-an dalam bentuk fotokopi.

***

BUKU ini sendiri adalah skripsi yang diajukan Soe Hok Gie untuk menempuh ujian sarjana muda Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Buku yang diajukan pada September 1964 itu merupakan hasil penelusuran dokumentasi dan wawancara dengan Semaoen, Presiden SI saat itu, dan Darsono, aktivis partai, sebagai pelaku sejarah.

Jika kebanyakan buku dilarang karena isinya, maka buku Di Bawah Lentera Merah terlarang karena kata pengantarnya pun dianggap berbahaya. .... Maka itu, menakut-nakuti bangsa ini dengan hantu-hantu komunisme, Islam fundamentalis, ateisme, sekularisme, dan militerisme, menjadi bertentangan dengan kepentingan kemajuan bangsa ini. .... Dan, dari logaritma itu akan Anda temukan bahwa Pancasila, sesungguhnya tidak dapat digunakan untuk menumpas ideologi apa pun yang telah membentuk tubuh dan faal Pancasila dari bangsa ini .... (hlm vi). Kejaksaan menganggap kata pengantar ini meragukan Pancasila sebagai dasar dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Selain itu, isi buku dikhawatirkan karena dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat awam terhadap faham sosialisme/komunisme.

Dalam bab II buku ini dijelaskan bagaimana gerakan SI mulai bergeser dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Ini disebabkan oleh Semaoen yang begitu gigih membela kaum buruh dan tani untuk melawan penindasan para majikan yang notabene adalah kapitalis. Dipaparkan, tanpa rasa segan, Soemaoen secara langsung mencari dana untuk membiayai hidup buruh selama mereka melakukan mogok kerja. Saat itu menjadi sangat penting artinya bagi sejarah modern Indonesia, karena dari sini lahirlah gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia, demikian tulis Hok Gie.

Perjuangan SI Semarang menjadi gerakan yang revolusioner sebenarnya distimulasi oleh persoalan agraria sebagai akibat lanjutan dari dihapuskannya perkebunan yang dimonopoli pemerintah (Belanda) menjadi perkebunan dengan modal swasta. Sistem kerja pun berubah dari kerja paksa dan rodi menjadi sistem kerja upah secara bebas.

Kenyataannya adalah penduduk dipaksa untuk menyewakan lahan pribadi dan komunal kepada pengusaha swasta. Sementara itu, para lurah dan bupati lebih sebagai kaki tangan para pengusaha Belanda tersebut daripada membela rakyatnya. Hingga akhirnya masyarakat hanya menjadi budak belian para pengusaha kapitalis. Keadaan itu bertambah buruk antara tahun 1913 hingga 1923, ketika areal perkebunan tebu terus bertambah sementara persawahan dan perkebunan untuk rakyat terus berkurang.

Para petani yang telah kehilangan lahannya harus menjadi buruh untuk mencari nafkah. Tidak hanya di lahan pertanian dan perkebunan tetapi juga di industri setempat. Selain kemiskinan yang menjadi perhatian dari SI Semarang, mereka juga melihat penindasan majikan terhadap para buruh yang tidak memiliki posisi tawar sama sekali. 

Pada akhirnya tidak dapat dihindarkan, gerakan SI yang pada awalnya berdiri untuk menghalangi atau mengimbangi para pedagang Tionghoa dan memberdayakan pedagang bumiputra bergeser menjadi gerakan sosialis.

Gerakan itu ditandai dengan diterimanya usulan Semaoen bahwa "Perjuangan melawan Tionghoa tidak ada gunanya karena musuh kita adalah kapitalis". Selain itu, pengangkatan Snevliet, orang Belanda yang berpihak kepada pribumi menjadi ketua perwakilan SI di Belanda semakin menunjukkan pluralitas SI Semarang. Semaoen pula yang melakukan pengorganisasian kaum buruh supaya lebih militan terhadap perusahaan tempatnya bekerja.

Pada Desember 1917, Semaoen dan Kadarisman berhasil mengajak buruh perusahaan mebel yang memecat 15 orang karyawannya untuk mogok kerja. Tuntutan kaum buruh atas nama SI Semarang pun dikabulkan oleh pihak majikan, dan peristiwa itu menjadi pemogokan buruh pertama di Indonesia. 

(UMI KULSUM/LITBANG KOMPAS)



Sumber: Kompas, 10 Agustus 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...