Langsung ke konten utama

Luruhnya Sebuah Imperium: Mengenang Berakhirnya Penjajahan Belanda di Indonesia

Oleh Bambang Hidayat

GEMA pidato Ratu Wilhelmina (6 Desember 1942) itu bagaikan setetes embun di lautan ketidakpercayaan bangsa Indonesia (yakni penduduk Ned. Indie) kepada Belanda karena lambat dan terlalu encer makna. Rangkaian kejadian sebelumnya memperlihatkan sikap paternalistik Belanda yang hanya ingin membesarkan Indonesia (Ned. Indie berparlemen) dalam rangkuman Belanda. Ini menyebabkan evolusi ketatanegaraan Ned. Indie tak pernah terlaksana.

Pidato itu sebenarnya sudah memudar akibat sumbar Gub. Jendral De Jonge (1931 - 1936) yang mencengangkan, "Belanda telah memerintah Ned. Indie selama 300 tahun, dan masih siap untuk memerintah 300 tahun lagi. Setelah itu barulah orang berbicara tentang nasionalisme (Indonesia)." Ungkapan ini menghancurkan wawasan kaum "ethici" dan golongan "de Stuw", dan dengan tak disadari, menghanyutkan "Janji November (1918)".

"The Roaring Twenties" mencatat dengan hangat kelahiran Perhimpunan Indonesia di Belanda yng didirikan oleh pemuda Indonesia. Makna penting berdirinya himpunan ini ialah, tidak seperti sebelumnya, penggunaan dengan sadar nama Indonesia, untuk menyatakan entitas politis dan geografis. Nomonim Indonesia yang pertama kali dikemukakan oleh Earl dan Logam (1850) mengandung Indus dan Nesos, yakni kepulauan di selatan Indus. Van Vollenhoven (1928) menyatakan arti penting politis terminologi itu.

Satuan baru yang lahir pada tahun 1920-an (seperti PNI, PKI) mempergunakan Indonesia sebagai penghayatan kesatuan kultural menyeluruh, tanpa membedakan suku, ras, dan agama bagi penduduk di "Hindia Belanda". Itu adalah langkah maju yang ingin menghimpun potensi penduduk di wilayah Hindia Belanda.

Tuna-rungu adalah karakter Pemerintah Hindia Belanda pada th. 1930-an yang tidak mendengar gejolak inspirasional kebangkitan berbangsa. Pada mulanya di bawah kepemimpinan Gub. Jendral de Jonge dan, sampai derajat tertentu, diteruskan oleh Gub. Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachower mencatat tidak hanya pembuangan para nasionalis keras dan tangguh, tetapi juga pemberontakan di kapal perang "Seven Provincien". Selain itu usul "konstitusional" (menurut istilah 2000-an) juga ditolak dengan dalih Indonesia belum matang berpalemen sendiri. Petisi Soetardjo dkk (diusulkan 1936) ditolak tahun 1938. Kegiatan GAPI oleh Thamrin digagalkan pada tahun 1939. Padahal gerakan itu menurut pengamat Belanda Pijper (penasehat pemerintah), didukung tidak hanya oleh "ribuan rakyat tetapi juga oleh kaum terdidik menengah dan intelektual Indonesia".

Usul Wiwoho (23 Februari 1940) di Volkstraad, yang juga menginginkan pemerintahan berparlemen mendapat penilaian yang kurang menyenangkan juga ditolak. Akibat dari itu adalah tumbuhnya "apatisme" di sebagian masyarakat Indonesia. Kelak dalam perang dunia ke-II hal itu terbukti dari betapa pasifnya penduduk pribumi ikut dalam kancah pertahanan.

Dalam pada itu bayangan panjang perang dunia, terutama kegiatan Jepang untuk merambah Cina dan wilayah Selatan (2 kali delegasi ekonomi datang ke Batavia, sekarang Jakarta) memperlihatkan dengan jelas penjelmaan "Doktrin Tanaka (1923)" yang mengharuskan kemaharajaan Jepang mencari bahan mentah untuk rakyatnya. Kemelut perang kini di ambang pintu. Walaupun Belanda sudah menduga sejak 1920-an bahwa musuh "Ned. Indie" adalah Jepang, tetapi pada tahun 1940-an persiapan pertahanan tampak tidak memadai (Jangslager, 1991).

Cahaya Asia

Slogan Jepang untuk memerdekakan Asia (di bawah pimpinan "Saudara Tua Dai Nippon") memperoleh tempat pengecambahan yang subur di hati kalangan pergerakan (walaupun dengan segala "reserve"). Daya tarik janji Jepang adalah kebangkitan rasa superior Asia terhadap Barat. Sejarah kemenangannya terhadap Rusia pada awal abad 20 selalu dijadikan contoh klasik bagaimana Asia harus bangun.

Sementara itu kebangkitan rasa kebangsaan di India, di semenanjung Indo-Cina dan kemerdekaan Filipina merebak, merasuki sungsum gerakan kebangsaan di Indonesia. Syair Yose Rizal yang dihayati sebagai ajakan mencintai "Tanah Air" menjadi inspirasi kaum nasionalis pada tahun 30-an.

Tidak sampai 7 jam setelah Jepang menyelinap, menelikung, dan merusak pangkalan terdepan AS di Hawaii, Gub. Jendral Starkenborgh-Stachower menjawab dengan mengumumkan perang terhadap kekaisaran Jepang. Mobilitas Angkatan Perang Jepang yang sangat besar di kala itu mungkin tanpa disadari tidak masuk ke dalam perhitungan lembar balans kekalahan atau kerugian. Latihan militer untuk pribumi, walau terlambat, segera diadakan.

Gerakan Tentara Kekaisaran Jepang ke selatan bak semut marabunta melalui tiga jalur penyerangan ke Jawa. Tiga ekspedisi (barat, tengah, timur) bagaikan oktopus yang dengan cepat menyergap Jawa. Airpower dan mobilitas Jepang tak tertandingi oleh kekuatan angkatan perang di Hindia Belanda (yang di atas Batalion memang kurang sinergik). Perang Laut-Jawa yang terkenal tampak tak berdaya mengangkat citra Belanda sebagai pembela dan pelindung koloni ini. Hanya perlu 7 hari semenjak tentara ke-16 Jepang mendarat di Banten, Eretan Wetan, dan Kragan, semua kekuatan angkatan perang Belanda menyatakan menyerah di Kalijati (Jawa Barat) pada tanggal 8 Maret 1942.

Tercatat dalam perang singkat itu semangat Bushido Tentara Jepang menghadapi rendahnya spirit juang tentara yang tak tertata rapi, serta apatisme orang pribumi. Keterlambatan bantuan, serta ketidakkompakan ABDA (American, British, Dutch, Australia) mendatangkan mesin perang ikut mempercepat selesainya pertahanan Jawa. Serah terima resmi (secara terorganisasi) tentara Belanda berlangsung di Wangon (Jawa Tengah) sehari setelah penandatanganan penyerahan tak bersyarat di Kalijati. Pada waktu itu Panglima Div. II Jawa Tengah, Jendral Cox, merasa tidak ada gunanya lagi meneruskan peperangan. Ironi sejarah adalah sebulan sebelumnya Jendral Cox menyatakan bahwa jika pertahanan Jawa Tengah luruh maka itu berarti akhir dari Imperium Belanda 300 tahun di Hindia ini. Kalimat profetik itu kini (9 Maret 1942) menjadi kenyataan. Dan menurut hukum perang selesailah dengan resmi "tugas" Belanda di Hindia.

Pergantian penjaga

Esok harinya tanggal 10 Maret 1942 (2602, menurut tarikh Jepang) Panglima tentara ke-16, Let. Jen. Imamura memegang tampuk kekuasaan menggantikan kedudukan Gubernur Jendral. Jendral Imamura memerintah dengan penuh simpati kepada bangsa Indonesia dan kepada orang Belanda. Pemerintahannya dianggap terlalu lunak oleh Penguasa Perang di Tokyo dan karenanya perlu diganti (Juni 1942).

Semboyan 3A: Nippon Tjahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia berdengung merebak memenuhi pelosok Nusantara. Bersama itu kegiatan untuk mendukung tercapainya akhir "perang suci" Asia Timur Raya dicanangkan pula "Nipponisasi" wilayah selatan ini. Kebiasaan dan bahasa Jepang diupayakan membalut semua aspek kehidupan.

Penjepangan berlangsung bersama permiskinan wilayah kita. Namun patut dicatat usaha positif bala tentara untuk melatih pemuda, dengan segala cara dan tatakramanya, agar ikut "membela tanah air dengan darah daging sendiri". Lahirlah kesatuan PETA, yang kelak menjadi sebagian dari tulang punggung Tentara Nasional Indonesia.

Ekses pemerintahan militer dapat dilihat dari berbagai cara dalam berbagai spektrum kehidupan. Tetapi yang menonjol adalah pengerahan tenaga kerja sukarela (Romusha) dan wanita penghibur untuk para Heitaisan.

Ajaran awal tentang ber"parlemen" juga tampak sebagai upaya "winning the heart of the people". Hal itu mencapai puncaknya pada tahun 1944 ketika PM Koiso menjanjikan "Kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari", dengan membentuk PPKI. Sebagai respon, Ir. Soekarno (perlu diteliti lebih lanjut) menyatakan "Sehidup Semati dengan Jepang". Pekik perjuangan ini yang kelak melekatkan cap kepada Soekarno (setidaknya menurut kacamata Barat) sebagai comprador Jepang.

Belanda ingin kembali

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17-8-2605 (tarikh Jepang; lihat teks asli), yakni 17-8-1945. Tiga setengah tahun hidup spartan di bawah penindasan Jepang telah membuat Indonesia percaya diri untuk bertindak politis, dan militer untuk mempertahankan proklamasi dalam negerinya. Para terpelajar memperoleh kemampuan berdiplomasi dari pengalaman.

Tidak kurang dari Jendral van Straten (sepulang dari pengungsiannya di Australia) pada tgl 20 November 1945 mengatakan: "de geheele republiekbeweging niet veel om het lijf heeft ... bij eenig machtnertoon zal ... de zaak in een storten als een kaartenhuis, mits enkele leiders worden geisoleerd" (Groen, 1992). Terj. bebasnya: gerakan republik ini tak akan mempunyai umur panjang ... dengan suatu unjuk kekuatan Republik ini akan tercerai sebagai rumah kardus dan pemimpinnya akan terisolasi.

Dia tidak menyadari bahwa Indonesia dan rakyat Indonesia telah berubah selama 3,5 tahun dalam pendudukan Jepang. Let. Gubernur Jendral Van Mook (sebagai orang yang dibesarkan di "Hindia") yang menyadari hal itu tetap masih mempunyai sikap paternalistik untuk membopong Indonesia melalui "federalisme". Dia sadar bahwa Soekarno, Hatta, Syahrir tidak berdiri sendirian. Di belakang mereka ada 60 juta rakyat Indonesia, bersama dengan kaum intelektual dan pemikir militer. Van Mook memberanikan diri menemui dan berbicara dengan Soekarno, karena dia percaya hanya dengan Soekarno dan Hatta dia dapat menyelesaikan masalah Indonesia. Tetapi tindakannya itu memperoleh teguran keras dari Ratu Wilhelmina, bahkan akibat "bisik-bisik" (istilah tahun 2000 kaum reaksioner Belanda) akhirnya dia "dipecat".

Konflik antara Van Mook (penguasa pemerintah sipil) dengan Jendral Spoor (panglima tentara) sangat berkepanjangan dan intens. Di satu pihak van Mook ingin penyelesaian diplomatis, di pihak lain Jendral Spoor hendak cepat menyelesaikan dengan tindakan militer.

Walaupun sudah dikemukakan bahwa penyelesaian militer tidak akan bermanfaat bagi Belanda (baik oleh pandangan maju dalam negeri Belanda maupun oleh situasi internasional) Belanda melancarkan serangan 2 kali ke arah Republik Indonesia. Upaya terakhir itu merupakan tusukan di belakang punggung yang keras bagi Belanda karena menentang opini internasional dan ancaman penghentian bantuan Marshall untuk merehabilitasi tanah Belanda, yang rusak akibat PD II.

Diplomasi Indonesia oleh tokoh muda usia dan intervensi internasional (di kala awal perang dingin) dan ketegaran tentara R. I. menutup kemungkinan Belanda untuk menguasai kembali koloni kaya yang selama 100 tahun sebelumnya memasok sebesar 14-16% kocek perbendaharaan Belanda itu. Keberadaan Belanda di Indonesia berakhir secara resmi pada tgl 27 Desember 1949, bersama berdirinya R. I. S.

Sampai akhir tahun 1990-an debat tentang proses dekolonisasi Hindia Belanda dibarengi dengan ungkapan "schuld en boete" masa kolonial tetap berlangsung secara intens, apalagi setelah terbitnya "Excessen Nota" (Jan Bank, 1995) yang berisi tuduhan kekerasan tentara Belanda dalam perang kolonial (!945 - 1950). Tentu saja para Veteran Hindia Belanda menyangkal tuduhan itu, bahkan Nyonya Spoor (istri alm. Jendral Spoor) dalam pembukaan buku "Orde en Vrede" (Escher dkk., 1997) membela dengan gigih suami dan tentaranya bukan pembunuh. Mereka menyabung nyawa demi "Tuan-tuan" di Belanda agar dapat hidup nyaman menikmati hasil perkebunannya di Hindia Belanda.

Buat penulis ini, dan mungkin bagi kebanyakan orang, hanya mempunyai cakrawala pandangan sempit. Dalam kesempitan itu dia dapat menginterprestasikan peristiwa sangat subyektif menurut kadar simpanan kekayaan informasi di kepalanya. Mereka melihat peristiwa dalam ruang dan waktu yang sama, tetapi berbeda. Namun dengan mencoba mendekati peristiwa itu melalui "sejarah" kita dapat memperluas wawasan serta menjauhkan diri dari arus pikir kebanyakan. Untuk mengambil kesimpulan yang jernih, agar hikmah suatu peristiwa dapat dipetiknya. Juga akan menjadi lebih bijak jika pendekatan sejarah itu dapat mengecambahkan kesadaran psikologis untuk mengetahui peran seorang manusia, pada suatu waktu, dalam poros sejarah.***



Penulis adalah Direktur Observatorium Bosscha, Lembang.



Sumber: Pikiran Rakyat, 13 Mei 2002



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...