Nur Mahmudi Isma'il
Pakar Agroindustri BPPT, Mantan Menhutbun
Tanggal 20 Mei punya arti tersendiri bagi bangsa Indonesia. Pertama, hari itu biasa diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional karena pada tanggal 20 Mei 1908 didirikan sebuah organisasi Budi Utomo. Kedua, hari itu mengingatkan kita akan "Hari Ketegangan Nasional" karena pada tanggal 20 Mei 1998 terjadi ketegangan luar biasa akibat tentara Indonesia mengerahkan pasukannya bak akan terjadi "perang dunia" hanya untuk mengantisipasi rencana demonstrasi besar-besaran di lapangan Monas Jakarta. Peristiwa ini menandai awal sebuah proses reformasi di Indonesia karena esok harinya Soeharto yang telah berkuasa sejak 1966 mengundurkan diri dari jabatan presidennya.
Semangat 20 Mei harus dijaga bukan dalam pengertian tanggalnya, tetapi misi yang terkandung di dalam peristiwa-peristiwa yang terkait dengannya. Budi Utomo sering disorot sebagai perkumpulan yang tidak bersifat keindonesiaan, tapi kejawaan. Sampai saat kongresnya bulan April 1928, Budi Utomo tidak sekadar belum "mengenal" persatuan Indonesia tapi juga melakukan penolakan terhadap bahasa Indonesia. Selama 23 tahun Budi Utomo bersifat eksklusif, di luar perjuangan Pergerakan Nasional (Ahmad Mansur Suryanegara, 1995: 114). Penentuan hari-hari bersejarah memang tidak lepas dari politik kekuasaan, yang penting arah semangatnya dapat kita pahami dan bukan tidak mungkin ada penguasa politik lain yang ingin mengganti tanggal peringatan itu.
Sarekat Islam dikenal sebagai organisasi pertama yang mempopulerkan istilah "nasional" melalui Kongres Nasional Central Sarekat Islam di Bandung tahun 1916. Sebagai catatan, Partai Nasional Indonesia baru didirikan tahun 1927 juga di Bandung. Organisasi yang "menasional" ini mulanya adalah perkumpulan ekonomi yang disebut dengan Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada 16 Oktober 1905.
Organisasi ini kemudian berubah menjadi Sarekat Islam pada tahun 1906 dan mengembangkan orientasi politiknya dengan menuntut pemerintahan sendiri. Jelas, pesan awal perjuangan pergerakan Indonesia adalah kemandirian, tepatnya kemandirian ekonomi dan kemandirian politik. Semangat inilah yang harus ditangkap oleh perjuangan seluruh elemen bangsa Indonesia pasca "Hari Ketegangan Nasional" 20 Mei 1998 baik dari elemen mahasiswa sebagai pelopornya maupun mereka yang duduk di kursi kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).
Dari sisi kemandirian ekonomi, kondisi Indonesia sangat parah dan indikator "keterjajahannya" sangat jelas: total utang negara lebih besar dari produk domestik bruto/GDP (130:100) atau semakin jomplangnya perbandingan total utang negara dengan Gross National Product (GNP) Indonesia (sekitar 150:100). GNP sebenarnya dapat lebih tinggi jika suatu negara selain kuat industri domestiknya juga memiliki banyak investasi di luar negeri.
Namun, Indonesia secara resmi hampir tidak memiliki investasi di luar negeri dan investor asing di dalam negeri cukup banyak sehingga GNP cenderung jauh lebih kecil daripada GDP. Bahkan seluruh aktivitas bisnis yang sedang berjalan di Indonesia jika digadaikan semuanya tidak cukup untuk menutup seluruh utang negara yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 2.100 triliun itu (terdiri atas utang pemerintah baik atas nama pemerintah dan swasta sebesar Rp 1.530 triliun dan sisanya adalah berupa utang cadangan devisa BI dan berbagai obligasi yang diterbitkannya).
Jika utang luar negeri sering dikatikan dengan masalah kepercayaan, anehnya selain menjadi negara pengutang terbesar di dunia, Indonesia sering mendapat gelar dari berbagai lembaga pemantau korupsi dunia sebagai negara terkorup di dunia. Di sinilah bentuk penjajahan ekonomi yang sesungguhnya karena seluruh transaksi utang semata didasarkan pada keuntungan lembaga keuangan dunia. Tidak didasarkan pada kemauan mereka memakmurkan rakyat yang diberi "bantuan, bahkan cenderung mempertahankan pemerintahan yang korup selama masih menjaga kepentingan mereka.
Hubungan ekonomi dengan negara-negara kuat melalui lembaga-lembaga keuangan internasional telah banyak dikecam oleh para pengamat ekonomi kritis seperti Syahrir, Didik J Rachbini, dan bahkan oleh Kwik Kian Gie sendiri sebagai bagian dari pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati. Kwik menilai IMF, misalnya, adalah sebuah lembaga keuangan internasional yang sering tidak konsisten (mencla-mencle) sikapnya dalam "membantu menata" perekonomian Indonesia. Pemecahan IMF tidak pandai tapi arogan sehingga pihak asing diuntungkan dengan cara yang tidak wajar (Tempo Interaktif, 14/5).
Dari sisi kemandirian politik Indonesia kondisinya semakin lemah, saat ini barangkali yang terburuk dari sejarah perjalanan bangsa. Hal ini disebabkan transaksi-transaksi ekonomi senantiasa dikaitkan dengan prasyarat-prasyarat politik baik secara langsung pada pemaksaan kebijakan tertentu maupun tidak langsung dengan tekanan-tekanan atas nama penegakan hak-hak asasi manusia. Setelah penyerangan WTC dan Pentagon 11 September 2001 tekanan itu semakin dirasakan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Pihak inteligen Indonesia, misalnya, pernah menuduh terdapat jaringan Al-qaida di negeri ini tanpa bukti yang jelas dan tanpa tindak lanjut yang dapat menguatkan dugaan tersebut. Skandal yang paling memalukan adalah penangkapan Tamsil Linrung dan kawan-kawan di Filipina yang sampai sekarang tidak jelas juntrungannya, padahal belum apa-apa ia sudah dituduh teroris pembawa bahan bom C4. Tamsil dilepas setelah pemerintah Filipina kebingungan hendak mengenakan pasal apa sebagai alasan kesalahan padanya karena tidak ada bukti sedikit pun untuk itu.
Pihak inteligen yang sebelumnya bersemangat meyakinkan Amien Rais--karena Tamsil adalah bendahara PAN--bahwa Tamsil bersalah akhirnya berubah penampilan menjadi "pembela" dan "pembebas" warga negara yang malang itu.
Penangkapan Panglima Laskar Jihad lebih nyata lagi memperlihatkan lemahnya kemandirian politik Indonesia. Pihak Muslim di Maluku sebenarnya sejak awal kerusuhan terjadi sudah mengingatkan pemerintah bahwa RMS (Republik Maluku Selatan) ada di balik adu domba umat Islam-Kristen di sana. Tapi hal ini tidak pernah digubris bahkan pertemuan Malino I dan II mengesankan seolah-olah persoalan Maluku adalah persoalan konflik horisontal Islam-Kristen dan bukan persoalan separatisme. Pemerintah tidak bisa lagi punya helah ketika akhirnya bendera-bendera RMS yang mencapai ratusan buah dikibarkan pada hari ulang tahun mereka tahun 2002 ini.
Tapi ini pun tidak ditindak tegas sebagaimana yang sebelumnya diancamkan Pemerintah Darurat Sipil kepada RMS. Malah Jafar Umar Thalib yang jelas-jelas berjuang atas nama NKRI ditangkap. Tapi umumnya ummat Islam tidak merasa kaget atas penangkapan ini karena sebelumnya sudah diramalkan bahwa tekanan-tekanan politik AS akan mengarah ke sana.
Sudah selayaknya dalam rangka mengenang Kebangkitan Nasional kita meninjau kembali sejauh mana semangat para pejuang awal kemerdekaan Indonesia diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam masa transisi reformasi sekarang ini. Kita harus mampu memperpendek jarak antara kenyataan dan harapan dari cita-cita reformasi yang dikumandangkan rakyat pada awal tahun 1998. Jika jarak antara kenyataan dan cita-cita tersebut semakin jauh, tidak mustahil nasib bangsa ini akan lebih terpuruk lagi.
Dalam situasi krisis seperti sekarang ini kemandirian bangsa hanya dapat dikokohkan melalui penegakan hukum terhadap para pelanggar baik yang terkait dengan ekonomi seperti pelaku KKN maupun yang terkait dengan politik seperti separatisme. Hukum dalam pengertian ini adalah hukum yang berdiri di atas kepentingan keadilan bukan hukum yang berdiri di atas kepentingan politik/ekonomi, baik politik/ekonomi dalam negeri maupun politik/ekonomi luar negeri. Ketika hukum tidak berpijak pada keadilan akan tampaklah "sandiwara-sandiwara" pengadilan yang irrasional, menghina kecerdasan rakyat dan akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan berat kepada kebijakan hukum para aparat penegak hukum.
Jika ini yang terjadi maka yang akan terjadi adalah "hukum jalanan (street justice)" dari masalah-masalah pidana sampai politik dan sudah pasti biaya sosialnya akan sangat besar.
Komitmen moral adalah syarat dasar bagi gerakan kesadaran nasional di Indonesia. Tapi sebuah kenyataan yang juga harus dihadapi adalah bahwa komitmen moral yang rendah dari bangsa Indonesia selama beberapa dekade ini telah melahirkan kebodohan struktural dan kultural yang luar biasa. Upaya peningkatan kualitas SDM (sumber daya manusia) harus mendapat perhatian serius yang meliputi SDM pengelola asset nasional: eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pelaku bisnis/pembangunan sektor swasta. Kwalitas SDM menyangkut masalah kemampuan teknis, wawasan kewirausahaan, jiwa patriotisme, dan nasionalismenya.
Laporan BPK yang menyatakan dana APBN masih mengalami kebocoran sebesar 40% menunjukkan jiwa patriotisme dan nasionalisme SDM Indonesia masih sangat rendah. Nilai 40% adalah setara dengan dana sekitar Rp 110 triliun, dana yang dapat dipakai untuk menutup defisit anggaran APBN sebesar Rp 80 triliun. Berita yang beredar menyatakan bahwa penyebab kebocoran tidak terbatas pada eksekutif, namun juga melanda sektor yudikatif dan legislatif. Sering dilansir berita adanya anggota legislatif yang menerima berbagai bentuk dana pelicin yang tidak accountable, bahkan hingga kasus tercecernya kuitansi pemberian dana dari salah satu instansi pemerintah kepada anggota legislatif.
Harap juga diketahui bahwa banyak sektor swasta yang juga menjadi agen, katalisator maupun media, bahkan partner para eksekutif, yudikatif, maupun legislatif dalam kebocoran dana APBN tersebut.
Peningkatan wawasan kewirausahaan para birokrat diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyusunan rencana program pembangunan yang makin dekat dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat yang hidup di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki teknik pengelolaan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendayagunaan sumber daya alam yang sedang dikelola. Kenyataan Indonesia banyak sekali melakukan impor berbagai komoditas yang semestinya dapat dipenuhi dari peningkatan teknis, kualitas, dan efisiensi pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusianya.
Beberapa contoh komoditas seperti beras, garam, gula, tepung ikan, jagung, kedelai, daging sapi, daging ayam, dan lain-lain. Impor berbagai bahan pokok yang semestinya dapat diproduksi dalam negeri tersebut, selain menghabiskan devisa yang nilainya miliaran dolar juga dapat mengakibatkan hilangnya jutaan lapangan pekerjaan, matinya kreativitas sumber daya manusia dalam jangka panjang, dan lemahnya posisi tawar bangsa sehingga dapat mempengaruhi stabilitas politik dan keamanan negara.
Selain itu, pendapatan negara juga masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan sistem pengelolaan sumber daya alam yang selama ini dianggap mengalami kebocoran dan mis-management. Kasus penyelundupan terhadap tiga komoditas ikan, pasir, dan kayu log negara telah mengalami kerugian pendapatan senilai 9,5 miliar dolar per tahun secara berturut-turut sebesar 4 miliar dolar (ikan), 3 miliar dolar (pasir), dan 2,5 miliar dolar (kayu gelondongan).
Bagi semua tugas-tugas mulia di atas--peningkatan kualitas SDM di segala level--tentu bukan pekerjaan yang mudah dan anggaran yang layak harus dialokasikan. Diperkirakan diperlukan peningkatan anggaran belanja di sektor ini dari sekitar Rp 1 triliun per tahun menjadi sekitar Rp 8 triliun per tahun (3%) untuk pengadaan berbagai sarana dan prasarana yang sudah terlalu jauh ketinggalan baik kecanggihannya maupun jumlahnya, termasuk peningkatan kesejahteraan para prajurit TNI/Polri.
Anggaran sebesar ini insya Allah tidak akan sia-sia dibandingkan dengan potensi ekonomi dan politik bangsa yang dapat dibangkitkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tentu saja dengan syarat anggaran ini tidak justru menjadi pos korupsi baru. Jika ini terjadi maka celakalah nasib bangsa Indonesia. Nau'dzu billahi min dzalik. []
Sumber: Republika, 21 Mei 2002
Komentar
Posting Komentar