Masjid yang terletak di perbatasan Kota Makassar dan Sungguminsa, ibukota Kabupaten Gowa Sulsel itu, juga menjadi saksi sejarah awal mula masuknya agama Islam di Sulsel. Pasalnya, penyebaran Islam di Sulsel, khususnya di Kerajaan Gowa, ditandai dengan pembangunan Masjid Katangka.
Penyebaran Islam di Kerajaan Gowa diawali setelah Malaka jatuh ke Portugis. Saat itu, banyak orang Malaka mengungsi ke Timur, termasuk ke Kerajaan Gowa. Karaeng Katangka yang saat itu sebagai Raja Gowa IV, menyambut kehadiran orang-orang Malaka dengan baik, bahkan menyiapkan satu perkampungan yang kemudian disebut Kampung Melayu. Dalam pelariannya, orang-orang Malaka itu dipimpin Sultan Ternate sendiri.
Karena Sultan Ternate sudah memeluk Islam, ia kemudian menawarkan agar Raja Gowa juga memeluk Islam. Namun, tawaran sang sultan tidak langsung mendapat sambutan dari Raja Gowa. Rupanya, I Mangnge'rangi Daeng Manra'dia Karaeng Katangka ingin mengetahui seluk beluk Islam terlebih dahulu. Maka, ia pun kemudian mengirim surat ke Raja Aceh. Untuk memberikan pemahaman tentang Islam lebih mendalam, Raja Aceh mengirim dua orang guru, yakni Datuk Ribandang dan Datuk Ditiro. Datuk Ribandang mengajar di wilayah sekitar kerajaan Gowa (meliputi Gowa sendiri dan Makassar: red). Sementara Datuk Ditiro mendapat tugas mengajarkan agama Islam di wilayah selatan kerajaan Gowa (sekarang Kabupaten Bantaeng, Bulukumba dan Sinjai: red).
Saat tiba di Kerajaan Gowa, karena kebetulan hari Jumat, Datuk Ribandang yang membawa 40 orang muridnya lantas meminta Raja Gowa menunjukkan satu tempat untuk mereka gunakan shalat Jumat. Raja Gowa kemudian mencarikan tempat dengan mengitari benteng kerajaan Gowa. Kebetulan ia melihat tanah yang agak lapang, maka dipersilahkannya para tamunya melakukan shalat Jumat di tempat tersebut.
Pemahaman yang diberikan Datuk Ribandang--dikenal sebagai penyebar Agama Islam pertama di Sulsel--ternyata mampu melahirkan keyakinan dalam diri sang Raja, sehingga ia pun memutuskan memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin. Bahkan, setelah para tamunya pulang ke Aceh, Raja Gowa langsung memerintahkan rakyatnya untuk membangun masjid. Masjid yang pertama dibangun seluruhnya terbuat dari kayu jenis Katangka. Di usianya yang sudah ratusan tahun, masjid itu sudah berulang kali mengalami pemugaran. Bangunannya memang sudah terbuat dari beton, namun kesan kesederhanaannya tetap menonjol. Masjid itu hanya berukuran 13 x 13 meter. Agar bisa menampung jamaah yang lebih banyak, maka dilakukan perluasan pada serambi masjid seluas 15 x 4 meter.
Masjid itu memiliki enam buah jendela besar berukuran 3,5 x 15 meter dengan tebal lebih dari satu meter. Di dalamnya juga terdapat empat pilar berbentuk lingkaran dengan diameter 70 cm. Keempat tiang itu memiliki arti tersendiri. Seperti dituturkan Imam Masjid Katangka Siradjuddin, empat tiang itu bermakna Rasulullah memiliki empat sahabat.
Masjid yang dindingnya kini sudah dilumuri lumut hijau, juga dilengkapi ornamen tulisan Arab berbahasa Makassar yang bercerita tentang awal pembangunan masjid tua Katangka ini. Ornamen tersebut terletak di atas pintu-pintu masuk dan jendela masjid. Tentang dinding masjid yang dibuat tebal ternyata menurut Siradjuddin memiliki kisah tersendiri. "Dinding masjid ini sengaja dirancang tebal seperti itu karena masjid Katangka ini sekaligus menjadi benteng pertahanan terakhir Kerajaan Gowa dari serangan tentara Belanda. Dinding itu tidak tembus peluru, sehingga dijadikan tempat pelarian untuk menyelamatkan diri dari serangan tentara Belanda," tuturnya.
Selain historisnya yang dalam, masjid itu juga menyimpan sebuah cerita berbau mistik. Konon, jamaah, termasuk Sirajuddin sendiri kerap menemukan hal-hal aneh di masjid itu. Misalnya, saat bedug ditabuh, tiba-tiba muncul sepasang tangan yang ikut membantu menabuh bedug tersebut, terkadang juga terdengar suara orang mengambil air wudhu, namun saat diperiksa, tidak ada siapa-siapa.
(Andi Harjramurni)
Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar