Satu lagi yang juga masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah daerah Matraman. Konon daerah ini merupakan pusat komunitas mantan prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Banyak dari sebagian prajurit yang diutus Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan Pietersen Coen di Batavia, memilih tetap tinggal di Batavia setelah gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga prajurit-prajurit itu bukan tentara reguler, melainkan para relawan dari golongan masyarakat biasa di Mataram sana.
Jadi karena di daerah itu banyak orang-orang dari Kerajaan Mataram, orang Melayu di Batavia menyebutnya Matraman. Dari asal kata Mataraman, yang artinya tempat orang-orang Mataram. Sebagai anggota masyarakat dari sebuah kerajaan Islam, tentunya tingkat religiusitas mereka juga tidak diragukan lagi. Ini terbukti, di masa-masa awal mendiami daerah itu awal abad 18 mereka langsung mendirikan tempat ibadah. Tempat yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Jami Matraman sekarang.
Pada tahun 1837 dua orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir di Batavia, H. Mursalun dan Bustanul Arifin, memelopori pembangunan kembali tempat ibadah itu. Setelah selesai pembangunannya, dahulu masjid ini diberi nama Masjid Jami' Mataraman Dalem. Yang artinya masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram. Dipilihnya nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Dan memang terbukti hingga kini masjid itu disebut dengan Masjid Jami Matraman.
Melihat tampilan arsitekturnya, Masjid Jami Matraman dipengaruhi oleh gaya dari Mekah dan India. Sebagai seseorang yang menyandang gelar haji pada masanya, H. Mursalun terkagum-kagum dengan bangunan Masjidil Haram dan Taj Mahal. Dua ciri kuat dari arsitektur kedua masjid itu adalah bentuk beranda yang menggunakan pilar-pilar tipis dengan profil melengkung-lengkung di antaranya. Lalu bentuk kubah yang bulat bundar serta menara di samping masjid. Hal inilah yang juga kelihatannya diterapkan pada Masjid Jami Matraman.
Penggunaan masjid secara resmi dikukuhkan oleh Pangeran Jonet dari Kasultanan Yogyakarta, yang merupakan keturunan langsung dari Pangeran Diponegoro. Sholat Jum'at pertama di Masjid Jami Matraman itu juga dipimpin sendiri oleh Pangeran Jonet. Sejak itu hingga masa-masa pergerakan, Masjid Jami Matraman diramaikan oleh berbagai aktivitas keagamaan. Karena letaknya yang berdekatan dengan kantong-kantong pergerakan pemuda-daerah Pegangsaan dan Kramat, masjid ini sempat juga dicurigai sebagai tempat gerakan anti kolonial.
Maka pada tahun 1920, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat membongkar Masjid Jami Matraman. Setelah sebelumnya memanggil beberapa tokoh masyarakat dan ulama sekitar masjid ke HofdBureau--semacam kantor polisi zaman itu. Peristiwa itu membangkitkan amarah masyarakat sekitar Masjid Jami Matraman. Dipimpin langsung oleh H. Mursalun dan Bustanul Arifin yang ketika itu telah berusia lebih dari seabad, masyarakat sekitar menggalang kekuatan dan mengadakan mobilisasi massa.
Rupanya reaksi keras dari masyarakat itu menciutkan nyali pemerintah Belanda untuk membongkar masjid. Bahkan untuk mengambil hati dan simpati, tahun 1923, pemerintah Hindia Belanda ikut membantu renovasi bagian yang rusak dari Masjid Jami Matraman yang sekarang berada di Jalan Matraman II No. 1 Rt. 008/04 Kel. Pegasangsaan Kec. Menteng, Jak-Pus.
Tidak sulit mencari lokasi masjid ini. Letaknya yang berdekatan dengan perempatan Matraman--perpotongan empat jalan raya yakni Jalan Matraman Raya, Pramuka, Salemba dan Matraman, dapat dengan mudah dijangkau baik dengan transportasi umum maupun pribadi.
(pesantren.net/M-1)
Sumber: Suara Karya, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar