Langsung ke konten utama

Nilai-nilai Kebangkitan Nasional dan Pemilu 1999

Oleh Sorimuda Siregar

Kebangkitan nasional adalah peristiwa berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Budi Utomo merupakan tonggak sejarah yang merefleksikan perubahan sikap sekaligus awal kebangkitan mentalitas bangsa Indonesia setelah 3,5 abad terbelenggu oleh penjajahan kolonialisme.

Sebab itu, kesadaran mewujudkan organisasi Budi Utomo merupakan pencanangan bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan secara terorganisasi atas dasar realitas sosial pribumi yang sangat memprihatinkan, baik secara intelektual maupun ekonomi. Pada awalnya Budi Utomo merupakan wadah pergerakan perjuangan oleh para mahasiswa STOVIA (School Tot Opiding Van Indlanche Artsen) yaitu sekolah tinggi kedokteran pribumi yang dipimpin oleh Dr. Soetomo.

Perjuangan gigih Budi Utomo itu ternyata tidak sia-sia. Slow but sure mereka semakin menempatkan eksistensi organisasi itu melalui penyempurnaan yang lebih baik dan peningkatan tujuan yang hendak dicapai. Strategi perjuangan memang luar biasa. Tatkala mulai berdiri organisasi itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat kecil. Namun selanjutnya strategi itu mengalami pergeseran nilai, dari strategi sosial kultur menjadi strategi perjuangan politik. Warga politik dalam perjuangan mereka pun menuju babak baru.

Sejarah menunjukkan bahwa penyempurnaan perjuangan itu dimulai pada tahun 1934 ketika Soetomo dan kawan-kawannya membentuk Indonesia Studie Club (ISC) dengan tujuan menghimpun dana dan mengkonsolidasikan sikap politik, sehingga pada akhirnya mampu menangani masalah-masalah sosial sekaligus politik. Pada tahun 1926 kembali Soetomo mengadakan konsolidasi peran organisasi, mengingat waktu itu tampaknya di antara para anggota kurang memahami arti persatuan dan kesatuan yang sesungguhnya.

Maka dengan konsolidasi itu ditandai dengan dibentuknya Komite Persatuan Indonesia (KPI) di Surabaya. Kemudian perhimpunan selanjutnya yang dibentuk adalah Perhimpunan-Perhiumpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) tahun 1927. Hal itu terkait dengan penilaian bahwa KPI kurang memenuhi target yang diinginkan, yaitu persatuan dan kesatuan. Namun ISC berkembang menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dan akhirnya berfusi ke Partai Indonesia Raya (Parindra) pada tahun 1935.

Nilai-nilai Kebangkitan Nasional

Kini sudah 91 tahun usia berdirinya Budi Utomo. Hari berdirinya Budi Utomo telah ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Keppres No. 667/1961). Dengan demikian terus diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tahun sebagai tonggak sejarah perjuangan nasional. Namun suatu hal yang terpenting dari Keppres tersebut adalah sejarah itu sebagai momentum kebangkitan mentalitas bangsa, terutama bagi generasi muda sebagai generasi penerus. Karena jika dikaji realitas sejarah menunjukkan bahwa generasi muda waktu itu sungguh merupakan kebanggaan tersendiri.

Betapa tidak! Dr. Soetomo masih berstatus mahasiswa STOVIA pada saat memimpin pencanangan Budi Utomo. Pada saat itu beliau masih berusia 20 tahun. Namun kapasitas intelektualitasnya begitu mumpuni, cakrawala berpikirnya jauh ke depan serrta tanggung-jawabnya terhadap rakyat yang tertindas begitu luar biasa, sesuatu yang (mungkin) jarang kita temukan dewasa ini di kalangan generasi muda seusia Soetomo. Oleh karena itu, pantaslah kita menggali, memahami, dan meneladani semangat perjuangannya. Sehingga mencambuk semangat generasi muda untuk bangkit secara fisik dan mental.

Nilai-nilai kebangkitan perjuangannya sebagai the agent of social changes sebaiknya tidak cukup kita peringati sebagai dinding monumental belaka, tetapi harus dapat menumbuhkembangkan, memantapkan, dan meningkatkan kesadaran kita (khususnya kepada generasi muda sebagai generasi penerus bangsa) untuk memperkokoh solidaritas kebangsaan. Atau mempertahankan kepribadian bangsa, mempertebal rasa memiliki yang kokoh dan cinta terhadap keutuhan bangsa dan negara, mempertebal jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan.

Dengan demikian, secara garis besar nilai-nilai Kebangkitan Nasional itu dapat kita petik dari pergerakan perjuangannya untuk dihayati dan diaktualisasikan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seperti diutarakan berikut ini: Pertama, tingginya kesadaran Budi Utomo. Soetomo dengan usia muda sebagai pimpinan sungguh tanggap terhadap nasib bangsanya yang tertindas oleh kolonial Belanda, baik secara intelektual dan ekonomi. Strategi semangat persatuan dan kesatuan merupakan kekuatan modal yang mutlak ditumbuhkembangkan oleh Budi Utomo, sehingga tercermin dari perjuangannya hingga dewasa ini.

Kedua, kendali emosional mereka yang matang, tidak terburu-buru. Pemimpin Budi Utomo jelas memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, sadar sepenuhnya bahwa hakikat perjuangan membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan, bukan perjuangan crash program atau program yang terburu-buru. Perjuangan memantapkan martabat bangsa dan membebaskan diri dari belenggu kolonial tak mungkin dilakukan secara revolusioner waktu itu. Hal itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak mengidap mental yang selalu mendapatkan sesuatu secara cepat (quick pixed expectation). Cara berpikir mereka berorientasi jangka pajang, tidak dangkal. Dalam perjuangan itu, mereka bertekad menjadi tuan di negeri sendiri, bebas dari belenggu kolonial.

Ketiga, Soetomo dan kawan-kawan memiliki konsistensi yang tinggi dalam perjuangan. Pencanangan Budi Utomo dalam perjalanan sejarahnya menghadapi berbagai tantangan yang dapat mempengaruhi tujuan Budi Utomo itu. Umpamanya timbul perpecahan antara golongan moderat dan golongan radikal akibat ingin memantapkan tujuan politis lewat dukungan massa. Namun sikap luwes Soetomo dan kawan-kawan mampu menyatukan kembali ke dalam Partai Indonesia Raya pada tahun 1935. Selain konsistensi perjuangan yang bersifat akternal, dalam tubuh Budi Utomo pun tercermin konsistensi karakter spesifik sebuah organisasi berwawasan kebangsaan yaitu sikap senantiasa bermusyawarah untuk mufakat. Mereka menyadari bahwa kepentingan nasional berada di atas segalanya, tidak kepentingan golongan dll.

Keempat, strategi sosial kultur dan politik begitu prima juga oleh sikap modern dan aritokratik, tidak memiliki arogansi kelompok. Sikap hati-hati dan moderat merupakan ciri kebijaksanaan Budi Utomo. Hal itu penting untuk mengelabui pemerintah kolonial. Budi Utomo bergerak melalui arus bawah, sarana pendidikan, upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Kemudian mengadakan perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda yang menunjukkan keberhasilan, yaitu, terwujudnya undang-undang tentang perwakilan rakyat (didirikan Volksrad sama dengan Dewan Rakyat tahun 1918) dan Budi Utomo mendapat kursi di dalam Volksrad. Begitu sikap kehati-hatiannya demi keutuhan organisasi dan kesinambungan perjuangan.

Bertolak dari paparan yang diuraikan itu, diperlukan upaya-upaya untuk terus-menerus memahami, memelihara, dan meningkatkan perwujudan dari nilai-nilai kebangkitan nasional itu kepada seluruh warga negara, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus bangsa untuk membangkitkan solidaritas yang berwawasan kebangsaan dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan tangguh, terhindar dari berbagai tantangan (kerusuhan, huru hara, bentrok-bentrok massa) seperti yang terjadi akhir-akhir ini dalam menghadapi Pemilu tahun 1999 ini.

Menghadapi Pemilu 1999

Dewasa ini sedang berlangsung kampanye dalam menghadapi Pemilu 1999. Pemilu merupakan pelaksanaan arti perjuangan yang dijiwai oleh nilai-nilai semangat kebangkitan nasional. Sebab tanpa kebangkitan nasional yang dicetuskan oleh para pejuang pergerakan itu tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan bangsa Indonesia yang bebas dari berbagai belenggu penjajahan bangsa mana pun di muka bumi ini.

Dengan demikian, sepantasnyalah kita khususnya generasi muda sebagai generasi penerus bangsa menggali, menghayati, dan meneladani nilai-nilai kebangkitan nasional yang telah diuraikan di atas untuk melancarkan jalannya pelaksanaan Pemilu dalam mempersiapkan Pemerintah baru yang amanah menuju "Indonesia Baru" yang dicita-citakan oleh seluruh bangsa Indonesia.

Tetapi sebagaimana kita saksikan akhir-akhir ini, kegiatan politik dari Organisasi Peserta Pemilu (OPP) yakni 48 partai politik beserta pendukung dan simpatisannya semakin memanas. Sehingga menunjukkan fenomena sosial dari berbagai skala berupa koreksi terbuka, polemik, unjuk rasa, dan berbagai kerusuhan dan bentrok telah merambah di daerah-daerah, seperti di Jepara yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian-kerugian lainnya. Syukur bentrok-bentrokan itu dapat dikendalikan oleh semua pihak.

Maka dalam menghadapi Pemilu tahun 1999 ini, diharapkan lebih baik dari Pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu jurdil dan luber, tidak terlepas dari kesadaran tekad dan tanggung jawab semua pihak untuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan yang berwawasan kebangsaan yang tangguh sebagai keutuhan agenda "reformasi". Kesadaran tekad dan tanggung jawab itu, secara tidak langsung merupakan nilai-nilai Kebangkitan Nasional dalam menghadapi Pemilu tahun 1999.

Momentum memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-91 tahun sekarang ini, hendaknya dapat diupayakan dengan berbagai peningkatan. Seperti semangat persatuan dan kesatuan bangsa merupakan hal yang mutlak dalam menyukseskan Pemilu tahun 1999 ini, sebagaimana telah dibuktikan oleh Budi Utomo. Hal ini perlu dihayati semua pihak bahwa semangat itu telah mendarah daging sejak Sumpah Pemuda tahun 1928 dan meluas serta berkembang menjadi kekuatan para pejuang dalam mencapai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

Dengan demikian, Pemilu 1999 yang akan dilaksanakan pada tanggal 7 Juni nanti akan sukses apabila didukung dengan niat baik, disiplin, dan tetap memelihara semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan tangguh oleh semua pihak, baik OPP, PPI, PPD, Panwasnas, Panwasda, dan calon-calon pemilih. Sehingga Pemilu dapat berjalan lancar, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

Seiring dengan hal itu, dalam menyukseskan Pemilu tahun 1999 ini yang tidak kalah pentingnya ditingkatkan, antara lain adalah: Pertama, terciptanya suasana dan kondisi yang kondusif, tenang, aman, damai, dan tertib tanpa terjadi berbagai hal yang tidak diharapkan, baik dalam bentuk kerusuhan, huru hara, unjuk rasa, bentrok-bentrokan, dan gejolak-gejolak "isu" yang meresahkan maupun merugikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Kedua, lingkungan masyarakat yang tenang dan sejuk. Hal ini perlu dipelihara dan dijaga oleh semua pihak. Menghindari dari berbagai keresahan dan kerawanan sosial di lingkungan masyarakat masing-masing. Ciptakan kedamaian dan kesejukan di lingkungan masyarakat, baik dalam pelaksanaan kampanye dan Pemilu. Biarlah jaket atau partai berbeda, namun persatuan dan kesatuan serta lingkungan masyarakat yang sejuk merupakan "ujung tombak" dalam menyukseskan pemilu.

Ketiga, kerukunan antaretnis, suku, agama, dan golongan setiap warga negara Indonesia. Saling menumbuhsuburkan pengertian di antara sesama warga negara bangsa ini, sehingga tahan oleh hasutan dan gangguan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan tidak tergiur oleh maraknya berbagai kerusuhan dan bentrokan.

Akhirnya, dalam upaya menyukseskan Pemilu 1999 ini sesuai dengan harapan yang diuraikan di atas, tergantung sejauh mana kita, khususnya generasi muda sebagai generasi penerus bangsa memahami, menggali, dan menghayati nilai-nilai Kebangkitan Nasional itu lalu mengaktualisasikannya di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sehingga bangkit dan berkembang rasa solidaritas kebangsaan dan semangat persatuan dan kesatuan yang berwawasan kebangsaan yang tangguh oleh semua warga negara Indonesia untuk menyukseskan Pemilu tahun 1999 ini. (Penulis adalah pemerhati masalah sosial, tinggal di Depok)



Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...