Langsung ke konten utama

Ibnu Batuta: Penjelajah Dunia dari Rusia hingga Samudra Pasai

Orang-orang Arab sejak lama dikenal sebagai penjelajah dunia. Boleh dibilang, merekalah pionir-pionir utama yang mengantarkan umat manusia mengenal satu sama lain. Bila Columbus dianggap penemu Dunia Baru atau Benua Amerika, maka anggapan itu perlu diperbarui karena para penjelajah Arab telah mendaratkan perahu-perahu mereka di Dunia Baru tersebut lima abad sebelum kehadiran Columbus. Catatan sejarah yang ada menunjukkan kapal-kapal mereka telah melintasi Selat Bering untuk mengelilingi pantai-pantai Amerika Utara.

Salah satu tokoh penjelajah muslim yang namanya diukir dengan tinta emas adalah Ibnu Batuta. Bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati al Tanji, Ibnu Batuta lahir di Tangiers, Maroko, Afrika Utara pada 24 Februari 1304 M. Dibesarkan dalam keluarga yang taat memelihara Islam, Ibnu Batutah giat mempelajari fikih dari para ahli yang sebagian besar menduduki jabatan Kadi (hakim). Selain itu, ia juga mempelajari sastra dan syair Arab.

Pada masa hidupnya, Bani Marrin tengah berkuasa di Maroko dan mengalami kejayaannya. Penguasaannya atas dunia pelayaran yang diperolehnya saat bersama-sama pasukan kerajaan beberapa kali memerangi Perancis yang mengancam. Kedua negeri ini, Maroko dan Perancis hanya dipisahkan lautan sehingga pertempuran laut sering terjadi antara keduanya.

Menurut sejarawan George Sarton yang mengutip catatan Sir Henry Yules, Ibnu Batuta telah mengelana sejauh 75.000 mil melalui daratan dan lautan. Jarak ini jauh lebih panjang dari yang dilakukan Marco Polo dan penjelajah mana pun sebelum datangnya mesin uap. Ketika Marco Polo meninggal, usianya baru 20 tahun. Ahli sejarah seperti Brockellman menyejajarkan namanya dengan Marco Polo, Hsien Tsieng, Drake dan Magellan.

Seluruh cerita perjalanannya ia diktekan kembali dan ditulis oleh Ibnu Jauzi, juru tulis Sultan Maroko, Abu Enan. Karya itu diberi judul Tuhfah an-Nuzzarfi Ghara'ib al-Amsar wa Ajaib al-Asfar (persembahan seorang pengamat tentang kota-kota asing dan perjalanan yang mengagumkan) dan menjadi perhatian berbagai kalangan di Eropa sejak diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti Perancis, Inggris, dan Jerman.

Kepergian pertama Ibnu Batutah saat ia menunaikan ibadah haji pada usia kurang dari 21 tahun. Menurut catatan sejarah kepergian itu tepat pada 14 Juni 1325 M. Diseberanginya Tunisia dan hampir seluruh perjalanannya ditempuh dengan berjalan kaki. Ia tiba di Alexandria pada 15 April 1326 dan mendapat bantuan dari Sultan Mesir berupa hadiah dan uang untuk bekal menuju Tanah Suci. Perjalanan ia lanjutkan ke Mekah melalui Kairo dan Aidhab, pelabuhan penting di Laut Merah dekat Aden.

Mengetahui jalur perjalanan selanjutnya penuh dengan penyamun, ia kembali ke Kairo dan melanjutkan ke Mekkah melalui Gaza, Yerusalem, Hammah, Aleppo dan Damaskus, Syria. Ia tiba di Mekkah pada Oktober 1926. Selama di Mekah ini Ibnu Batutah bertemu dengan jamaah dari berbagai negeri. Pertemuan inilah yang mendorong semangat Ibnu Batutah mengenal langsung negeri-negeri asal jamaah haji. Ia batalkan kepulangannya dan ia pun memulai pengembaraan menjelajahi dunia. 

Ia mulai seberangi gurun pasir Arabia menuju Irak dan Iran. Lalu, ia kembali ke Damaskus dan melanjutkannya ke Mosul, India. Setelah itu, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya ke Mekah dan menetap di kota suci itu selama tiga tahun (1328-1330 M). Puas menetap di Mekah, ia pun melanjutkan pengembaraan ke Aden dan berlayar ke Somalia, pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan Mambasa. Kembali ke Aden, lalu ke Oman, Hormuz di Teluk Persia dan Pulau Dahrain. Mampir sebentar ke Mekah pada 1332, Ibnu Batuta menyeberangi Laut Merah, menyusuri Nubia, Nil Hulu, Kairo, Syria, dan tiba di Lhadhiqiya lalu menggunakan sebuah kapal Genoa, berlayar ke Alaya di pantai selatan Asia Kecil.

Usai melakukan perjalanan laut, pada 1333 Ibnu Batuta melanjutkan pengembaraannya lewat darat. Ia jelajahi stepa-stepa di Rusia Selatan hingga sampai ke istana Sultan Muhammad Uzbeg Khan yang ada di tepi Sungai Wolga. Penjelajahan ia teruskan hingga ke Siberia. Awalnya ia berniat menuju Kutub Utara, namun ia batalkan karena dinginnya cuaca daerah 'Tanah Gelap', sebutan wilayah yang tak pernah ada sinar matahari tersebut.

Ibnu Batuta mengunjungi Kaisar Byzantium, Audronicas III dan mendapat perlakuan baik dari sang kaisar. Ia pun mendapat hadiah kuda, pelana dan payung. Perjalanan darat pun dilanjutkan menuju Persia Utara hingga Afghanistan dan beristirahat di Kabul. 

Pengembaraan berakhir sementara ketika Ibnu Batuta mencapai India dan bertemu dengan Sultan Delhi, Muhammad bin Tuqluq. Di kesultanan ini, Ibnu Batuta diangkat menjadi hakim oleh sang sultan dan tinggal di negeri ini selama delapan tahun. Atas perintah Sultan, Ibnu Batuta menjadi duta besar kepada Kekaisaran Cina.

Dalam perjalanan mnuju Cina yang dilakukan melalui laut inilah Ibnu Batuta sempat mampir ke beberapa negeri termasuk Kesultanan Samudra Pasai di Sumatera. Khusus di Samudera Pasai, Ibnu Batuta dalam catatannya menulis sebagai negeri yang menghijau dan kota pelabuhannya sebagai kota besar yang indah. Kedatangannya disambut Amir (panglima) Daulasah, Kadi Syarif Amir Sayyir asy-Syirazi, Tajuddin al-Asbahani dan beberapa ahli fikih atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345).

Menurut Ibnu Batuta, Sultan Mahmud merupakan penganut mazhab Syafii yang giat menyelenggarakan pengajian, pembahasan, dan muzakarah tentang berbagai hukum Islam. "Sultan sangat rendah hati dan berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan biasa berkeliling kota melihat keadaan rakyatnya," tulisnya dalam laporan perjalanan.

Selama 15 hari, Ibnu Batutah mengunjungi Samudra Pasai sebelum melanjutkan perjalanan ke Cina. Ia pun sempat mengunjungi pedalaman Sumatera yang masih dihuni masyarakat non-muslim.

Di tempat ini ia menemukan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, bunuh diri masal yang dilakukan budak ketika pemimpinnya mati. Ibnu Batuta sempat kembali singgah di Samudra Pasai sekembalinya dari Cina.

Kunjungannya ke Kaisar Cina dicatat dengan kekagumannya atas kekuatan armada besar yang dibangun kekaisaran tersebut. Ia pun beruntung mendapat kesempatan menikmati perahu pesiar milik Kaisar menuju Peking, ibukota kekaisaran. Kembali dari Cina, Ibnu Batuta mengunjungi India, Oman, Persia, Irak, dan Damaskus. Ia pun kembali ke Mekah menunaikan ibadah haji untuk keempat kalinya pada 1348 M. Sekembalinya dari haji, ia menyusuri Yerusalem, Gaza, Kairo, dan Tunis. Dari Tunis, dengan menumpang perahu menuju Maroko lewat Dardinia dan tiba di Fez, ibukota Maroko pada 8 November 1349 M. Sejak itu, ia menetap hingga akhir hayatnya pada 1377 M. Praktis hingga ajal menjemput ia berkelana dan mengunjungi berbagai negeri, baik Islam maupun non-Islam selama 24 tahun.

[] rif/dari berbagai sumber



Sumber: Republika, 29 Mei 1998



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...