Langsung ke konten utama

Gelar Pahlawan Nasional Bagi 3 Putra Terbaik Bangsa

JAKARTA (Suara Karya): Presiden Soeharto menganugerahkan gelar pahlawan nasional dan tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada 3 putra terbaik bangsa, yakni Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan, Tuanku Tambusai, dan Syekh Yusuf Tajul Khalawati. Penghargaan kepada ketiga tokoh yang telah almarhum ini diberikan atas jasa-jasa yang luar biasa dan tindak kepahlawanan mereka dalam perjuangan melawan penjajah pemerintah kolonial Belanda pada umumnya, dan khususnya dalam perjuangan mempertahankan prinsip kemerdekaan sehingga dapat dijadikan teladan setiap WNI.

Penyematan penghargaan yang diterimakan kepada ahli waris masing-masing dilakukan Kepala Negara di Istana Merdeka, Kamis. Hadir Ibu Tien Soeharto, Wapres dan Ny Tuti Try Sutrisno, Ketua MPR-DPR Wahono, Ketua DPA Sudomo, Ketua Bepeka JB Sumarlin, para menteri,dan keluarga penerima penghargaan. 

Selain kepada ketiga tokoh itu, Presiden juga menganugerahkan penghargaan kepada 47 tokoh nasional lainnya, yang semuanya telah meninggal. Mereka terdiri dari berbagai kalangan masyarakat. 

Jenderal TNI (Purn) Basuki Rachmat (mantan Mendagri) dan Jenderal TNI (Purn) Amirmachmud (mantan Ketua MPR-DPR RI) memperoleh penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Berdasarkan Keppres No 072 dan 073/TK/1995, jasa keduanya dinilai sangat luar biasa atau luar biasa terhadap negara dan bangsa Indonesia, guna keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan negara.

Bintang Republik Indonesia Utama dianugerahkan kepada Mr Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikoesoemo. Keduanya adalah tokoh perancang Pembukaan UUD 1945.



Bung Tomo

Bintang Mahaputera Adipradana dianugerahkan kepada 12 putra terbaik bangsa, yakni Mr Dr Kusumah Atmadjaja SH (Ketua Mahkamah Agung 1945-1952), Prof Dr Mr R Wirjono Prodjodikoro SH (Ketua MA 1952-1966), Laksamana TNI (Purn) R Moeljadi (mantan KSAL), Laksamana TNI (Purn) R Subono (mantan KSAL), Letjen TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang (Kepala Staf Angkatan Perang 1950-1953), Mayjen TNI (Purn) Bambang Soegeng (Mantan KSAD), Soewirjo (mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Sukiman), Prof Dr Soedjono Djuned Pusponegoro (mantan Menteri Urusan Riset Nasional Kabinet Kerja), Dr Adnan Kapau Gani (mantan Wakil Perdana Menteri 4/mantan Menteri Kemakmuran Kabinet Sjahrir), Dr Sudarsono (mantan Mendagri Kabinet Sjahrir), Ki Samidi Mangunsarkoro (mantan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Kabinet Hatta dan Kabinet Halim), serta Mr Assaat (mantan Mendagri Kabinet M Natsir).

Sementara itu 24 tokoh lainnya dianugerahi Bintang Mahaputera Utama. Mereka adalah Bung Tomo (mantan Meneg Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran Kabinet Burhanuddin), KH Prawoto Mangkusasmito (mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Wilopo), Dr Darmasetiawan (mantan Menkes Kabinet Sjahrir), Dr Abu Hanifah (mantan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Kabinet Hatta), Ir Indratjahja (mantan Menhub Kabinet Darurat), dan Mr Jusuf Wibisono (mantan Menkeu Kabinet Sukiman). Penerima lainnya, Prof Dr Bahder Djohan (mantan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Kabinet Wilopo), Sewaka (mantan Menhan Kabinet Sukiman), Mr Sujono Hadinoto (mantan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Kabinet Sukiman), I Herling Laoh (mantan Menteri PU Kabinet Sjahrir), Dr JA Latumeten (mantan anggota DPA), Prof Mr Drs Notonegoro (mantan Guru Besar Universitas Gadjah Mada), dan R Katja Sungkana (mantan Menteri Sekretaris Kongres Pemuda ke-2/Sekretaris Kongres Bahasa Indonesia I).



Pendiri PWI

Penghargan Bintang Mahaputera Utama juga diberikan kepada Mr Sumanang (penderi Lembaga Kantor Berita Antara/pendiri Persatuan Wartawan Indonesia), Tjilik Riwut (mantan Gubernur Kalteng), Syekh Muhamad Djamil Djambek (mantan anggota DPA), Khatib Sulaiman (Ketua Front Pertahanan Nasional), Laksda TNI (Purn) John Lie alias Jahja Daniel Dharma, Mr Drs Abdul Karim Pringgodigdo (mantan Direktur Kabinet Presiden/mantan Ketua Bepeka), Soedjatmoko (mantan Kepala Pers Luar Negeri Deppen RI tahun 1945/mantan Dubes di Washington), Sumantoro (mantan Pemred Berita Indonesia), Mr Satochid Kartanagara (mantan Wakil Ketua MA) dan Brigjen TNI (Purn) Piola Isa SH (mantan Ketua Muda MA).

Bintang Mahaputera Pratama dianugerahkan kepada Komisaris Besar Polisi (Purn) RKK Sosrodanukusmo (mantan Kepala Kepolisian Negara Darurat di Yogyakarta) dan Ny Kartowiyono (Wakil Ketua Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928).

Lima putra terbaik bangsa lainnya menerima anugerah Bintang Mahaputera Nararya. Mereka adalah Dr Alfian (mantan Deputi Pengkajian dan Pengembangan BP-7 Pusat), KH Ahmad Siddiq (tokoh NU), Ki Nartosabdho (dalang wayang kulit), Mayor Laut (Anumerta) Memet Sastrawirya, dan Mayor Laut (Anumerta) Wiratno, keduanya pelaku Pertempuran Aru.

Penganugerahan penghargaan berlangsung singkat, namun khidmat. Acara diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelah itu mengheningkan cipta yang dipimpin oleh Presiden. Kemudian dibacakan nama-nama penerima penghargaan oleh Sekretaris Militer Presiden RI dan dilanjutkan dengan penyematan penganugerahan. Sebelum ditutup kembali dengan lagu Indonesia Raya, Menag ad interim Saadilah Mursjid memimpin doa bersama.

Selesai acara, Presiden menyampaikan ucapan selamat kepada keluarga almarhum/ahli waris. Selanjutnya Kepala Negara bersama Ibu Tien mengadakan jamuan santap siang dengan para ahli waris pahlawan nasional dan penerima Bintang Mahaputera serta warakawuri di Istana Negara.



Dalang Pertama

Penerima Bintang Mahaputera Ki Nartosabdho (1925-1985) termasuk dalang yang pertama kali menerima penghargaan tertinggi dari negara. "Ini suatu peristiwa dan prestasi luar biasa," ujar Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Drs Solichin dalam acara syukuran yang diselenggarakan Pepadi dan Sekretaris Pewayangan Indonesia (Senawangi), Kamis (9/10).

Sementara itu Ketua Senawangi Y Soedarko Prawiroyudo yang juga anggota DPR-RI memberi kesan bahwa Ki Nartosabdo baru menerima anugerah bintang tanda jasa setelah orang lain menerima, menikmati, dan merasa terhibur dan menonton karyanya. "Banyak yang menangis ketika beliau pergi, dan saya tidak bisa tidur beberapa hari," selanya. 

(N-1/S-8)



Sumber: Suara Karya, 10 November 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...