Oleh Iman Rahardjo
Empat puluh tujuh tahun yang lalu, dini hari Senin 21 Juli 1947, pasukan Belanda kolonialis menerobos garis demarkasi di daerah yang didudukinya di Jawa dan Sumatera, dan menggempur pasukan pertahanan Republik Indonesia dengan aksi militer besar-besaran yang mereka namakan "aksi polisionil".
Bagaimana mulanya Belanda melancarkan aksi perang itu, sedangkan mereka baru tujuh bulan mencokolkan kakinya di 7 kota di Jawa dan Sumatera, yang diwarisinya dari tentara pendudukan Sekutu/Inggris?
Terungkap dalam sejarah, bahwa ada beberapa hal yang mendorong Belanda bertindak menggempur RI, seterunya waktu itu.
Pertama, dalam konfrontasi versus RI menjelang pertengahan 1947 pihak Belanda merasa kedudukannya secara politik makin kuat. Seusai Perang Dunia II, Belanda beruntung masih mengantungi pengakuan internasional perihal kedaulatannya atas Indonesia. Lalu dalam waktu 1 ½ tahun Belanda praktis telah menguasai kembali wilayah-wilayah Kalimantan, Indonesia Timur, dan Nusa Tenggara. Di situ Belanda kemudian membentuk pemerintahan boneka 'Daerah-Bagian Kalimantan Barat' (22 Oktober 1946) dan 'Negara Indonesia Timur' (24 Desember 1946), yang dijadikannya sekutu dalam menghadapi RI.
Sebaliknya, keadaan RI ditinjau dari segi politik dan ekonomi, menurut penilaian Belanda, sudah sangat parah dan RI telah mendekati kehancurannya. Beberapa waktu sebelumnya, tepatnya tanggal 15 November 1946, RI dan Belanda telah memaraf Persetujuan Linggarjati. Di kalangan RI banyak orang yang menentang persetujuan ini, dan mereka ini terus-menerus melakukan rongrongan terhadap RI. Sedangkan di bidang ekonomi, RI makin melemah akibat blokade yang dilakukan oleh angkatan laut Belanda.
Kedua, Belanda meyakini bahwa balatentaranya memiliki keunggulan terhadap tentara RI dalam hal mobilitas, perlengkapan teknis, daya tembak, pesawat terbang. Pada paruh pertama 1947 kekuatan militer Belanda di Jawa dan Sumatera terdiri atas 89.000 orang tentara KL, marinir, dan KNIL, di antaranya 70.000 orang adalah operasional; 10 skuadron berbagai tipe pesawat terbang; 4 buah kapal torpedo pemburu serta 7 buah kapal pendarat.
Sedangkan menurut penyelidikan intelijen Belanda, pihak RI di Jawa/Sumatera mempunyai kekuatan militer beberapa gelintir pesawat pemburu dan pembom ringan; beberapa buah kapal transpor kecil; dan 194.000 orang tentara reguler serta 167.000 orang berbagai laskar perjuangan. Kesemuanya menurut penilaian intelijen Belanda "sangat lemah organisasi serta disiplinnya, kurang terlatih, dan persenjataan serta perlengkapannya amat miskin: hanya 25% dari kekuatan militer ini yang dipersenjatai, itu pun boleh dikata tanpa kendaraan perang berat".
Karena hal-hal tersebut tadi Belanda berminat sekali untuk unjuk gigi kepada RI, terutama untuk menggertak unsur-unsur pimpinan RI yang 'radikal dan tak mau kompromi' agar mau tunduk menerima segala tuntutan Belanda.
Ketiga, Pemerintah Hindia Belanda sendiri sebenarnya sedang mengalami kemerosotan hebat dalam perekonomiannya. Pada penghujung 1947 kota Jakarta di bawah pendudukan Belanda menderita kekurangan pangan. Tambahan pula situasi perekonomian serta finansial Hindia Belanda sedang amat gawat, sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan 'kebangkrutan finansial' mulai bulan Agustus 1947! Makanya Belanda berkeinginan merebut wilayah-wilayah RI yang memiliki potensi ekonomi tinggi, supaya dengan itu perekonomian Hindia Belanda kemudian dapat berkembang membaik.
Operasi Produk
Maka sejak Februari hingga Mei 1947 pimpinan balatentara Hindia Belanda menyusun rencana penyerbuannya terhadap RI. Agar penyerbuan itu kelak tidak terlalu mengejutkan dunia internasional, maka Aksi tersebut dirancang hanya terbatas buat menduduki sebagian wilayah tertentu RI di Jawa dan Sumatera. Tapi sesungguhnya jumlah anggota tentara yang katanya unggul itu memang tidak mencukupi untuk menduduki secara efektif seluruh daerah RI di Jawa/Sumatera. Aksi penyerbuan itu diberi nama sandi militer 'Operasi Produk', dan terutama ditujukan untuk memaksa pihak RI agar dalam hal politik menerima (tunduk kepada) segala tuntutan Belanda, dan sekaligus untuk membalikkan kemerosotan dalam bidang perekonomian serta keuangan Belanda.
Selanjutnya untuk pelaksanaan Operasi Produk itu Panglima Balatentara Hindia Belanda, Letnan Jenderal SH Spoor menggariskan suatu siasat yang dipandangnya paling efektif. Siasat ini disebutnya 'strategi ujung tombak' dan dilukiskannya sebagai berikut: pertama-tama, suatu serangan besar-besaran dan menyeluruh terhadap wilayah sasaran di Jawa dan Sumatera; kemudian disusul dengan kegiatan-kegiatan pengamanan ('pasifikasi') daerah-daerah yang diduduki dengan jalan patroli yang terus-menerus oleh satuan-satuan militer yang kecil guna menemukan kelompok-kelompok gerilya yang tertinggal dan menghancurkannya.
Demikianlah setelah persiapan operasi tadi cukup matang, maka pada 27 Mei 1947, hanya dua hari setelah formalitas upacara penandatanganan Persetujuan Linggarjati di Jakarta (25 Mei), Belanda menyampaikan sebuah nota tuntutan kepada RI. Tuntutan-tuntutan yang diajukan ialah agar RI berpartisipasi dalam suatu pemerintahan federal sementara; menghentikan kontak-kontak internasionalnya; menyetujui pembentukan suatu gendarmerie (pasukan polisi) Belanda-Indonesia guna memelihara ketertiban dan keamanan di daerah RI dan Belanda; dan menyetujui pembentukan suatu organisasi bersama untuk mengendalikan impor, ekspor, dan alat pembayaran luar negeri.
Di bawah ancaman serangan militer Belanda, maka pemerintah RI yang waktu itu dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, terpaksa menerima tuntutan-tuntutan Belanda tadi, kecuali yang mengenai gendarmerie. Konsesi yang diberikan Syahrir ini meledakkan tentangan hebat dari lawan-lawan politiknya di kalangan RI. Terjadilah krisis pemerintahan dan akhirnya Kabinet Syahrir jatuh.
Kabinet penggantinya terbentuk pada 3 Juli 1947 di bawah PM Amir Syarifuddin. Dalam perundingan lebih lanjut dengan pihak Belanda, Amir Syarifuddin tetap melanjutkan langkah-langkah yang telah ditempuh pendahulunya, dan tetap menolak pembentukan gendarmerie bersama.
Penolakan RI atas tuntutan soal gendarmerie itu menjadi alasan, 'casus belli', bagi Belanda untuk melaksanakan niatnya memerangi RI. Pada 18 Juli 1947 Letnan Jenderal Spoor--atas perintah Pemerintah Belanda--mengeluarkan perintah singkat kepada seluruh jajaran balatentara Hindia Belanda di Jawa dan Sumatera: "Produk-Hari H 21 Juli". Maka pada dinihari 21 Juli 1947 Operasi Produk pun menggelinding.
Hasil Operasi
Aksi militer Belanda ini dalam garis besarnya berjalan sesuai dengan rencana. Bahkan dalam masa dua pekan Belanda ternyata dapat merebut wilayah yang lebih luas dari sasaran yang ditentukan semula. Di semua front tentara RI menderita pukulan berat, sehingga terpaksa mundur sambil sedapat-dapatnya melakukan taktik bumi hangus.
Sampai pekan pertama Agustus 1947 tentara Belanda berhasil menguasai Jawa: sebagian besar Jawa Barat (kecuali daerah Banten), daerah Banyumas, pantai utara Jawa Tengah, daerah Mojokerto-Malang, seluruh semenanjung sudut timur dan bagian selatan Pulau Madura; di Sumatera: daerah Binjai Pematang Siantar dan daerah Lahat--Pendopo--Baturaja. Kesemuanya daerah pertanian/perkebunan atau ladang minyak bumi. Dengan demikian maka Operasi Produk berhasil mencapai tujuan mendapatkan sarana yang diperlukan buat 'mendongkrak' pertumbuhan perekonomian Hindia Belanda.
Sebaliknya tujuan Operasi Produk yang lainnya, yakni mengubah sikap politik RI agar menjadi tunduk kepada tuntutan Belanda, ternyata sama sekali meleset: RI tetap tidak menyerah begitu saja kepada tuntutan politik Belanda! Bahkan perlawanan bersenjata oleh TNI dan laskar-laskar perjuangan malah masih terus dilancarkan, juga di daerah-daerah yang telah jatuh di bawah pendudukan Belanda.
Namun ada faktor lain yang turut menggagalkan Operasi Produk, bahkan sampai menghentikannya, ialah tekanan pendapat dunia internasional. Suatu faktor yang sebenarnya sudah diantisipasi oleh Belanda sewaktu mereka merancang aksi militernya; tetapi faktor ini disepelekannya.
Segera setelah aksi militer Belanda itu pecah, maka Dewan Keamanan PBB bersidang atas desakan India dan Australia. Tanggal 1 Agustus 1947 DK mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada Belanda dan RI yang berperang agar mengadakan gencatan senjata dan mencari penyelesaian di antara mereka melalui perundingan. Belanda terpaksa menerima baik resolusi itu. Maka pada 4 Agustus pukul 24.00 diberlakukanlah gencatan senjata, dan gerak maju tentara Belanda ke jurusan Yogyakarta (ibukota perjuangan RI waktu itu) pun dihentikan.
Selanjutnya diadakanlah kembali perundingan-perundingan antara RI dan Belanda, kini dengan bantuan suatu komisi jasa-jasa baik PBB yang beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika Serikat ('Komisi Tiga Negara'). Perundingan-perundingan itu lima bulan kemudian, yakni pada 17 Januari 1948, menghasilkan persetujuan baru, yang kelak dikenal dengan sebutan 'Persetujuan Renville'.
Pelajaran Historis
Menelaah kembali peristiwa yang berlangsung 47 tahun yang lampau itu, maka ada beberapa 'pelajaran' yang dapat dikedepankan.
Pertama, aksi Militer Belanda I telah gagal menundukkan sikap para pemimpin RI. Sebabnya tidak lain karena hasrat merdeka serta semangat kebangsaan di kalangan RI sudah demikian mengental sehingga tidak mempan lagi ditindas dengan kekerasan senjata. Memang sejarah telah mengajarkan, bahwa hasrat merdeka rakyat terjajah yang menggebu-gebu biasanya tidak dapat dibinasakan dengan kekerasan senjata belaka.
Ironisnya, pihak Belanda rupanya kurang menyadari hukum sejarah ini. Kalangan militernya beranggapan bahwa tidak berhasilnya Operasi Produk beserta strategi ujung tombaknya adalah karena dihentikan di tengah jalan oleh campur tangan PBB. Maka mereka malah bertekad akan meneruskan upayanya menaklukkan RI dengan jalan perang. Pada waktunya nanti upaya mereka itu akan sekali lagi 'mendapat pelajaran' dari hukum sejarah tadi.
Kedua, zaman sehabis Perang Dunia II merupakan era mulainya intervensi PBB dalam bermacam 'peristiwa dalam negeri' di berbagai negara manakala peristiwa-peristiwa itu dianggap oleh dunia internasional sebagai mengganggu perdamaian dunia.
Belanda agaknya memandang remeh keampuhan intervensi PBB seperti itu. Tetapi akhirnya toh mereka harus mengakui kesaktian intervensi PBB itu dengan menghentikan aksi militernya terhadap RI, sebagaimana yang disyaratkan oleh pihak PBB.
Bagi RI, yang baru dua tahun mempertahankan kemerdekaannya, campur tangan PBB ini merupakan suatu kemenangan diplomasi dalam pertikaiannya dengan Belanda, di balik kekalahannya di medan pertempuran. Dan intervensi PBB seperti ini pula ada yang di hari kemudian akan menjegal langkah agresi militer Belanda berikutnya terhadap RI pada bulan Desember 1948.***
Penulis adalah seorang yang sedang menelaah sejarah perjuangan kemerdekaan RI.
Sumber: Suara Karya, 21 Juli 1994 (?)
Empat puluh tujuh tahun yang lalu, dini hari Senin 21 Juli 1947, pasukan Belanda kolonialis menerobos garis demarkasi di daerah yang didudukinya di Jawa dan Sumatera, dan menggempur pasukan pertahanan Republik Indonesia dengan aksi militer besar-besaran yang mereka namakan "aksi polisionil".
Bagaimana mulanya Belanda melancarkan aksi perang itu, sedangkan mereka baru tujuh bulan mencokolkan kakinya di 7 kota di Jawa dan Sumatera, yang diwarisinya dari tentara pendudukan Sekutu/Inggris?
Terungkap dalam sejarah, bahwa ada beberapa hal yang mendorong Belanda bertindak menggempur RI, seterunya waktu itu.
Pertama, dalam konfrontasi versus RI menjelang pertengahan 1947 pihak Belanda merasa kedudukannya secara politik makin kuat. Seusai Perang Dunia II, Belanda beruntung masih mengantungi pengakuan internasional perihal kedaulatannya atas Indonesia. Lalu dalam waktu 1 ½ tahun Belanda praktis telah menguasai kembali wilayah-wilayah Kalimantan, Indonesia Timur, dan Nusa Tenggara. Di situ Belanda kemudian membentuk pemerintahan boneka 'Daerah-Bagian Kalimantan Barat' (22 Oktober 1946) dan 'Negara Indonesia Timur' (24 Desember 1946), yang dijadikannya sekutu dalam menghadapi RI.
Sebaliknya, keadaan RI ditinjau dari segi politik dan ekonomi, menurut penilaian Belanda, sudah sangat parah dan RI telah mendekati kehancurannya. Beberapa waktu sebelumnya, tepatnya tanggal 15 November 1946, RI dan Belanda telah memaraf Persetujuan Linggarjati. Di kalangan RI banyak orang yang menentang persetujuan ini, dan mereka ini terus-menerus melakukan rongrongan terhadap RI. Sedangkan di bidang ekonomi, RI makin melemah akibat blokade yang dilakukan oleh angkatan laut Belanda.
Kedua, Belanda meyakini bahwa balatentaranya memiliki keunggulan terhadap tentara RI dalam hal mobilitas, perlengkapan teknis, daya tembak, pesawat terbang. Pada paruh pertama 1947 kekuatan militer Belanda di Jawa dan Sumatera terdiri atas 89.000 orang tentara KL, marinir, dan KNIL, di antaranya 70.000 orang adalah operasional; 10 skuadron berbagai tipe pesawat terbang; 4 buah kapal torpedo pemburu serta 7 buah kapal pendarat.
Sedangkan menurut penyelidikan intelijen Belanda, pihak RI di Jawa/Sumatera mempunyai kekuatan militer beberapa gelintir pesawat pemburu dan pembom ringan; beberapa buah kapal transpor kecil; dan 194.000 orang tentara reguler serta 167.000 orang berbagai laskar perjuangan. Kesemuanya menurut penilaian intelijen Belanda "sangat lemah organisasi serta disiplinnya, kurang terlatih, dan persenjataan serta perlengkapannya amat miskin: hanya 25% dari kekuatan militer ini yang dipersenjatai, itu pun boleh dikata tanpa kendaraan perang berat".
Karena hal-hal tersebut tadi Belanda berminat sekali untuk unjuk gigi kepada RI, terutama untuk menggertak unsur-unsur pimpinan RI yang 'radikal dan tak mau kompromi' agar mau tunduk menerima segala tuntutan Belanda.
Ketiga, Pemerintah Hindia Belanda sendiri sebenarnya sedang mengalami kemerosotan hebat dalam perekonomiannya. Pada penghujung 1947 kota Jakarta di bawah pendudukan Belanda menderita kekurangan pangan. Tambahan pula situasi perekonomian serta finansial Hindia Belanda sedang amat gawat, sehingga dikhawatirkan akan mengakibatkan 'kebangkrutan finansial' mulai bulan Agustus 1947! Makanya Belanda berkeinginan merebut wilayah-wilayah RI yang memiliki potensi ekonomi tinggi, supaya dengan itu perekonomian Hindia Belanda kemudian dapat berkembang membaik.
Operasi Produk
Maka sejak Februari hingga Mei 1947 pimpinan balatentara Hindia Belanda menyusun rencana penyerbuannya terhadap RI. Agar penyerbuan itu kelak tidak terlalu mengejutkan dunia internasional, maka Aksi tersebut dirancang hanya terbatas buat menduduki sebagian wilayah tertentu RI di Jawa dan Sumatera. Tapi sesungguhnya jumlah anggota tentara yang katanya unggul itu memang tidak mencukupi untuk menduduki secara efektif seluruh daerah RI di Jawa/Sumatera. Aksi penyerbuan itu diberi nama sandi militer 'Operasi Produk', dan terutama ditujukan untuk memaksa pihak RI agar dalam hal politik menerima (tunduk kepada) segala tuntutan Belanda, dan sekaligus untuk membalikkan kemerosotan dalam bidang perekonomian serta keuangan Belanda.
Selanjutnya untuk pelaksanaan Operasi Produk itu Panglima Balatentara Hindia Belanda, Letnan Jenderal SH Spoor menggariskan suatu siasat yang dipandangnya paling efektif. Siasat ini disebutnya 'strategi ujung tombak' dan dilukiskannya sebagai berikut: pertama-tama, suatu serangan besar-besaran dan menyeluruh terhadap wilayah sasaran di Jawa dan Sumatera; kemudian disusul dengan kegiatan-kegiatan pengamanan ('pasifikasi') daerah-daerah yang diduduki dengan jalan patroli yang terus-menerus oleh satuan-satuan militer yang kecil guna menemukan kelompok-kelompok gerilya yang tertinggal dan menghancurkannya.
Demikianlah setelah persiapan operasi tadi cukup matang, maka pada 27 Mei 1947, hanya dua hari setelah formalitas upacara penandatanganan Persetujuan Linggarjati di Jakarta (25 Mei), Belanda menyampaikan sebuah nota tuntutan kepada RI. Tuntutan-tuntutan yang diajukan ialah agar RI berpartisipasi dalam suatu pemerintahan federal sementara; menghentikan kontak-kontak internasionalnya; menyetujui pembentukan suatu gendarmerie (pasukan polisi) Belanda-Indonesia guna memelihara ketertiban dan keamanan di daerah RI dan Belanda; dan menyetujui pembentukan suatu organisasi bersama untuk mengendalikan impor, ekspor, dan alat pembayaran luar negeri.
Di bawah ancaman serangan militer Belanda, maka pemerintah RI yang waktu itu dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, terpaksa menerima tuntutan-tuntutan Belanda tadi, kecuali yang mengenai gendarmerie. Konsesi yang diberikan Syahrir ini meledakkan tentangan hebat dari lawan-lawan politiknya di kalangan RI. Terjadilah krisis pemerintahan dan akhirnya Kabinet Syahrir jatuh.
Kabinet penggantinya terbentuk pada 3 Juli 1947 di bawah PM Amir Syarifuddin. Dalam perundingan lebih lanjut dengan pihak Belanda, Amir Syarifuddin tetap melanjutkan langkah-langkah yang telah ditempuh pendahulunya, dan tetap menolak pembentukan gendarmerie bersama.
Penolakan RI atas tuntutan soal gendarmerie itu menjadi alasan, 'casus belli', bagi Belanda untuk melaksanakan niatnya memerangi RI. Pada 18 Juli 1947 Letnan Jenderal Spoor--atas perintah Pemerintah Belanda--mengeluarkan perintah singkat kepada seluruh jajaran balatentara Hindia Belanda di Jawa dan Sumatera: "Produk-Hari H 21 Juli". Maka pada dinihari 21 Juli 1947 Operasi Produk pun menggelinding.
Hasil Operasi
Aksi militer Belanda ini dalam garis besarnya berjalan sesuai dengan rencana. Bahkan dalam masa dua pekan Belanda ternyata dapat merebut wilayah yang lebih luas dari sasaran yang ditentukan semula. Di semua front tentara RI menderita pukulan berat, sehingga terpaksa mundur sambil sedapat-dapatnya melakukan taktik bumi hangus.
Sampai pekan pertama Agustus 1947 tentara Belanda berhasil menguasai Jawa: sebagian besar Jawa Barat (kecuali daerah Banten), daerah Banyumas, pantai utara Jawa Tengah, daerah Mojokerto-Malang, seluruh semenanjung sudut timur dan bagian selatan Pulau Madura; di Sumatera: daerah Binjai Pematang Siantar dan daerah Lahat--Pendopo--Baturaja. Kesemuanya daerah pertanian/perkebunan atau ladang minyak bumi. Dengan demikian maka Operasi Produk berhasil mencapai tujuan mendapatkan sarana yang diperlukan buat 'mendongkrak' pertumbuhan perekonomian Hindia Belanda.
Sebaliknya tujuan Operasi Produk yang lainnya, yakni mengubah sikap politik RI agar menjadi tunduk kepada tuntutan Belanda, ternyata sama sekali meleset: RI tetap tidak menyerah begitu saja kepada tuntutan politik Belanda! Bahkan perlawanan bersenjata oleh TNI dan laskar-laskar perjuangan malah masih terus dilancarkan, juga di daerah-daerah yang telah jatuh di bawah pendudukan Belanda.
Namun ada faktor lain yang turut menggagalkan Operasi Produk, bahkan sampai menghentikannya, ialah tekanan pendapat dunia internasional. Suatu faktor yang sebenarnya sudah diantisipasi oleh Belanda sewaktu mereka merancang aksi militernya; tetapi faktor ini disepelekannya.
Segera setelah aksi militer Belanda itu pecah, maka Dewan Keamanan PBB bersidang atas desakan India dan Australia. Tanggal 1 Agustus 1947 DK mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada Belanda dan RI yang berperang agar mengadakan gencatan senjata dan mencari penyelesaian di antara mereka melalui perundingan. Belanda terpaksa menerima baik resolusi itu. Maka pada 4 Agustus pukul 24.00 diberlakukanlah gencatan senjata, dan gerak maju tentara Belanda ke jurusan Yogyakarta (ibukota perjuangan RI waktu itu) pun dihentikan.
Selanjutnya diadakanlah kembali perundingan-perundingan antara RI dan Belanda, kini dengan bantuan suatu komisi jasa-jasa baik PBB yang beranggotakan Australia, Belgia, dan Amerika Serikat ('Komisi Tiga Negara'). Perundingan-perundingan itu lima bulan kemudian, yakni pada 17 Januari 1948, menghasilkan persetujuan baru, yang kelak dikenal dengan sebutan 'Persetujuan Renville'.
Pelajaran Historis
Menelaah kembali peristiwa yang berlangsung 47 tahun yang lampau itu, maka ada beberapa 'pelajaran' yang dapat dikedepankan.
Pertama, aksi Militer Belanda I telah gagal menundukkan sikap para pemimpin RI. Sebabnya tidak lain karena hasrat merdeka serta semangat kebangsaan di kalangan RI sudah demikian mengental sehingga tidak mempan lagi ditindas dengan kekerasan senjata. Memang sejarah telah mengajarkan, bahwa hasrat merdeka rakyat terjajah yang menggebu-gebu biasanya tidak dapat dibinasakan dengan kekerasan senjata belaka.
Ironisnya, pihak Belanda rupanya kurang menyadari hukum sejarah ini. Kalangan militernya beranggapan bahwa tidak berhasilnya Operasi Produk beserta strategi ujung tombaknya adalah karena dihentikan di tengah jalan oleh campur tangan PBB. Maka mereka malah bertekad akan meneruskan upayanya menaklukkan RI dengan jalan perang. Pada waktunya nanti upaya mereka itu akan sekali lagi 'mendapat pelajaran' dari hukum sejarah tadi.
Kedua, zaman sehabis Perang Dunia II merupakan era mulainya intervensi PBB dalam bermacam 'peristiwa dalam negeri' di berbagai negara manakala peristiwa-peristiwa itu dianggap oleh dunia internasional sebagai mengganggu perdamaian dunia.
Belanda agaknya memandang remeh keampuhan intervensi PBB seperti itu. Tetapi akhirnya toh mereka harus mengakui kesaktian intervensi PBB itu dengan menghentikan aksi militernya terhadap RI, sebagaimana yang disyaratkan oleh pihak PBB.
Bagi RI, yang baru dua tahun mempertahankan kemerdekaannya, campur tangan PBB ini merupakan suatu kemenangan diplomasi dalam pertikaiannya dengan Belanda, di balik kekalahannya di medan pertempuran. Dan intervensi PBB seperti ini pula ada yang di hari kemudian akan menjegal langkah agresi militer Belanda berikutnya terhadap RI pada bulan Desember 1948.***
Penulis adalah seorang yang sedang menelaah sejarah perjuangan kemerdekaan RI.
Sumber: Suara Karya, 21 Juli 1994 (?)
Komentar
Posting Komentar