Langsung ke konten utama

Kisah-kisah Sekitar Aksi Militer I (1947)

KISAH-kisah di bawah ini aslinya berasal dari pihak Belanda, musuh Republik di masa revolusi 1945-1950. Kecuali kisah-kisah di bawah ini para penulis Belanda juga banyak menampilkan foto dokumenter. Mereka memang memiliki banyak juru potret, sedangkan pihak Republik, akibat isolasi selama Perang Dunia II dan revolusi, tidak selalu mempunyai juru potret di medan perang. Kesadaran akan dokumentasi dan pengelolaannya juga dapat kita lihat dari lebih teraturnya penyimpanan koleksi dokumen Belanda, sehingga setiap diperlukan untuk penulisan mudah dicari kembali oleh para peneliti dan penulis.

Kisah-kisah yang dilaporkan pun tampak diusahakan untuk sejauh mungkin obyektif. Ada humor dan kejenakaan, karena dikisahkan kembali setelah ada jarak-waktu yang cukup dengan saat peristiwa terjadi.

Laporan Wartawan Belanda

Kekacauan di daerah Republik makin bertambah. Dari seberang garis demarkasi, datang berita-berita tentang ketidakamanan. Berbagai kelompok bersenjata saling bertempur. Di dekat Bekasi terjadi benturan antara pengikut Tentara Rakyat Indonesia, dan pengikut Laskar Rakyat. Tembak-menembak jelas terdengar. Suasana teror dan keganasan menjadi pembicaraan umum. Pemerintah Republik mengkhawatirkan campur-tangan pihak Belanda, suatu alasan yang ada dasarnya.

Persiapan-persiapan ke arah itu telah dilakukan dengan cepat. Segera pula TRI telah dikirim ke daerah produksi beras di Karawang, yang merupakan batu ujian tersendiri bagi penduduk. Tentara memerlukan segalanya, harga-harga membubung tinggi, keadaan kesehatan rakyat makin mundur.

Tetapi di bidang kemiliteran terjadi kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Di bekas pabrik-pabrik Braat (sekarang Bharata) dengan sepenuh tenaga telah dibuat senjata-senjata sten (sten guns), granat-granat tangan dan peluru-peluru. Sukabumi menjadi daerah pertahanan yang diperkuat. Semua gedung besar, kantor pos dan telegrap, stasiun kereta api, asrama dan pabrik beras telah dipasangi ranjau. Siang malam diadakan penjagaan. Mata-mata Republik yang menyamar sebagai pembantu rumah tangga dan pedagang masuk ke dalam wilayah yang diduduki Belanda. Ketidakamanan makin dirasakan. Sabotase merupakan kejadian sehari-hari. Banyak kendaraan Belanda telah menerjang ranjau. Jalan antara Batavia (Jakarta)-Bekasi telah ditaburi dengan paku-paku. Kawat-kawat tilpon diputuskan.

Sesuatu harus terjadi, kesabaran dan kesetiaan (Tentara Belanda) makin lama dapat luntur. Penghentian tembak-menembak (cease fire) persetujuan Linggarjati menjadi omong kosong. Pelanggaran kedua belah pihak sering terjadi. Tentara (Belanda) hanya terdiam saja. Pada masa itu diperlukan usaha untuk menahan diri dan disiplin dari dalam. Keadaan menjadi makin sulit karena mereka harus berpangku tangan, seolah-olah sebagai penganggur. Tetapi di balik itu semua, disusunlah berbagai rencana. Di markas besar dan markas brigade pertemuan sering diadakan untuk memutuskan apa yang harus diperbuat bila aksi militer menjadi sesuatu yang tidak bisa dielakkan lagi ....

Apa itu "Operasi Produksi"?

Sejak bulan Januari 1946 di markas-markas divisi dan brigade tentara Belanda telah disusun rencana-rencana penyerbuan terhadap Republik. Ada rencana untuk membuat kota Semarang menjadi induk kekuatan tentara Belanda. Selanjutnya dari kota itu, Kota Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia dapat langsung diserbu. Dengan hancurnya pusat pemerintahan Republik, maka kekuatan politik Republik akan hancur pula. Rencana ini nampaknya mudah dan tidak banyak mengandung risiko. (Lihat peta)

Tetapi ada beberapa keberatan terhadap rencana itu, demikian pendapat markas brigade Belanda di Surabaya. Antara lain, pemerintah Belanda dengan mudah dapat dituduh melakukan perang perebutan wilayah (Perang Dunia II baru saja selesai, perang tidak populer lagi), dan bukan sebagai aksi "untuk memulihkan keamanan dan ketertiban". Bagaimanapun aksi-aksi militer Belanda harus dipandang sebagai "aksi kepolisian".

Maka lahirlah pertimbangan untuk menyusun kembali kehidupan ekonomi. Tujuan utama dari aksi militer itu ialah, untuk merebut bagian-bagian pulau Jawa dan Sumatra yang banyak terdapat perkebunan, pabrik-pabrik dan daerah penghasil beras. Sasaran ekonomis menjadi yang utama. Karena itu, rencana aksi militer mendapat nama sandi Operatie Product. Pada bulan Maret 1947 staf divisi dan brigade tentara Belanda di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, dan Palembang diperintahkan untuk merencanakan Operasi Product dengan lebih terperinci. Bulan Mei di mana-mana rencana penyerbuan telah selesai. Awal Juni tentara Belanda di Jawa dan Sumatra telah disiapkan untuk menerima perintah dari "Batavia" ....

Pada minggu terakhir bulan Juli 1947 kedua belah pihak yang berselisih telah memperhitungkan perang akan berkobar dalam beberapa hari lagi. Di bidang diplomasi pemerintah Republik tetap menolak syarat-syarat berat yang dituntut pemerintah Belanda untuk mengadakan suatu aturan peralihan, sehingga tentara Jenderal Spoor telah mendapat perintah untuk melaksanakan "operasi produksi" pada tanggal 30 Juni, tetapi tiba-tiba saja Kabinet Sjahrir memberi konsesi-konsesi lagi. Konsesi yang diberikan kabinet Sjahrir terlalu banyak, sehingga mengakibatkan kejatuhannya dan muncullah Kabinet Amir Sjarifudin. Kabinet baru ini berhasil meyakinkan Presiden Sukarno, bahwa sulit untuk kembali kepada konsesi-konsesi yang telah diberikan Sjahrir. Namun demikian .... Pada tanggal 15 Juli Van Mook memberikan ultimatum atau ancaman lagi: pihak Republik harus mengundurkan tentaranya pada kedudukan 10 km dari garis demarkasi. Jawaban Amir Sjarifudin dianggap tidak jelas dan pada malam 17 menjelang 18 Juli Kabinet Belanda mengambil keputusan: tentara Belanda harus mengadakan aksi!

Perebutan Jembatan Citarum

Setelah menangkap kaum Republik di Jakarta dan menduduki gedung-gedung yang penting dikuasai pemerintah Republik, rencana "operasi produksi" mulai dilaksanakan. Salah satu masalah bagi staf markas besar tentara Belanda di Jakarta ialah, bagaimana dapat merebut jembatan Citarum secara utuh. Diputuskanlah untuk melakukan hal yang tidak lazim, dengan menggunakan alat taktis yang terlalu berani: dengan gerbong kereta api!

Tujuh belas gerbong yang dilindungi karung pasir disiapkan dengan dua lokomotif, satu di depan dan satu di belakang. Di dalamnya berisi serdadu-serdadu infanteri, artileri, pasukan zeni, ahli-ahli penjinak ranjau dan sebagainya. Pagi hari tanggal 21 Juli meluncurlah "senjata rahasia" itu menerobos garis demarkasi antara Bekasi dan Tambun. Pada saat yang sama induk pasukan tentara Belanda menyerbu ke Timur melalui jalan raya yang sejajar dengan jalan kereta api. Ternyata dalam penyerbuan itu tentara Belanda telah mendapat bantuan dari laskar Haji Panji, yang sebelum aksi militer dilancarkan telah menyerang ke pihak Belanda.

Pertempuran hebat di Bekasi dan Tambun menyadarkan pimpinan tentara Belanda, bahwa untuk selanjutnya akan mendapat perlawanan yang sama dari pihak Republik di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Kereta api itu sempat pula dihujani peluru mortir dan sesaat sebelum memasuki stasiun Cikarang meledaklah stasiun itu. Tetapi ternyata, rel yang rusak justru rel yang tidak dipergunakan. (Antara Jakarta dan Cikampek sejak dulu dipergunakan rel ganda.)

Pesawat Mustang Belanda menghujani daerah sekitar jembatan Citarum dengan mitralyur, agar tentara Republik tidak dapat mendekati bom-bom ranjau yang telah terpasang. Lebih dari 38 bom ranjau kemudian dapat dijinakkan dan kereta api Belanda itu dapat meluncur di atas jembatan Citarum. Pasukan Republik melakukan usaha terakhir. Mereka mengirimkan satu lokomotif dengan kecepatan penuh menuju Tanjungpura (sebelah Timur jembatan Citarum) dan terjadilah tabrakan dahsyat, namun tak menimbulkan korban manusia. Soalnya, tentara Belanda telah meninggalkan rangkaian gerbong, hanya sebuah gerbong depan dengan meriam rusak hebat.

Pada hari yang sama tentara Belanda yang melalui jalan raya menerobos ke kota Karawang, tetapi dihadang dan mendapat perlawanan keras dari TNI yang mempertahankan pabrik es dengan gigih. Tentara Belanda yang sudah kecapaian mengurungkan maksudnya dan mundur kembali ke Tanjungpura. Kota Karawang dikosongkan TNI setelah melakukan "bumi hangus" dengan membakar gedung-gedung yang penting.

Siapa Haji Panji?

Di atas telah disebutkan seorang Haji Panji yang menjadi kepala laskar di Bekasi. Entah karena apa terjadi sengketa dengan TNI yang dikirim dari Yogya, sehingga ia menyeberang ke pihak tentara Belanda, tepat pada saat aksi militer pertama akan dijalankan.

Dia dan pasukannyalah yang menjadi pelopor di depan tentara Belanda ketika menerobos garis demarkasi. Atas bantuannya pula tentara Belanda dapat cepat mengetahui jalan-jalan yang penuh ranjau dan tempat-tempat kedudukan tentara Republik.

Laskar Haji Panji dikenang oleh pasukan Belanda sebagai bagian yang aneh dari tentara Belanda ....

Apakah dari pihak Republik masih ada yang mengetahui tentang Haji Panji itu?

Pertempuran di tempat bersejarah

Brigade-W tentara Belanda yang keluar dari kota Bandung ke arah Utara maju tidak sesuai dengan rencana. Ia harus menghadapi halangan di lembah Ciater, sebelah Utara Lembang. Di lembah itu pula pasukan KNIL dahulu tidak berhasil menghadang tentara Jepang. Bekas-bekas benteng KNIL masih ada dan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh TNI di bawah Letkol Brotoatmodjo. TNI telah menyiapkan kesiagaan untuk tidak akan mundur hanya karena beberapa peluru saja. Batalion-batalion terbaik dari Brigade-3 Siliwangi menduduki pos di sekitar daerah itu, yang keadaannya juga diketahui oleh markas besar tentara Belanda.

Brigade-W diperkuat dengan bagian artileri istimewa. Meriam-meriam bagian ini harus menyiapkan lapangan yang menguntungkan bagi penyerbuan, yang direncanakan pada jam enam pagi hari, tanggal 21 Juli 1947. Setengah jam sebelumnya, artileri tentara Belanda menghujani daerah sekitar lembah itu dengan peluru-peluru meriam, meter demi meter menyusuri lembah, sehingga keadaan tanah bagaikan sawah yang baru dibajak. Benteng-benteng di situ justru tidak dapat dirusakkan. Tidak nampak adanya patah semangat pada pasukan TNI; ini terbukti ujung tombak tentara Belanda masih harus maju dengan berlindung. Pos-pos mitralyur TNI masih sanggup memuntahkan peluru dan satu demi satu harus direbut. Menjelang senja sebagian pos-pos mitraliur dapat dipatahkan, tetapi seluruh benteng Ciater masih juga belum dapat ditaklukkan.

Pertempuran berlanjut terus di malam hari menjelang tengah malam ujung tombak tentara Belanda berhasil merebut pos mitraliur terakhir. Jalan ke utara nampaknya terbuka. Tetapi ternyata tentara Belanda masih menghadapi kesulitan lain, seluruh jembatan dan tempat penyeberangan lain berhasil dihancurkan oleh TNI pada saat-saat terakhir.

Jalan Melingkar Kolonel Meijer (6)

Melalui Tanjungsari dan Sumedang pasukan Kolonel Meijer dengan susah payah baru mencapai Cirebon pada tanggal 26 Juli. Ia juga mengalami perlawanan yang cukup gigih di Sumedang. Pasukannya pada tanggal 29 Juli 1947 telah dikumpulkan di Slawi (lihat peta) untuk meneruskan penyerbuan menuju pelabuhan Cilacap, di pantai Selatan Jawa Tengah. Tetapi antara Slawi dan Cilacap terdapat rangkaian pegunungan sepanjang 100 km. Lain dari itu di ketinggian Bumiayu terdapat konsentrasi pasukan TNI yang sejak aksi militer pertama meletus ditempatkan di situ.

Masalah yang besar bagi Meijer bukanlah TNI, tetapi bagaimana pasukannya dapat mengatasi medan yang berat. Jam dua siang, setelah dekat Prupuk pasukannya harus memasang jembatan Bailey sepanjang 87 meter. Setelah hal itu selesai, persediaan bagian-bagian jembatan tinggal hanya satu set saja untuk satu jembatan lagi, sedangkan pada saat itu baru sepertiga jalan ke Cilacap yang ditempuh ....

Pasukan penyelidiknya melaporkan bahwa sebelum Kota Bumiayu masih terdapat jembatan-jembatan yang dirusak dan memperhitungkan, pasukan Meijer akan mendapat perlawanan yang gigih. Ia membaca peta-peta dan walaupun ia bisa berjalan kaki menuju Cilacap, tetapi tentu saja ia pun harus memperhitungkan kecapaian yang akan diderita pasukannya. Pasukan diperintahkan berbalik dan mencoba untuk masuk daerah Purwokerto dengan melingkari lereng bagian Timur Gunung Slamet yang tingginya lebih 2.000 meter di atas permukaan laut. Melalui Prupuk, Margasari, Balapulang sampai simpang tiga desa Yomani berbelok ke kanan menuju Kalibakung, Tuwel dan desa-desa yang tidak dikenal oleh satu anggota pun dari pasukannya.

Jalan-jalan kabupaten yang melingkari lereng sebelah Timur Gunung Slamet, meskipun lebih sempit daripada jalan Bumiayu, ternyata masih dapat dilalui oleh iring-iringan tentara Belanda. Tank dan truk harus sangat berhati-hati apabila menyeberangi jembatan kayu, atau praktis menyeberangi suatu lembah sungai yang setengah kering dengan susah payah. Suatu jembatan selebar 50 meter harus dilalui oleh kendaraan dan tank satu per satu dengan goncangan yang membahayakan. Satu hal yang menguntungkan pasukan Meijer ialah, daerah yang dilewatinya itu ternyata tidak masuk rencana TNI atau tidak dalam dugaan bahwa tentara Belanda akan melewati jalan itu menuju Cilacap. Kolonel Meijer pun mengambil keputusan untuk menempuh jalan melingkar tersebut tanpa pengetahuan dan persetujuan markas divisinya. Munculnya naluri kemiliteran yang tepat pada saat keragu-raguan dapat menerobos garis pertahanan Jenderal Gatot Subroto di atas Bumiayu.

Perjalanan yang berat itu akhirnya ada buahnya juga. Pada tanggal 30 Juli 1947 pasukan Meijer telah mencapai Bobotsari dan langsung melaju ke lembah sungai Serayu dan menggelinding terus menuju Purbalingga, Sukareja, dan Purwokerto.

Jenderal Gatot Subroto terlambat mengetahui jalan lingkar Meijer itu. Walaupun pasukan TNI di Cilacap segera diperintahkan menghadang pasukan itu, TNI terlambat sampai di lereng Timur Gunung Slamet. Ketika pasukan Pak Gatot meninggalkan Cilacap, pasukan Meijer telah masuk kota Bobotsari!

Pada saatnya Jenderal Gatot Subroto sempat memerintahkan melalui radio dan kurir bahwa sejak itu satuan-satuan TNI harus menjadi satuan-satuan gerilya.

Cilacap akhirnya dapat direbut setelah perlawanan yang cukup gigih. Kota yang menurut rencana semula akan didarati marinir Belanda terpaksa direbut melalui darat. Jembatan anak-sungai Serayu sempat dihancurkan TNI dan ketika tentara Belanda masuk kota tanggal 2 Agustus, segenap instalasi pelabuhan, gudang-gudang tempat pertokoan telah dibumihanguskan pasukan Letkol Abimanyu.

Pada saat itu telah tercapai persetujuan diplomatik, atas tekanan PBB, agar pada tanggal 24 Agustus jam 24.00 perintah penghentian tembak-menembak harus telah diberikan kedua belah pihak ....

Jalan Kematian

"Garis Van Mook" yang ditentukan Van Mook sendiri tidak dapat menghentikan kegiatan pasukan-pasukan TNI dan pasukan perjuangan di "daerah-daerah kantong". Aksi-aksi pembersihan tentara Belanda tidak sepenuhnya berhasil. Pos-pos Belanda terlalu tipis tersebar di tengah wilayah pegunungan dan desa-desa yang luas. Hanya dengan patroli terus-menerus kadang-kadang suatu wilayah dapat diamankan, tetapi tidak lama kemudian, berita-berita dari komandan-komandan batalion selalu menyebutkan bahwa anak buahnya makin lama makin lemah fisik dan mentalnya.

Kelesuan mental pasukan Belanda itu adalah akibat berhasilnya TNI yang gigih, tetap aktif dan sulit ditangkap .... Pada bulan-bulan terakhir pasukan-pasukan gerilya telah terorganisasi dalam komando dan sub-komando setempat, yang sesuai dengan buku pelajaran ilmu perang Jerman disebut "Wehrkreise" dan "sub-Wehrkreise". Jalan-jalan penghubung tentara Belanda selalu menjadi incaran pasukan gerilya, konvoi-konvoi Belanda dihadang berkali-kali, sehingga beberapa jalan penghubung dijuluki "dodenweg"--jalan kematian bagi tentara Belanda. Jalan antara Cirebon dan Ciamis (lihat peta) berbulan-bulan dikuasai pasukan Republik.

Bagian Utara jalan itu, antara Kuningan dan Cikijing, adalah daerah aksi sebuah kompi ALRI yang tiap hari menghadang tentara Belanda, paling sedikit dengan pemasangan ranjau-ranjau. Pada tanggal 28 Desember 1947 pasukan marinir itu dengan kuat menyerang konvoi pasukan zeni Belanda, yang menimbulkan korban empat orang mati dan sepuluh luka-luka di pihak Belanda. Tiga minggu sebelumnya, di bagian jalan itu jatuh korban komandan batalion yang ditempatkan di Tasikmalaya, Letkol Boers tertembak mati. Pernah terjadi konvoi zeni dan artileri Belanda, yang pada tanggal 18 November 1947, berangkat dari Tasikmalaya begitu diganggu, sehingga memerlukan waktu dua hari untuk mencapai Kuningan, yang hanya berjarak 70 km.

Jalan kematian itu memang dikuasai, kecuali oleh pasukan ALRI, juga oleh pasukan-pasukan Hizbullah dan TNI. Di dalam publikasi Belanda "De Politioneele Acties--De Strijd om 'Indië' 1945-1949 (Aksi-aksi Kepolisian--Perjuangan di 'Hindia'), terbitan 1979, banyak kisah sekitar jalan kematian di berbagai tempat lain di Jawa dan Sumatra, baik pada masa aksi militer I dan maupun aksi militer ke-II, yang diuraikan dengan cukup obyektif. Seperti disebut di awal uraian ini, distansi waktu dan penggunaan sumber otentik berupa laporan dan catatan harian menghasilkan sebuah karya yang "mendekati kebenaran" dan tidak berat sebelah ....

Perjuangan bersenjata dan diplomasi memang merupakan dua sisi yang tajam dari ujung tombak perlawanan mempertahankan kemerdekaan; bukan saja hasil dari golongan militer dan politik, tetapi dukungan rakyat setempat pun sangat menentukan keberhasilan perjuangan.***

(Abdurrachman Surjomihardjo)



Sumber: Tidak diketahui, 15 Agustus 1985



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...