TAK lama setelah menyatakan kemerdekaan, bangsa Indonesia "diguncang" oleh sebuah pernyataan. Sekitar tahun 1950-an, musikolog Amir Pasaribu (almarhum) meragukan keabsahan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Tuduhan utama, lagu kebangsaan itu merupakan hasil plagiat dari gaya off beat Pinda-Pinda atau Lekka-Lekka. Lagu-lagu itu sendiri dimainkan orang di Belanda.
Tapi, benarkah lagu ciptaan W. R. Soepratman itu merupakan plagiat?
"Semula saya terangsang juga untuk mencari kebenarannya, tetapi tidak ketemu-ketemu. Dan saya sendiri belum pernah mendengar bagaimana Off Beat Pinda-Pinda atau Lekka-Lekka itu. Sulit untuk mengatakan betul tidaknya sebagai hasil plagiat," ujar Remy Silado, pengamat musik.
Kalau pun merupakan plagiat, Remy pun mengharap untuk tidak merisaukannya. Sebab lagu yang seringkali sudah dianggap sebagai national anthem oleh suatu bangsa, seringkali merupakan hasil karya orang lain. Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang) misalnya, sudah dianggap orisinil karena mewakili seluruh kebangsaan Jepang. Kenyataannya Kimigayo merupakan ciptaan orang Inggris. Ketika itu, Kimigayo ditemukan oleh Oyama Iwao tahun 1870 dalam orkes militer Inggris pimpinan J. W. Fenton di Yokohama.
Contoh lain, lagu Dari Sabang Sampai Merauke atau Dari Barat Sampai ke Timur mendekati lagu kebangsaan Prancis La Marseilles, atau lagu Gugur Bunga yang mirip lagu klasik Solvejgs aus "Peer Gynt" karya E. Grieg/H. Schultze.
"Bagi saya, entah itu plagiat, entah itu tiruan, entah itu jiplakan, yang penting lagu-lagu itu muncul dan mampu membakar semangat, mendorong dan memberi tekad untuk berjuang. Sekalipun ada yang menganggap Indonesia Raya mempunyai cacat negatif, namun kita harus mengakui bahwa Indonesia Raya tampil dalam masa pergerakan nasional," tambah Remy.
***
DALAM perjalanannya, ternyata Indonesia Raya mengalami dua kali pembenahan. Pembenahan itu antara lain menyangkut lirik atau kata-kata. Sepintas hal itu bisa dianggap soal kecil. Tapi pada kenyataannya, sering menyangkut masalah cukup mendasar. Karena ada penambahan nada, perubahan irama dan bahkan penggantian syair, maka Indonesia Raya pun bertumbuh menjadi bentuk baku, sebagaimana yang dikenal sekarang.
"Perubahan-perubahan itu tidak perlu membikin kita kecil hati. Istilahnya mungkin lebih tepat, disempurnakan!" kata Kusbini (73). Komponis lanjut usia yang tetap tegar ini menunjukkan, lagu abadi macam Malam Kudus atau lagu kebangsaan Wilhelminus, atau God Save the Queen juga pernah mengalami proses yang sama. "Maka kita tidak sendirian. Proses pendewasaan tadi biasa dilakukan orang," ucapnya.
Dalam kaitan dengan lagu Indonesia Raya, Kusbini memang bisa berbicara banyak. Tahun 1944 Kusbini bersama Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Soedibyo, Darmawidjaja, K. H. M. Mansjur, Mr Mohamad Yamin, Mr Sastromoeljono, Sanoesi Pane, Simandjuntak, Mr Achmad Soebardjo, dan Mr Oetoyo menjadi anggota Panitia Lagu Kebangsaan yang dipimpin langsung oleh Bung Karno. Ini merupakan upaya pertama menentukan tata cara menyanyikan Indonesia Raya, justru sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya.
Tahun 1948, lewat Surat Penetapan Presiden No. 28, Kusbini kembali ditunjuk menjadi anggota Panitia Indonesia Raya, diketuai Ki Hadjar Dewantara. Kemudian 1966, dengan Surat Perintah Presiden No. 2, Bung Karno menugaskan Kusbini lagi untuk mengumpulkan segala bahan dokumentasi mengenai lagu kebangsaan Indonesia Raya. Disusul Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 034/1966 membentuk panitia peneliti untuk mengkaji ulang segala hasil yang telah dikumpulkannya. Panitia lima ini (Ketua Moh. Ali, dibantu Soemarjo L. E., Soekmono, Winarti Partaningrat, dan Kusbini), berhasil menyusun laporan berbentuk buku dan berbagai bahan dokumentasi lainnya. "Tentu saja harapan kita semua, sejak saat itu lagu Indonesia Raya sudah menjadi baku," ucap Kusbini pencipta lagu Padamu Negeri.
***
SEBAGAI sebuah lagu, Indonesia Raya memiliki kisah memikat. Mula pertama diperdengarkan secara instrumentalis di hadapan umum oleh W. R. Soepratman, mengingat situasi dan kondisi saat itu belum menguntungkan. Namun justru karena keadaan waktu itu, kurang dari tempo setahun Indonesia Raya sudah begitu populer. Sampai-sampai Gubernur Jenderal De Graeff (tahun 1929) terpaksa mengeluarkan surat edaran, Indonesia Raya tak bisa dianggap sebagai lagu kebangsaan. Mengapa?
"Bangsa (Indonesia) toh tak ada. Maka, lagu itu harus dinilai sebagai sekadar lagu klub atau perkumpulan," begitu Gubjen De Graeff. Dan pegawai negeri Hindia Belanda pun tidak perlu harus berdiri menghormat, jika Indonesia Raya diperdengarkan.
Menjelang tentara Jepang masuk Indonesia, Radio Tokyo tiap hari malah terus menerus mengumandangkan Indonesia Raya. Maksudnya tentu untuk menarik simpati rakyat Indonesia agar menerima kedatangan tentara Jepang. Namun begitu Jepang mendarat dan menaklukkan Belanda, Indonesia Raya pun dilarang untuk dinyanyikan lagi.
Soepratman sendiri tak pernah memakai kata merdeka pada refren Indonesia Raya. Ia memilih kata Indonesia mulia. Namun agaknya generasi muda masa itu menilai penggunaan kata mulia kata membakar semangat perjuangan. Karena itu mereka mengubah syairnya menjadi kata merdeka!
***
MENGAPA segala perubahan itu harus dilakukan? "Soepratman semula seorang wartawan yang semangat nasionalismenya berkobar-kobar berkat pergaulannya dengan tokoh-tokoh pergerakan masa itu. Tapi sebagai seorang komponis, teori musiknya memang hanya sederhana," kata Kusbini.
Bung Karno sendiri melihat potensi besar Indonesia Raya sebagai (calon) lagu kebangsaan, dengan segala kekurangannya yang masih ada. Dan Bung Karno begitu besar perhatiannya, sehingga turun tangan melakukan pembenahan, tercermin beberapa kali dia membentuk panitia khusus guna menyempurnakan lagu itu.
Salah satu penyempurnaan awal terjadi pertengahan tahun 1944 setelah 16 tahun Indonesia Raya memasyarakat. Kata semua diganti dengan kata sem'wanya dan untuk menyesuaikannya, pada bagian itu noot ditambah bunyi do. Perubahan syair ikut menghantar perubahan melodi dan irama lagu. Maka, walau struktur lagu dan jiwa Indonesia Raya tetap semurni ciptaan Soepratman dulu, namun akhirnya lagu kebangsaan tadi tak lagi terlalu liris, seperti ketika masih menjadi alat dalam masa pergerakan nasional.
"Dari segi tata bahasa, nilai sastra dan dari segi musik, perubahan yang kita lakukan bisa dipertanggungjawabkan secara obyektif. Sebab saya masih ingat, justru yang usul mengubah kata semua menjadi semwanya adalah almarhum Cornel Simanjuntak. Kami semua lantas adu argumentasi, ternyata usul Cornel mencapai kesepakatan!"
Kusbini menambahkan, semula pengubahan syair dan lagu itu akan digunakan istilah perubahan. "Tiba-tiba saja Yamin menolak. Jangan, jangan pakai istilah perubahan, bisa menyinggung perasaan Soepratman. Lebih baik kita gunakan saja istilah, disempurnakan."
***
LAGU Indonesia Raya pun masih berkumandang hingga kini. Namun masalah sikap hormat waktu menyanyikannya, Remy Silado kembali "tersengat". Diakui, kini perlu ditertibkan lagi bagaimana sikap seseorang ketika menyanyikan lagu itu. Bagaimanapun juga lagu kebangsaan ini harus dianggap "suci". Lagu itu sendiri kenyataannya lahir ketika bangsa Indonesia dijajah. Dalam lagu tu sudah terkandung impian keadaan yang serba bebas, merdeka. Berbagai upaya dan tenaga pun telah ditumpahkan untuk mewujudkan cita-cita itu.
"Apakah kita sekarang tidak bisa berdiri, hening sejenak hanya dalam beberapa menit ketika menyanyikan Indonesia Raya? Ini saya rasa perlu untuk tata tertib kita semua. Kalau untuk satu lagu kebangsaan saja kita tidak bisa tertib, apalagi untuk tertib di jalan raya," ucap Remy.
Kenapa sekarang ada kesan tidak lagi muncul lagu-lagu perjuangan yang besar? Remy berpendapat, hal itu rasanya tak benar. Sebab masalah yang dihadapi pencipta sekarang berbeda dengan masalah yang dihadapi pencipta lagu masa lalu. "Rasanya kurang pas membandingkannya," tambah Remy.
Lagu-lagu dangdut misalnya, sebagai musik pop Indonesia tahun 1970-an berisi tentang ratapan-ratapan. Meratapi nasib orang menjadi urban. Menjelang 1980-an, lirik lagu dangdut berubah mendekati masalah seks. "Pendek kata cenderung pornografi!" Tetapi memasuki 1980-an, lirik lagu atau mode sudah berisi pembangunan. Ada listrik masuk desa, ada ABRI masuk desa.
"Hal-hal itu bisa dilihat, dengan catatan waktu diiklankan oleh TVRI lewat acara Aneka Ria Safari. Namun seringkali terasa kocak, lagu-lagu tentang pembangunan itu disertai goyang pantat dan buka-buka rok. Apa relevansinya?" ucap Remy.
***
NAMUN demikian, Remy melihat adanya tindak "kesalahan besar" yang dialami bangsa ini. Kesalahan itu terletak pada kurang adanya penghargaan pada sang pencipta. Disebutkan contoh Chairil Anwar yang sebagai seniman sudah banyak berjasa. Namun penghargaan yang diberikan apakah cukup dengan pemberian nama taman sejengkal di seberang Monas?
"Sebagai bangsa yang besar, rasanya tidak hanya bantuan fisik yang diperlukan, tetapi perlu menghargai apa yang terdapat di belakang pemikiran-pemikiran para seniman ini. Disebut-sebut bangsa besar zaman Syailendra. Fenomenanya apa? Yang terlihat juga dari keseniannya. Kita mau apa?" tambah Remy.
Remy sendiri mengaku, masalah-masalah seperti ini perlu ditata kembali untuk masa sekarang. "Saya bukannya menggerutu. Tetapi kita rasanya juga menyadari Indonesia merdeka berkat peranan kaum intelektual waktu itu. Dan kelompok intelektual itu tidak hanya mereka yang menekuni ilmu, tetapi termasuk di dalamnya komponis, seniman, dan sebagainya. Apa kita bisa merdeka tanpa peranan kaum intelektual ketika itu?" tanyanya. (ton/jup)
Sumber: Kompas, 18 Agustus 1985
Komentar
Posting Komentar