Oleh Deliar Noer
PADA waktu akhir-akhir ini pembicaraan dan komentar berbagai pihak tentang nasionalisme agak ramai lagi. Ada yang berpendapat bahwa nasionalisme masih kuat, ada yang tidak; malah ada yang menilai telah terjadi erosi nasionalisme. Betapapun masalah nasionalisme memang terus jadi pembahasan. Kalau memang nasionalisme masih kuat, masih diperlukan juga ulasan dan pemikiran untuk memeliharanya. Apalagi kalau memang nasionalisme menipis. Tetapi cermin erosi nasionalisme, menurut setengah orang, terletak antara lain pada kaos oblong yang bertuliskan nama dan kata-kata asing, bukan nama dan kata-kata lingkungan nasional (artinya lingkungan sendiri). Orang juga menghubungkan soal nasionalisme ini pada nama teater tempat gambar hidup ditayangkan (seperti yang berlaku di zaman Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan Metropole berganti menjadi Megaria); tetapi yang kini bermunculan kembali dalam dada teater baru: New Garden Hall, President, Century, New Rawamangun, New City, dan sebagainya.
Ketika terjadi keributan dan perkelahian anak-anak muda di Yogya dua tahun yang lalu yang merembet mejadi perkelahian rasial. Laksamana Sudomo, ketika itu Pangkopkamtib, segera mengatakan bahwa keributan itu disebabkan oleh kurangnya kesadaran nasional. Belakangan nasionalisme juga dikaitkan dengan korupsi dan pungli, impor dan hidup serba mewah--perbuatan dan tingkah laku yang dilihat berlawanan atau sekurang-kurangnya tidak menggambarkan nasionalisme.
Dalam tulisan ini kita akan mengulas sedikit tentang persamaan dan perbedaan arti nasionalisme itu di masa penjajahan dan kemerdekaan diteruskan dengan kecenderungannya pada masa kini, dan implikasinya bagi negeri dan bangsa kita. Kita juga akan mencoba menghubungkannya dengan nilai-nilai lain, yang cukup relevan.
Nasionalisme zaman penjajahan
Ada beberapa segi hidup bermasyarakat yang berkaitan erat dengan nasionalisme. Pertama, ia dibedakan dari suku dan daerah. Kedua ini umumnya lebih kecil dari apa yang disebut bangsa dan wilayah tempat bangsa tersebut berdiam. Batasnya kesatuan administrasi jajahan Belanda. Kedua, ia kurang mencerminkan persamaan bentuk badan (fisik) dan warna kulit orang-orang yang membentuk bangsa tersebut (dalam hal ini bangsa Indonesia). Orang Keling, Cina, malah Eropa (sekurang-kurangnya turunannya) bisa termasuk di dalamnya; dan orang Papua (dan kini Timor Timur) yang secara rasial tidak sama dengan orang Melayu memang dianggap termasuk di dalamnya. Ketika, ia tidak sama dengan kelompok bahasa dan agama. Di negeri kita dijumpai sekitar 200 macam bahasa, dan beberapa agama. Keempat, ia membedakan diri dari pihak pemerintah yang berada di tangan bangsa Belanda.
Dalam rangka ini keseluruhan ciri yang membentuk kelompok masyarakat kita tadi (bentuk badan dan warna kulit, bahasa dan agama) yang kita sebut bukan merupakan ciri pokok, turut memperkuat perasaan yang melihat kita lain dari orang Belanda. Ciri-ciri tersebut memupuk kuat kemauan dan kehendak kita untuk hidup bersama di wilayah yang kita sebut Indonesia ini, dengan kemauan dan keinginan lain untuk menolak orang-orang Belanda, atau orang asing mana pun, sebagai penguasa di bumi kita ini.
Nasionalisme dalam zaman pergerakan mengandung unsur penolakan yang asing (baca Barat), terutama dalam bidang politik. Ada pun dalam bidang lain, berbagai ragam pula pencerminannya. Umpamanya dalam bidang pendidikan, cermin penolakan itu terlihat pada Taman Siswa, pesantren dan madrasah, serta sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh pejuang kemerdekaan kita. Tetapi perlu dicatat bahwa banyak tokoh perjuangan kemerdekaan kita yang lulusan sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia/Belanda. Dalam bidang ekonomi, persoalannya lebih pelik lagi. Perekonomian dikuasai oleh kapitalis asing yang pada gilirannya mendapat perlindungan dari Pemerintah Belanda.
Dalam rangka ini usaha bangsa ini untuk tegak sendiri, apalagi dengan melepaskan diri dari kaitan perekonomian "nasional" Hindia, tidak mungkin berhasil. Ada usaha untuk bersikap dan bertindak mandiri (seperti pada kalangan pengusaha batik) tetapi tetap ia bergerak dalam rangka perekonomian Hindia yang dikuasai orang. Malah dalam soal batik pun, saingan datang dari pihak asing (baca: Cina). Usaha mempergunakan hasil kerja bangsa sendiri (swadeshi) yang dilancarkan pergerakan kebangsaan kita sekitar tahun 1930, menumbuhkan semangat kebangsaan secara lebih dalam tetapi mengurangi kekuatan kapitalis asing itu. Gerakan swadeshi juga terpukul oleh merosotnya kekuatan ekonomi bangsa.
Nasionalisme zaman kemerdekaan
Dari segi-segi nasionalisme dalam zaman penjajahan dahulu itu, yang masih sangat relevan tampaknya di masa merdeka adalah soal pendidikan dan perekonomian. Soal suku, daerah, ras, bahasa, agama boleh dikatakan selesai, walaupun kadang-kadang masih timbul gejolak-gejolak pertengkaran dan perkelahian, malah perang saudara. Tetapi perang atau pemberontakan yang muncul, juga pada umumnya tidak bermaksud membentuk kebangsaan lain. Hanya RMS, Gerakan Papua Merdeka, dan Fretilin yang ingin lepas dari kebangsaan Indonesia itu. Dalam rangka pembentukan bangsa--kecuali dalam hal RMS, Gerakan Papua Merdeka, Fretilin--masalahnya sudah tinggal sejarah.
Dalam hal pendidikan, masalahnya masih berlanjut sungguhpun dengan tekanan yang berbeda. Di zaman penjajahan, perbedaan pandangan tentang pendidikan terletak pada semangat yang perlu ditumbuhkan oleh sistem yang dianut: semangat yang sejalan dengan tujuan jajahan, atau yang menolaknya. Masalah isi kurikulum tentu berkaitan juga. Tetapi isi kurikulum serta teknik penyelenggaraan yang dianggap turut membantu, sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan--semangat tersebut, dapat dipakai dengan penyesuaian.
Dalam tahun-tahun pertama kita merdeka, masalah dari zaman jajahan diusahakan terus menyelesaikannya, terutama yang berhubungan dengan pendidikan dan perekonomian. Oleh karena keduanya menyangkut soal isi (dari kemerdekaan, dan isi dari pendidikan dan perekonomian itu sendiri), masalahnya tidak mudah selesai. Ia tidak selesai dengan perginya pihak Belanda. Ia tercermin dalam rangkaian kebijaksanaan pemerintahan yang berganti, yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sering juga pergantian kebijaksanaan disebabkan oleh pergantian menteri. Ini berlaku baik di masa "liberal" tahun 1950-an, atau masa Demokrasi Terpimpin, dan juga masa Orba. Belum lagi dikaji soal pertahanan kita: yang juga mengalami masa-masa pergantian kebijaksanaan--semuanya dapat dihubungkan dengan nasionalisme.
Nasionalisme sebagai nilai rohaniah
Tetapi kalau beralih kepada soal isi, atau tekanan diletakkan pada soal isi, maka berbagai nilai rohaniah lain perlu pula diajak berbicara. Nasionalisme itu sendiri merupakan nilai rohaniah. Seperti dikatakan di atas ia berciri sentral pada kemauan, kehendak, untuk hidup sebagai satu bangsa dengan tambahan kemauan untuk melanjutkan hidup ini seterusnya sebagai satu bangsa. Nilai-nilai lain, materil dan spiritual, bisa turut membantu. Simbol-simbol demikian juga. Warna merah-putih-biru pada baju kita, kita hindarkan memakainya pada tahun-tahun 1945-50. Dan memang ada yang mempergunakannya (dengan sadar atau tidak) dan menyesal kemudian, setelah ia diuber oleh massa yang membenci warna demikian. Roti dan keju kita tinggalkan ketika itu, sebagai pernyataan keengganan untuk beridentifikasi dengan musuh.
Dalam tahun-tahun permulaan 1950-an, misi militer Belanda yang diharapkan turut membina tentara kita, akhirnya kita suruh pergi. Perekonomian kita diusahakan agar beralih dari tangan bekas penjajah dan anasir-anasirnya kepada tangan nasional.
Bahwa ada orang-orang yang menangguk di air keruh, untuk kedudukan dan harta, tidak menafikan nilai kebanggaan yang berhubungan dengan nasionalisme tadi. Juga golongan atau partai bisa menangguk air keruh ini. Dengan pretensi mengubah susunan ekonomi jajahan ke susunan ekonomi nasional, pemerintah Ali Sastroamidjojo I umpamanya (1953-55) mengesampingkan segala tata cara kebersihan administrasi serta hukum, dan memberi prioritas tanpa dasar sehat kepada partai tertentu (terutama PNI) untuk mendapatkan berbagai fasilitas perdagangan serta kedudukan dalam birokrasi pemerintahan. Bagi kalangan ini nilai kekuasaan (oleh karena akan menghadapi pemilihan umum) lebih diutamakan dari pada nilai keadilan (dengan golongan politik lain umpamanya) atau hukum itu sendiri.
Dalam zaman Demokrasi Terpimpin nilai kekuasaan sempat mengesampingkan keadilan, dengan menahan lawan-lawan politik penguasaan tanpa proses hukum, malah menyiksa beberapa di antaranya untuk menuntut pengakuan tentang hal yang tidak dikerjakan tertuduh. Gazali Sjahlan, bekas anggota Badan Pemerintahan Harian Jakarta, dan Almarhum Kasman Singodimedjo, bekas Jaksa Agung dan bekas Menteri Muda Kehakiman, termasuk orang-orang yang disiksa ini, yang pertama siksaan fisik, yang akhir siksaan rohani; di samping siksaan batin yang disebabkan oleh penahanan itu sendiri. Dalam zaman Orba, nilai keamanan tampaknya lebih dihargai dari pada nilai kebebasan pendapat, dengan maksud supaya pembangunan yang dilakukan jangan terhalang. Padahal pembangunan juga tidak bisa terlepas dari soal pendapat. Maka pendapat yang umpamanya mempertanyakan masuknya modal asing secara sangat terbuka sehingga menghambat kemampuan kalangan sendiri perlu sekali didengar.
Nasionalisme mengandung rasa bangga dan rasa solider sesama anggota bangsa. Dapatkah orang-orang yang dirugikan oleh karena tindakan yang berlawanan dengan keadilan, ketertiban hukum, kebebasan--dan ini bisa diteruskan dengan segala macam nilai dambaan manusia--merasa bangga dan solider dengan pihak penguasa yang seharusnya dalam rangka nasionalisme itu melihat dirinya lebih banyak sebagai pengatur lalu lintas segala macam aspirasi dan rasa hidup, dan bukan sebagai pembungkam aspirasi dan rasa hidup itu? Ucapan right or wrong my country (benar tidaknya langkah negeriku, negeriku itu tetap kucintai) tetap merupakan semboyan yang agung, namun ia akan merupakan ucapan tanpa arti bila "langkah negeriku" itu bergelimang dengan ketidak-adilan--dan untuk menghubungkannya dengan masa kini--korupsi dan pungli. Ia juga akan kurang mantap bila segala macam kejahatan merajalela, pengangguran membengkak, dan kecemasan dalam hidup senantiasa menyebabkan rasa was-was menghadapi masa depan. Ia menipis bila kebanggaan berbangsa lenyap, karena konsumerisme produk asing telah terbina.
Oleh sebab itu juga swadeshi tidak akan mungkin diterapkan pada masa kini, karena suasana tidak menumbuhkan harapan keberhasilannya. Suasana yang terbina ialah suasana penggunaan segala macam produk luar, baik ia berasal dari impor ataupun bahan bakunya diimpor. Apalagi karena kecenderungan dijumpai untuk kemewahan, ataupun "kehebatan" yang ditopang dengan selera luar. Dalam bidang administrasi, kelesuan pejabat oleh berbagai sebab, apalagi oleh kebijaksaan pemerintah sendiri, akan memberi dampak negatif. Dalam politik, dampak negatif ini akan lebih nyata, bila hukum kurang tegak, perbedaan pendapat dihalangi, dan suasana ketakutan tumbuh: baik ketakutan terhadap kecaman, dan oleh sebab itu berbagai dalih digunakan agar ia tidak tumbuh, maupun ketakutan mengecam, karena konsekuensinya harus dipikul sendiri.
Nasionalisme tidak berdiri sendiri
Uraian di atas tiba pada kesimpulan, bahwa nasionalisme masa kini tidak lagi berdiri sendiri karena memang dalam alam merdeka, arti dan fungsinya telah beralih ke segi-segi hidup lain. Dalam masa jajahan, ia dihadapkan kepada penguasaan orang asing secara langsung; dalam zaman merdeka ia berkaitan lebih banyak dengan nilai-nilai yang didambakan manusia dalam hidupnya, atau dengan kata lain, dengan nilai-nilai yang merupakan isi dari kemerdekaan itu sendiri. Kebanggaan serta solidaritas sebangsa, yaitu unsur-unsur ataupun cermin dari nasionalisme, akan terpupuk subur dengan peningkatan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai tersebut. Simbol-simbol tentu turut menolong. Dengan cara ini, juga permainan pihak asing yang akan senantiasa berusaha mempengaruhi kita, akan kandas sendiri. Juga ketahanan nasional akan lebih terbina, karena pangkal ketahanan ini juga bersumber pada nilai rohaniah.
Tetapi masalah ini adalah masalah besar, masalah seumur hidup; malah masalah sepanjang masa. Dalam rangka inilah diperlukan kepemimpinan nasional itu: yang dapat menggairahkan hidup untuk menegakkan nilai-nilai dambaan ummat manusia, yang kita sebagai bangsa merupakan bagian daripadanya. ***
* Prof Dr Deliar Noer adalah pengamat politik dan pernah antara lain sebagai rektor IKIP Jakarta.
Sumber: Tidak diketahui, 23 Mei 1983
Komentar
Posting Komentar