Langsung ke konten utama

Satu Abad Kebangkitan

Oleh AGUS HERNAWAN

Jalan lahir negara-bangsa tidak seragam. Ada yang lahir melalui perjuangan kaum pekerja seperti di Rusia, melalui basis tani yang dipersenjatai seperti di China dan Vietnam, ataupun "borjuasi kecil" di perkotaan yang berasosiasi dengan perlawanan tani di pedesaan dan pegunungan seperti di Meksiko dan Kuba.

Di luar itu, pemberontakan the white settler atas motherland-nya seperti di Amerika Serikat menjadi model kelahiran banyak negara di benua Amerika dan Australia. Di Perancis, revolusi atas kemornakian kuno melahirkan dua kekuatan yang menghuni kawah gunung api yang sama. Ada sans culotte, kelompok yang menuntut distribusi kekayaan bagi semua, ada bourg atau burgeis yang menuntut hak kepemilikan pribadi.

Indonesia menempuh jalan sejarah tak sama. Sebelum abad ke-20, perlawanan bersenjata digerakkan elite feodal dengan sifat primordial. Diponegoro di Jawa, Imam Bonjol di Sumatera Barat, Hasanuddin di Makassar, Pattimura di Maluku, dan banyak lagi, rontok satu per satu. Semua gagal merentas upaya dekolonisasi. Dekolonisasi sebagai proses transformasi terbitnya kesadaran kebangsaan baru dimulai sejak pangkal abad ke-20 dan berlangsung sengit di sepanjang tiga dekade pertama abad itu.

Jalan solidaritas

Menarik ditelisik proses transformasi identitas primordial ke kesadaran kebangsaan. Ia tidak lahir di mulut bedil senapan. Imaji Indonesia yang kemudian jadi identitas setiap orang di tanah jajahan Hindia datang dari ruang-ruang persekolahan, perserikatan, dan persuratkabaran.

Melalui ruang-ruang persekolahan, unit-unit perserikatan, dan lembaran surat kabar, ikatan solidaritas dibangun. Jagat kesadaran perlahan meluas, melebar, merangkum pengandaian pada sesuatu "rumah bersama": solidaritas! Inilah jalan lahir Indonesia sebagai negara-bangsa.

Pada bulan Mei 1908, bertempat di Sekolah Dokter STOVIA, Dr Wahidin Soedirohoesodo--dokter pemerintah di Yogyakarta dan redaktur Majalah Retnadhoemilah--menginisiasi perserikatan Budi Utomo. Mahasiswa STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan berhimpun. Mereka membangun solidaritas antarsesama, didasari kesamaan sebagai priayi Jawa dalam sistem pendidikan gaya Barat.

Sejak tahun 1909, bermunculan perserikatan di kalangan elite terpelajar. Semua masih terikat pada identitas kesukuan. Sarekat Ambon, Jong Java, Pasundan, Sumatera Bond, Jong Minahasa, Timorsch Verbond, Kaum Betawi, dan lain-lain merepresentasikan identitas kesukuan. Adalah Tirto Adhi Soerjo, lulusan OSVIA, menginisiasi Sarekat Priayi dengan Medan Prijaji sebagai media organisasi. Meski menggunakan kata "priayi", surat kabar ini menegaskan dirinya sebagai "soeara bagi sekalian anak negri di seloeroeh Hindia Belanda". Di sini, horizon baru dibuka: kesadaran dan kesamaan sebagai orang Hindia.

Sebagaimana dikatakan Shiraishi, cakupan dan pengertian "bangsa" pun mulai dapat dibayangkan dengan batas-batas yang jelas. Solidaritas sebagai orang Hindia makin jelas di tahun 1912 melalui "Indies nationalism" (nasionalisme Hindia) yang dikampanyekan Indische Partij. Nasionalisme Hindia, dengan kemerdekaan Hindia menjadi tujuan final, mengawali zaman pergerakan kebangsaan dalam politik radikal. Gagasan nasionalisme Hindia Indische Partij menemukan bentuknya yang lebih matang melalui Soekarno dan PNI-nya.

Produksi kesadaran kebangsaan berbasis persekolahan dan perserikatan tidak bisa dilepaskan dari kehadiran persuratkabaran. Sejak 1918, ada sekitar 40 surat kabar terbit, sebagian besar dalam bahasa Indonesia. Etnik Tionghoa ikut berperan mendistribusikan kesadaran kebangsaan melalui persuratkabaran. 

Sejak paruh kedua abad ke-19, industri persuratkabaran di Hindia beralih dari awal dikuasai orang "Putih" ke kalangan keturunan Tionghoa. Inilah periode asimilasi yang sekaligus memainkan peran penting dalam mengampanyekan kesadaran "Aku Indonesia".

Sin Po, misalnya--surat kabar berbahasa Melayu yang terbit sejak 1910--adalah koran pertama yang mengganti sebutan "Hindia Belanda" dengan kata "Indonesia" pada setiap penerbiatannya. Sin Po jugalah koran pertama yang memuat teks lagu "Indonesia Raya" ciptaan WR Supratman.

Usia satu abad

Kronikal di atas menjelaskan betapa kesadaran kebangsaan itu adalah tenunan. Ia mengalami internalisasi dalam ikatan solidaritas yang kian meluas. Berbagai polar bertemu, bernegasi, dan bersepakat dalam ikrar Sumpah Pemuda. Sifatnya multipolar. Setiap kutub dan polar menyerupa sekeping papan bagi "jembatan emas" yang mengantarkan manusia Hindia Belanda pada Indonesia sebagai rumah bersama. Konsensus tentang Tanah Pengharapan tanpa hierarki dan diskriminasi.

Setiap bangsa pasti memiliki masa gelap dalam sejarah. Jatuh-bangun kekuasaan, terperosok otoritarian yang membangun piramida kurban manusia. Ada bagian dipenuhi kisah tentang orang-orang yang terkubur tanpa nama, hilang dan raib di sepanjang jalan kebangsaan yang penuh tikung dan tanjakan. Ada bagian ketika nasionalisme jadi sesuatu yang abstrak dan kosong. Di dalamnya, derap laju pembangunan hanya jadi ruang akumulasi kekayaan segelintir orang dan pembiaran nasib rakyat di margin kebisuan.

Suksesi kekuasaan jadi patahan dan parade kebencian. Reformasi yang mestinya jadi waktu renaisans, justru jadi melodrama kekuasaan yang penuh intrik. Silih-berganti penguasa hanya sibuk menegakkan kedinastian dan wangsa. Sibuk berkoalisi didasari keseragaman pragmatisme. Kebaktian pada semua warga negara didasari transaksi dan kepentingan politik dukungan.

Saat ini, menjelang satu abad usia kebangkitan nasional, negeri yang berlimpah sinar matahari ini justru dalam rembang petang. Kontestasi kepentingan elite dalam suksesi di pilgub DKI telah menciptakan limbah sentimen kesukuan, rasisme, dan bias prasangka. Tenun kebangsaan tergadai demi mahar kekuasaan. Tali-tali solidaritas kebangsaan memutus. Jagat ideasional tentang negara-bangsa yang diandaikan, diimpikan sebagai rumah bersama, mematah di kelokan tajam. Tengah diseret maju ke belakang, ke satu abad silam.

Inilah "epik kebangsaan" itu. Sesuatu yang akan selalu berada di ketegangan kreatif. Tarik-ulur kekolotan-kebaruan, konservatif-progresif, mungkin juga kaum "toea-moeda". Sesuatu yang berada dalam kronik kekuasaan yang ingin mengimpotensi nalar keadaban dan kebajikan publik.

Namun, wiracarita generasi demi generasi tak akan pernah berhenti. Wiracarita mereka yang akan jadi juru tulis sejarah. Generasi demi generasi yang akan terus mengumandangkan "Indonesia Raya" sepanjang tarikan napas dan di kedalaman cinta mereka.

AGUS HERNAWAN
Pekerja Kebudayaan, Alumnus SIT-Vermont, AS



Sumber: Kompas, 17 Juli 2017 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...