Langsung ke konten utama

MEMBACA INDONESIA: Islam dan Pendekatan Damai

Liputan bertajuk "Membaca Indonesia" minggu ini kembali hadir dengan mengambil tema kedatangan dan perkembangan awal agama Islam di Indonesia. Liputan ini merupakan kelanjutan dari liputan Oktober lalu tentang Kerajaan Majapahit.

Warga Nusantara, khususnya di pusat-pusat kekuasaan di Pulau Jawa, sekitar abad ke-13 mulai tertarik dan berduyun-duyun mempelajari Islam. Masuknya Islam yang memakai cara damai dan menghargai budaya setempat membuat masyarakat makin tertarik dengan agama tersebut.

Hari itu tepat 10 Muharam (Asyura atau Suro dalam penanggalan Jawa). Masjid Agung Demak di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, dipadati peziarah dan rombongan umat yang berdoa. Ratusan lelaki dan perempuan dengan khusyuk mendengarkan sang imam di depan mereka menuntun doa dan shalawat.

Sekitar satu jam kemudian, kumpulan umat itu bubar. Mereka lalu menuju bagian belakang masjid untuk berziarah. "Sekarang tanggal 10 Suro. Saya berdoa semoga sawah saya tidak kena hama. Anak-anak, suami, dan keluarga saya sehat semuanya, banyak rezeki," kata Yukomah (45), warga Kecamatan Wonosalam, Demak, Jawa Tengah, menjelaskan tujuannya berziarah ke Masjid Agung Demak pada pertengahan Oktober lalu.

Tak mau ketinggalan rombongan untuk berdoa, Yukomah lalu buru-buru menenteng sandal jepit yang dikenakannya dan memasuki pelataran makam di belakang masjid.

Yukomah dan rombongannya, sepanjang hari itu, hanya sebagian kecil dari orang-orang yang datang dan pergi dari kawasan Masjid Agung Demak.

Tidak ada yang bisa memastikan apakah pemandangan serupa juga terjadi lima abad lalu ketika Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa masih berdiri pada tahun 1500-an.

Demak di masa lalu digambarkan oleh Tome Pires, seorang penjelajah Portugis, yang menulis catatannya tahun 1515, sebagai kota pesisir yang makmur, terdiri atas sekitar 10.000 rumah. Sebagian beras yang dihasilkan dari tanah Demak diekspor ke Malaka.

"Pusat perekonomian, politik, dan keagamaan adalah Kota Demak yang diperintah Pangeran Trenggana (1504-1546). Masjid Demak yang baru saja diperbesarnya masih tetap menjadi pusat Islam Jawa yang tak terbantahkan," tulis Denys Lombard tentang Demak yang jaya dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jaringan Asia).

Sembilan wali

Berada di daerah rawa-rawa pesisir dan tanah yang labil, Demak di awal abad ke-15 adalah daerah otonom baru yang dipimpin Raden Fatah. Sejumlah versi mengisahkan latar belakang raja Muslim itu. Ada yang menyebutkan Patah adalah anak Raja Brawijaya V, Raja Majapahit yang memerintah pada 1447-1451, yakni Sri Prabu Kertawijaya yang bergelar Abhiseka Wijaya Parakramawarddhana.

Namun, Tome Pires dalam bukunya, Suma Oriental, menyebutkan, pendiri dinasti Demak yang bernama Pate Rodin adalah cucu seorang anggota masyarakat dari keturunan rendah di Gresik. 

Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo menerangkan, istilah "keturunan rendah" ini berkaitan dengan struktur sosial masyarakat pada awal abad ke-16. Saat itu, penduduk pribumi ditempatkan sebagai orang mulia, sementara penduduk asing dan keturunannya ditempatkan sebagai orang rendah sederajat pelayan. Jika penduduk asing itu memeluk agama selain Hindu, sebagaimana tatanan masyarakat di Majapahit, ia termasuk kaum Mleccha, yang kedudukannya di bawah golongan Candala, yaitu dua tingkat di bawah kasta Sudra.

Patah diasuk kakaknya dari satu ayah, Arya Damar, penguasa Palembang, yang ketika itu masih menganut Hindu Jawa. Setelah dewasa, Patah berkelana dan belajar pada Sunan Ampel atau Raden Rahmat di Pesantren Ampel Denta, Surabaya.

Sunan Ampel adalah satu dari sembilan wali (Wali Songo) yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa.

Delapan wali lain adalah Sunan Gresik, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati.

Dari Sunan Ampel, Patah mengenal ajaran Islam. Bahkan, ia lalu menikah dengan putri Sunan Ampel, Dewi Murtosimah.

Pendirian Demak dikisahkan merupakan petunjuk dari Sunan Ampel. Mertuanya itu berpesan kepada Patah agar mendirikan pedukuhan di daerah Glagah Wangi di daerah barat.

Setelah bertakhta, Raden Patah bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Penembahan Palembang Sayidin Panatagama.

Makna ulang

Masjid Agung Demak disebut didirikan oleh Wali Songo. Masjid yang bergaya khas Jawa ini masih berdiri megah hingga saat ini. Susunan atapnya yang tumpang tiga menyimbolkan tiga tahapan dalam beragama, yakni iman, Islam, dan ihsan. Di bagian dalam, empat soko guru yang terbuat dari batang kayu utuh menyangga kerangka utama masjid. Enam soko guru lain menyokong bangunan masjid itu di bagian serambi.

Sebuah simbol Surya Majapahit dipasang di atas mihrab masjid, tempat imam shalat memimpin ibadah. Surya Majapahit itu berbentuk lingkaran di tengah, dengan delapan pucuk bintang mengarah ke delapan penjuru mata angin.

Dalam konsepsi Hindu, Surya Majapahit menggambarkan sembilan dewa, yakni Wishnu (utara), Iswara (timur laut), Sambhu (timur), Maheswara (tenggara), Brahma (selatan), Rudra (barat daya), Mahadewa (barat), Chankara (barat laut), dan Syiwa sebagai penjaga titik pusat.

Agus Sunyoto mengungkapkan, sebutan Wali Songo sebenarnya juga mengambil patokan pada sembilan penjuru yang digambarkan Surya Majapahit.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Imam Pituduh memberi penjelasan menarik soal karakter Islam di Nusantara. Ia menggambarkan Islam yang dibawa Wali Songo sebagai suatu kesinambungan atau harmonisasi yang tidak bertujuan merusak. Pemahaman ini persis dengan dugaan yang dibangun Lombard ketika ia melihat begitu banyak elemen Majapahit yang dipakai ulang oleh Islam. Salah satunya pesantren yang diduga mewarisi gaya lembaga pendidikan Hindu-Buddha.

"Wali Songo menggunakan pendekatan damai yang mengutamakan ihsan, yakni wujud daya dari perbuatan baik kepada semesta," kata Imam.

Soal pendekatan damai ini, Abdurrahman Wajid dalam bukunya, Menggerakkan Tradisi, menyebut pendekatan itu mengena di hati warga Nusantara. Nuansa Hindu-Jawa di Nusantara yang bercampur dengan kepercayaan lokal tidak diberangus begitu saja, tetapi didekati dengan penuh pengertian.

Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, meyakini, Islam di Nusantara masuk melalui pendekatan dengan pengaruh kuat dari Persia dan India. "Masa abad ke-13 itu, Islam datang ke Indonesia sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia dan kemudian di anak Benua India, yang berorientasi kuat pada tasawuf," demikian tulis Gus Dur.

Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, sejak abad ke-13, Islam dengan napas tasawuf itu bertumpang tindih dengan pandangan dan perilaku orang Jawa atau penduduk setempat. Masih relevan kiranya pendapat Gus Dur itu jika dikomparasikan dengan kenyataan masa kini, saat Islam tetap bersahabat dengan lingkungan dan kultur lokal. 

(RINI KUSTIASIH/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)


Sumber: Kompas, 6 Desember 2016

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...