Ahmad Mansur Suryanegara
Sejarawan Muslim Tinggal di Bandung
HARI Kebangkitan Nasional (Harkitnas), 20 Mei, sebagai produk keputusan Kabinet Mohammad Hatta (1948). Didasarkan 20 Mei 1908 sebagai Hari Jadi Boedi Oetomo (BO).
TERNYATA keputusan politik ini sangat bertentangan dengan realitas sejarahnya. BO yang didirikan (1908) oleh Soetomo ketika masih siswa Stovia. BO juga dibubarkan oleh dr Soetomo (1931). BO sebagai gerakan eksklusif priyayi Jawa, aksi dan pemikirannya melawan arus gerakan Kebangkitan Kesadaran Nasional (1900-1942). Tidak hanya saat didirikannya, tetapi juga ketika BO telah berusia 20 tahun. Dalam kongresnya di Surakarta (1928), menurut AK Pringgodigdo dalam Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan nasional Indonesia, yang diperjuangkan oleh Jong Islamieten Bond-JIB (1925).
BO dibubarkan sendiri oleh dr Soetomo. Berubah menjadi Persatoean Bangsa Indonesia (PBI), dan berubah lagi menjadi Partai Indonesia Raja (Parindra), 1935. Walaupun memakai nama Indonesia, tetapi anggotanya tetap hanya priyayi Jawa yang tinggal di Pulau Jawa dan luar Jawa. Oleh karena itu, Ir Soekarno dalam Sarinah, menyatakan walaupun seribu dewa turun dari langit, Parindra tidak dapat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, karena anggotanya kalangan amtenar dan bupati. Keduanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial Belanda. Pergantian nama dengan Indonesia, karena Sjarikat Islam telah menjadi parpol, Partai Sjarikat Islam Indonesia/PSII (1925).
BO sebagai organisasi kejawen-Javanism sangat anti-Islam. Termasuk sikap organisasi pemudanya, Trikoro Dharmo. Mengapa demikian? Karena BO anggota utamanya adalah priyayi Jawa dan bupati. Dan Trikoro Dharmo sebagai organisasi bawahnya BO, tidak mengherankan bila bersikap sama dengan BO.
Iklim keorganisasian yang anti Islam, menjadikan Sjamsurizal keluar dari Trikoro Dharmo. Atas nasihat Hadji Agoes Salim, kemudian Sjamsurizal mendirikan Jong Islamieten Bond-JIB (1925). Gerakan JIB tidak dapat dilepaskan dari pengaruh CSI yang saat itu sudah berubah menjadi parpol Partai Sjarikat Islam (1923) kemudian jadi PSII (1925). Timbul pertanyaan mengapa BO anti-Islam?
BO (1908) didirikan di Jakarta sebagai organisasi imbangan terhadap Djamiatoel Choir (1905) yang didirikan kalangan Sayid. Organisasi pendidikan Djamiatoel Choir ini mendapat simpati besar dari kalangan bangsawan Jawa, antara lain KH Achmad Dachlan yang nantinya sebagai pendiri Persjerikatan Moehammadijah (1912). Sedangkan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, menjauhkan kalangan priyayi atau ningrat dari pengaruh Islam.
Atas nasihat PAA Achmad Djajaningrat Bupati Serang, Djamiatoel Choir perlu diimbangi organisasi Sayid dengan organisasi kalangan priyayi Jawa, Boedi Oetomo namanya. Perhatikan persamaan antara Choir bahasa Arab dan Oetomo dalam bahasa Jawa. Sistem keanggotaanya, BO, hanya menerima priyayi Jawa. Lebih diutamakan amtenar dan bupati. Kedua-duanya sebagai aparat penjajah. Bila pemerintah Kolonial Belanda anti-Islam, maka para pembantunya bupati dan amtenar, juga bersikap anti-Islam sebagai gerakan politik.
Usaha ini berhasil menemukan pemuda yang unik. Soetomo untuk lulus SD 5 tahun saja, setelah usia 20 tahun baru lulus. Setelah lulus dari Stovia 2 tahun, mendapat gelar Dokter Jawa, menunjukkan sikap anti-Islam. Terbukti ketika ditanya oleh KH Mas Mansoer (1933) dari Perserikatan Moehammadijah, mengapa tidak salat? Jawabnya, bahwa dirinya sebagai penjelmaan Tuhan di dunia, tidak perlu salat. Dan kemudian menyalahkan seluruh ajaran Rasulullah saw. Termasuk masalah haji, tidak dibenarkannya. Pandangan ini jelas, dr Soetomo dan BO bersikap antigerakan nasional Indonesia dan anti-Islam. Pernyataan anti-Islamnya dapat dibaca di media cetaknya Djawi Hiswara dan Swara Oemoem.
Pengertian nasional adalah gerakan anti-imperialis. Dan gerakan nasional juga sebagai gerakan cinta tanah air dan bangsa serta agama. Dalam kenyataan sejarahnya di Indonesia, pelopor pengguna istilah nasional ini pun adalah Sjarikat Islam. Disosialisasikan istilah nasional dalam National Congres Central Sjarkat Islam-Natico CSI Pertama (1916) di Bandung, diadakan di Gedung Concordia atau Gedung Merdeka sekarang Museum KAA Jalan Asia Afrika. Adapun pimpinan Natico CSI saat itu adalah HOS Tjokroaminoto, Hadji Agoes Salim, Abdoel Moeis, Wignjadisastra, dan Dewi Sartika. Dalam kongres ini, CSI sebagai pelopor menuntut Zelfbestuur - Self Goverment - Pemerintahan Sendiri. Dengan kata lain Indonesia Merdeka.
Pengaruhnya di Bandung, Setiabudhi Danudirjo mengubah Indische Partij - partainya kalangan Indo, menjadi National Indische Partij (1919). Pengaruh selanjutnya Setiabudhi masuk agama Islam. Bung Karno di Bandung 11 tahun kemudian mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (1927). Dan ketika PNI didirikan, CSI telah berubah jadi parpol, Partai Sjarikat Islam (1923). Dengan kepulangan Dr Soekiman Wirjosandjojo dari Belanda, kemudian bergabung di Partai Sjarikat Islam, memopulerkan istilah Indonesia, berubah menjadi PSII (1925).
Dari fakta sejarah ini terbaca bahwa pelopor adanya organisasi yang menggunakan istilah Syarikat, Serikat, Sarekat, adalah Sjarikat Islam. Berpengaruh terhadap nama Persarekatan Komunis di India - PKI (1920). Pelopor pengguna istilah nasional adalah National Congres Central Sjarikat Islam (1916). Berpengaruh terhadap National Indische Partij (1919) dan Perserikatan Nasional Indonesia (1927). Pendiri pertama parpol adalah Sjarikat Islam. Dan yang menyosialisasikan istilah Indonesia sebagai pengganti Hindia Belanda atau Hindia Timur adalah Partai Sjarikat Islam Indonesia.
Bung Karno sendiri dalam Di Bawah Bendera Revolusi, menyatakan bahwa Prof Ralston Hayden, Sjarikat Islam sangat berpengaruh besar terhadap gerakan politik. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia Timur. Kalau demikian fakta sejarahnya, timbul pertanyaan benarkah keputusan Kabinet Hatta, 20 Mei sebagai Harkitnas? Sjarikat Islam bermula adalah Sjarikat Dagang Islam - SDI yang didirikan 16 Oktober 1905. Harkitnas yang lebih tepat adalah 16 Oktober 1905. Tanggal 20 Mei sebaiknya diperingati sebagai Hari Jadi Kodam Siliwangi. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 20 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar