Ratusan pemuda dan pelajar Indonesia dari 11 negara Eropa pada 25-26 Oktober 2008 berkumpul di Museon, Den Haag, Belanda. Mereka seperti hendak meniru 100 tahun pergerakan bangsa, yang dimulai oleh sekelompok anak muda yang tengah belajar di negeri penjajah itu.
Oleh AHMAD ARIF
Di negeri penjajah (baca: Belanda), pada tahun 1922, sekelompok mahasiswa yang datang dari tanah Hindia membentuk organisasi yang diberi nama Indonesische Vereeniging. Lewat organisasi inilah mereka kemudian merumuskan pergerakan kebangsaan Indonesia.
Setahun kemudian mereka mengganti istilah berbau Belanda tersebut dengan Perhimpoenan Indonesia (PI). Maknanya sama, tetapi kekuatan politisnya jauh berbeda. Sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Sartono Kartodirdjo (Sejak Indische sampai Indonesia, 2005) menyebutkan, sejak itu untuk yang pertama kali istilah Indonesia yang semula hanya konsep geografis dan antropologis jadi konsep politik.
Sartono Kartodirdjo dalam buku itu menyebutkan, PI telah merumuskan konsep politik, masa depan Indonesia dalam bentuk pemerintahan semata-mata ada di tangan bangsa sendiri. Dalam majalah Hindia Poetra, Maret 1923, dimuat pernyataan asas PI dengan tekanan pada ide kesatuan serta demokrasi.
Dalam pernyataan dasar-dasar perkumpulan PI, menurut Sartono, tercantum antara lain pembebasan Indonesia dari penjajahan melalui aksi massa dari rakyat yang penuh kesadarannya. Majalah organisasi pun diganti menjadi Indonesia Merdeka, dengan semboyan merdeka. Oleh Taufik Abdullah disebutkan, semboyan itu adalah "Indonesia merdeka, sekarang!"
Menurut Taufik, peristiwa itu memberi makna penting adanya sebuah bangsa yang bernama Indonesia dan bangsa ini menuntut kemerdekaan bagi negerinya.
"Jika sejarah pergerakan kebangsaan dikaji lebih teliti, kelihatan bahwa mahasiswa yang bergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal," kata Taufik.
Taufik menambahkan, jika pada 28 Oktober 1928 di Tanah Air ratusan pemuda baru saja mengeluarkan Sumpah Pemuda yang berhenti pada penyatuan tekad akan bangsa yang satu dan tanah air satu serta menjunjung bahasa persatuan, Manifesto Politik dari PI tahun 1923 telah melampaui semua tingkat itu karena mereka telah mencita-citakan kemerdekaan saat itu juga.
100 tahun pergerakan
Sejarah tentang siapa lebih dulu merumuskan pergerakan kemerdekaan Indonesia memang masih diperdebatkan. Namun, harus diakui bahwa inisiatif pemuda dan pelajar Indonesia di rantau--khususnya di Belanda--memegang peranan penting. Menurut catatan Harry A Poeze (Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, 2008), sebagian besar tokoh pergerakan Indonesia pernah tinggal dan mematangkan diri di Belanda.
Peran itulah yang tampaknya hendak ditiru oleh perhimpunan Pemuda dan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda dengan menggelar Konferensi PPI se-Dunia di Den Haag. Dua hari bersidang, konferensi yang dihadiri sekitar 300 pemuda dan pelajar Indonesia dari 11 negara itu menghasilkan kertas kebijakan mengenai pembentukan pusat data dan informasi tesis nasional.
Ketua Panitia Konferensi Cristian Santoso mengatakan bahwa rekomendasi ini didasari oleh banyaknya karya ilmiah pelajar Indonesia yang belum terdokumentasi sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, lembaga atau instansi di Indonesia, ataupun berbagai pihak yang membutuhkan. Konferensi juga merumuskan kebijakan kerja sama pendidikan dengan negara donor. Hal ini didasari banyaknya ketidaksesuaian antara kebutuhan bangsa kita dan beasiswa yang diberikan negara honor.
Para mahasiswa ini juga menyusun lima rekomendasi terkait masalah pangan, infrastruktur, kemaritiman, riset dan teknologi, serta pembentukan masyarakat madani. Y Widodo, Sekjen PPI Belanda, mengatakan, rekomendasi di lima bidang ini masih harus disempurnakan lagi.
"Akan dibentuk tim kecil untuk menyempurnakan rekomendasi ini," katanya.
Duta Besar Indonesia di Belanda JE Habibie saat penutupan konferensi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag menjanjikan akan membawa kertas kebijakan itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Saya akan antar kertas kebijakan itu langsung kepada Presiden. Ini karya pemuda dan pelajar, yang merupakan kesinambungan dari 100 tahun gerakan pemuda pelajar Indonesia di luar negeri," ujarnya.
Tantangan baru
Terlepas dari rekomendasi konferensi, yang menurut sejumlah mahasiswa sendiri masih belum "optimal", semangat mereka patut dihargai. Apalagi, saat ini Indonesia terus kehilangan tenaga terdidik dan profesional karena mereka memilih mengembangkan karier di luar negeri. Jumlah emigrasi tenaga profesional ini rata-rata meningkat hingga 5 persen per tahun.
Banyak alasan yang menyebabkan tenaga terdidik dan profesional Indonesia pindah ke negara lain, terutama ke Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara di Eropa. Biasanya ini karena lingkungan kerja dan infrastruktur di Indonesia yang tidak kondusif, kurangnya kolaborasi antara universitas dan industri, kurangnya dana penelitian, hingga sedikitnya pendapatan di dalam negeri.
Achmad Aditya (29), mahasiswa doktoral bidang kelautan dari Universitas Leiden, misalnya, mengaku gamang pulang ke Indonesia karena ragu ilmunya akan terserap di dalam negeri. "Maunya bisa mengabdi di Indonesia, tetapi saya ingin mencari bekal dan jaringan dulu di sini. Suasana akademik di Tanah Air belum mendukung," ujarnya.
Masalahnya, ketika Indonesia kehilangan tenaga profesionalnya, negara lain berupaya menarik tenaga-tenaga terdidik dan profesional dari berbagai negara. Misalnya, Irlandia melaksanakan program nyata untuk menarik tenaga terlatih dan profesional agar masuk ke negara mereka dengan membentuk Science Foundation Ireleand (SFT) dan Singapura membentuk Singapore's Agency for Science and Technology Research.
Kedua lembaga ini memiliki otoritas tinggi dan jaringan yang kuat dengan dewan ekonomi nasional dan kegiatan investasi, komitmen yang kuat dari pemimpin negara, dan memiliki mekanisme pendanaan sistem grand dan modal ventur untuk mempromosikan kolaborasi penelitian internasional.
Negara lain, seperti India dan China, justru memiliki jaringan tenaga terdidik dan profesional di luar negeri. Kedua negara ini juga mendorong adanya brain circulation network, yaitu upaya mentransfer pemikiran dan karya para ahli mereka di luar negeri ke dalam negeri.
Siswo Pramono, Konsul Bidang Politik KBRI di Belanda, mengatakan, situasi global saat ini lebih kompleks. Eksploitasi pihak kaya (baca: negara kaya) terhadap pihak miskin (negara miskin) masih terjadi, tetapi struktur dunia lebih rumit. Kalau dulu terkotak-kotak, antarnegara, sehingga lebih jelas siapa penjajah yang harus dilawan, sekarang yang kita lawan kadang-kadang tidak jelas siapa dan di mana.
"Bahkan, terkadang musuhnya ada di dalam negara sendiri, berupa korupsi dan nepotisme. Oleh karena itu, gerakan anak-anak muda yang dilandasi keprihatinan terhadap masa depan bangsanya harus tetap diapresiasi," kata Siswo.
Masih banyak tugas ke depan untuk generasi muda, seperti diingatkan oleh Bung Hatta, "Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya."
Sumber: Kompas, 14 November 2008
Komentar
Posting Komentar