ADA cerita yang populer berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Tatar Sunda: Kian Santang adalah pemuda gagah perkasa anak Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Karena kesaktiannya, sepanjang hidupnya ia belum pernah tahu warna darahnya. Ia pun terus-menerus bertanding, menguji kesaktian, tapi tak pernah menemukan lawan yang sepadan. Semua lawannya dengan mudah selalu ia kalahkan.
Pada suatu waktu Kian Santang mendapat petunjuk dari seorang ahli nujum bahwa lawan yang pantas baginya adalah Baginda Ali yang tinggal di tanah Makah. Dengan menggunakan kesaktiannya, ia pergi ke tanah Makah. Sesampainya di tanah Makah, Kian Santang berusaha mencari Baginda Ali. Menurut orang tua yang kebetulan ia temui di perjalanan, Baginda Ali sedang berada di Masjidil Haram bersama Kangjeng Nabi. Orang tua itu pun bersedia mengantarnya ke Masjidil Haram.
Setelah berjalan beberapa ratus langkah, si orang tua berhenti. Rupanya tongkat yang dibawanya tertinggal di tempat ketika bertemu dengan Kian Santang. Ia pun memohon kepada Kian Santang agar mau mengambilkan tongkat itu. Kian Santang setuju. Di luar dugaan, tongkat yang tertancap ujungnya ke dalam pasir itu tak mampu diangkat oleh Kian Santang. Ia berusaha menggunakan seluruh kesaktiannya, tapi sia-sia. Ia bukan saja tidak bisa mengangkat tongkat tersebut, malah kakinya pun amblas ke dalam pasir dan darah keluar dari seluruh pori-pori tubuhnya.
Melihat peristiwa itu, orang tua itu hanya tersenyum. Ia memberi tahu Kian Santang bahwa tongkatnya dengan mudah akan bisa diangkat jika pekerjaan itu dimulai dengan mengucapkan dua kalimat sahadat. Kian Santang pun menirukan kalimat yang dicontohkan orang tua itu. Tongkat dapat terangkat dan Kian Santang pulih seperti sedia kala.
Kian Santang kemudian tahu, bahwa orang tua yang berada di depannya itu adalah orang yang sedang ia cari, yaitu Baginda Ali. Kian Santang takluk dan bersedia dengan suka rela masuk agama Islam. Atas restu Kangjeng Nabi, Kian Santang diangkat menjadi wali pertama di tanah Jawa dengan nama baru, yaitu Sunan Rahmat.
**
CERITA tersebut menyebar secara lisan dan ditulis dalam naskah-naskah Sunda dalam berbagai versi. Cerita itu memang bukan historiografi, sebab mustahil Kian Santang yang hidup pada sekitar abad XII - XV M dapat bertemu dengan Baginda Ali (Ali bin Abi Thalib) yang hidup pada abad VI M. Akan tetapi, mengapa di tatar Sunda timbul cerita semacam itu? Atau, apa yang melatarbelakangi penciptaan cerita seperti itu? Inilah yang menarik.
Sebelum Islam masuk, tanah Sunda bukanlah tanah yang kosong. Di sini sudah ada masyarakat, raja, penguasa, dan tokoh-tokoh mitos. Kian Santang adalah tokoh yang dimitoskan dan dihormati. Konsekuensinya, Islam akan mudah diterima oleh masyarakat Sunda, jika tokoh "anutannya" ini telah "diislamkan" terlebih dahulu. Artinya, di sini terjadi proses penciptaan kode (code) yang menjadikan Islam sesuai dengan sistem pengetahuan orang Sunda.
Sebenarnya, banyak sekali usaha yang dilakukan budaya Sunda dalam menciptakan kode semacam itu. Misalnya saja, pertunjukan wayang yang tadinya sangat Hindu, kemudian ke dalamnya dimasukkan unsur-unsur keislaman. Lingga-lingga diubah menjadi nisan. Jumlah senar kacapi indung sama dengan jumlah rakaat dalam salat wajib, tujuh belas. Hal ini tidak berbeda dengan kreativitas masyarakat Jawa. Menurut Kuntowijoyo (1993:367), dalam budaya Jawa, riwayat Nabi diubah dan disesuaikan dengan mitologi dengan kerangka berpikir babad. Sehingga historisitasnya tak segan-segan dicipta ke dalam simbol baru dunia mitologi, lengkap dengan mimpi, nujum, wangsit, dan cahaya.
Sebagai sebuah kreativitas, hal itu merupakan usaha yang positif. Akan tetapi, jika cerita semacam Kian Santang disajikan pada waktu kini tanpa usaha decoding atau penguraian kode untuk mencari historisitasnya, tentu saja merupakan sesuatu yang tidak produktif. Bersetuju dengan Kuntowijoyo, di situ kita akan melihat budaya yang membeku. Dengan demikian, sebuah budaya memang harus melakukan coding dan decoding secara terus-menerus.
Di dalam budaya Sunda, terdapat jargon bahwa Islam kudu disundaan dan Sunda kudu diislaman. Dalam batas tertentu, tampaknya hal ini sesuai dengan konsep coding dan decoding. Islam kudu disundaan, artinya Islam harus bisa dipahami dengan sistem pengetahuan orang Sunda. Ini adalah usaha coding. Adapun Sunda kudu diislaman, artinya adalah usaha mengembalikan kode-kode budaya Sunda ke dalam Islam. Ini adalah usaha decoding.
Penting juga diketahui adalah pandangan Islam yang universal dalam memandang budaya lokal. Menurut hemat saya, masuknya Islam ke dalam budaya Sunda tidak akan menggugurkan universalitasnya. Di dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pengaruh-pengaruh tertentu lingkungan hidup sekelompok manusia terhadap keagamaan, apalagi agama Islam, tidak berarti pematahan universalitas suatu agama. Malah, menurut dia, suatu agama, termasuk Islam, dalam interaksinya dengan budaya lain justru akan mengalami apa yang dalam Ushul Fiqh diakui sebagai al-adah syari'ah muhakkamah, artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya lokalnya, adalah sumber hukum dalam Islam.
Dalam bahasa yang lain, Ismail R. Faruqi dalam Islam dan Kebudayaan (1994:13) juga menyatakan bahwa hanya Islam yang mengakui kebudayaan kedaerahan sebagai kandungan etos Islam, dan berhasil menjaga ikatan universal dan kesetiaan padanya di tengah-tengah keragaman etnis di dunia. Menurutnya, orang-orang primitif di Afrika, orang-orang Eropa, Cina, India, dan Barbar, juga bangsa-bangsa campuran di Timur Dekat semuanya mengambil bagian di dalam kebudayan Islam. Faruqi menegaskan bahwa Islam terus memelihara, mengembangkan, dan menghidupkan ratusan subkebudayaan etnik.
Budaya etnis atau lokal adalah sebuah tradisi. Nah, dengan mengutip sosiolog Eisenstandt, Nurcholis pun mengajukan cara pandang terhadap tradisi. Ia membedakan "tradisi" dengan "tradisionalisme". Menurut dia, "tradisi" belum tentu semua unsurnya tidak baik; oleh karena itu harus dilihat dengan teliti mana yang baik untuk dipertahankan dan diikuti. Sedangkan "tradisionalisme" pasti tak baik, sebab ia merupakan sikap tertutup akibat pemutlakan tradisi secara keseluruhan, tanpa sikap kritis untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sunda, tentu saja, adalah sebuah "tradisi" dan Islam adalah agama yang universal. Dalam batas tertentu, di antara keduanya terjadi, apa yang dinamakan oleh Nurcholis, sebagai akulturasi timbal balik, yakni hubungan yang saling memperkaya. Oleh karena itu, agar hubungan Islam dan budaya Sunda tetap produktif, maka proses coding and decoding yang terus-menerus merupakan keniscayaan. ***
TEDDI MUHTADIN
Sastrawan, dosen Unpad Bandung.
Sumber: Pikiran Rakyat, 20 September 2008
Komentar
Posting Komentar