Satya Arinanto
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Minggu ini untuk kesekian kalinya kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Jika dihitung dari aktivitas yang dipelopori beberapa mahasiswa Stovia (sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) yang ditokohi oleh dr Soetomo dengan pendirian Budi Utomo pada 1908, usia kebangkitan nasional kita saat ini sudah hampir mencapai 100 tahun. Meskipun demikian, usia pergerakan menuju kebangkitan nasional sebenarnya justru lebih panjang daripada itu.
BEBERAPA tahun sebelum pergerakan 1908 itu, tepatnya pada 1860, sebuah buku yang ditulis oleh Multatuli--nama samaran Eduard Douwes Dekker--berjudul Max Havelaar telah terbit. Buku yang membuat pengarangnya menjadi segera terkenal ke seluruh dunia itu antara lain berisikan gugatan yang tajam terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang menimpa pendudukan bumiputra di wilayah yang waktu itu bernama Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Buku yang dalam terjemahannya diartikan sebagai "Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda" kemudian malahan membawa penulisnya yang notabene orang Belanda ke dalam kancah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Bersama beberapa tokoh lainnya yang kemudian dikenal sebagai 'Tiga Serangkai', seperti dr Cipto Mangunkusumo dan RM Suwardi Suryaningrat (atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan nasional RI), Douwes Dekker kemudian ikut mendirikan Nationale Indische Partij, termasuk partai politik (parpol) pertama yang didirikan di Hindia Belanda. Yang paling fenomenal untuk dikemukakan ialah bahwa parpol ini merupakan parpol pertama yang secara tegas mengumumkan tujuan perjuangannya untuk mencapai Indonesia merdeka.
Dengan demikian tujuan perjuangan yang dicetuskan saat itu sangat sejalan dengan semangat kebangkitan nasional yang dicetuskan melalui pergerakan 1908. Mencapai Indonesia merdeka merupakan cita-cita paling esensial dari semua pergerakan nasional yang pernah timbul dan tenggelam di Tanah Air, baik sebelum maupun setelah Budi Utomo. Cita-cita yang bersumberkan dari kegeraman dan perlawanan terhadap ketidakadilan itu juga sejalan dengan alur cerita Max Havelaar.
***
Kini, 99 tahun pasca-Budi Utomo, menjadi saat yang signifikan untuk mempertanyakan apa makna kebangkitan nasional. Lebih jauh lagi muncul pertanyaan kalangan manakah yang justru menikmati makna kebangkitan nasional. Jika dahulu kebangkitan nasional dilatarbelakangi suatu musuh bersama (common enemies) yang bernama penjajahan dan ketidakadilan, pada saat ini tampaknya musuh bersama itu masihlah sama, walaupun faktor penjajahan tampak lebih tersamar dibandingkan dahulu. Meski demikian faktor ketidakadilan, terutama di bidang ekonomi dan sosial, tampak masih dominan walaupun kita sudah menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Reformasi politik yang bergulir pascaberhentinya Soeharto sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998 di satu sisi memang telah berhasil membawa bangsa Indonesia ke arah perubahan-perubahan politik yang pernah dicita-citakan pada tahun 1908, namun dari sisi ekonomi dan sosial belumlah demikian.
Entah siapa yang harus disalahkan, pemberitaan media massa setiap hari sebagian besar masih berisikan masalah penggusuran tanah; sulitnya masyarakat mendapatkan bahan-bahan kebutuhan pokok seperti BBM, beras, dan minyak goreng; dan sebagainya.
Dengan demikian reformasi politik yang dilakukan selama ini baru mengarah pada kebangkitan segelintir elite politik, yang ironisnya justru karena dukungan rakyat dan atau parpol-parpol yang ada. Mereka menduduki pusat-pusat kekuasaan, baik di kalangan suprastruktur maupun infrastruktur politik.
Elite-elite politik lama yang bersalin rupa dan elite-elite politik baru masuk ke kancah perpolitikan Indonesia sejak masa reformasi. Namun, yang kemudian mengalami kebangkitan adalah kalangan mereka sendiri, bukan kalangan rakyat kebanyakan sebagaimana dicita-citakan berbagai pergerakan nasional sebelum Indonesia merdeka.
***
Yang menjadi pertanyaan signifikan ialah bagaimana kita bisa menyempurnakan arah reformasi ini, agar cita-cita kebangkitan nasional dapat tercapai? Perbaikan-perbaikan di bidang kehidupan politik yang telah dilakukan perlu dipertahankan agar berjalan sesuai jalurnya. Hal-hal yang belum sempurna dari proses perubahan konstitusi harus terus disempurnakan, baik melalui cara sedikit demi sedikit (parsial), maupun secara menyeluruh (komprehensif).
Dalam konteks ini upaya-upaya untuk melakukan perubahan konstitusi sebagaimana diusulkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebenarnya tidak layak untuk digembosi. Eksistensi institusi DPD dengan kewenangan yang terbatas, namun membutuhkan anggaran yang besar, pada saat ini justru harus disempurnakan. Demikian pula dengan berbagai kekurangan lainnya di bidang pengaturan tentang kekuasaan kehakiman dan penegakan hukum, pemilu, dan sebagainya.
Di bidang hukum, aroma 'penjajahan' bahkan masih sangat terasa. Berdasarkan data yang ada, puluhan peraturan perundang-undangan kita yang berlaku pada saat ini masih merupakan warisan dari masa kolonial. Pada sekitar abad ke-19, beberapa tahun sebelum Belanda memberlakukan masa liberalisme (1840-1890) di Hindia Belanda, yakni sekitar tahun 1819, dilanjutkan hingga sekitar 130 tahun berikutnya sampai 1949, pemerintah Belanda telah memberlakukan tidak kurang dari 7.000 peraturan di wilayah Hindia Belanda. Menurut perhitungan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang sekarang berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), pada tahun 1992 masih tersisa sekitar 400 peraturan yang berlaku.
Semenjak awal masa reformasi hingga saat ini, pemerintah dan DPR justru lebih banyak membahas dan mengesahkan berlakunya UU tentang pemekaran wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota, sehingga semakin menyebabkan sisa-sisa hukum kolonial ini agak terlambat untuk 'dinasionalisasi'.
Kondisi ini berpotensi menghambat pembangunan hukum, karena berbagai peraturan dari masa kolonial yang tidak sesuai dengan suasana kebatinan dan kondisi Indonesia tetap dibiarkan berlaku dan tidak segera diupayakan untuk diganti. Hal ini berarti semangat kebangkitan nasional mengalami keredupan di bidang hukum. Hal ini baru pada aspek peraturan, dan belum termasuk aspek-aspek lainnya seperti misalnya upaya-upaya pemberantasan korupsi yang justru dinilai banyak dilakukan dengan cara tebang-pilih.
Dengan demikian, cita-cita untuk melawan ketidakadilan sosial dan ekonomi--termasuk di dalamnya ketidakadilan hukum--yang dahulu banyak dikemukakan kalangan pergerakan nasional masih harus diperjuangkan dengan keras. Salah satu permasalahan yang harus segera dijernihkan baik oleh kalangan rakyat maupun elite ialah tentang pengertian terminologi 'rasa keadilan masyarakat'.
Dalam pelbagai diskursus tentang hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi, terdapat dua pandangan yang saling berhadapan, yakni pandangan kelompok realis versus kelompok idealis, dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa hukum harus menunjang pembangunan demokrasi.
Pandangan-pandangan tersebut adalah sebagai berikut, apakah perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakan aturan-aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului perubahan politik.
Ketidakjelasan mengenai makna dan batasan dari 'rasa keadilan masyarakat' tersebut menimbulkan kesulitan untuk menentukan parameter yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai terpenuhi atau tidaknya 'rasa keadilan masyarakat' tersebut pada masa transisi politik.
Dengan demikian, hal ini juga menimbulkan kesulitan untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat dalam masa transisi politik di Indonesia. Padahal, dapat dikatakan bahwa hampir keseluruhan permasalahan dari keadilan dalam masa transisi politik di Indonesia bersumber pada terpenuhi atau tidaknya terminologi ini.
Masalah yang muncul dalam perumusan 'rasa keadilan masyarakat' di Indonesia dalam masa transisi politik dalam perspektif yang lebih luas juga dialami oleh berbagai negara lainnya yang mengalami masa yang sama. Permasalahan tentang konsepsi keadilan dalam masa transisi politik merupakan suatu hal yang belum sepenuhnya dibicarakan.
Wacana tentang 'keadilan transisional' pada umumnya dibingkai oleh masalah normatif bahwa beberapa respons hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka terhadap demokrasi. Salah satu muara inti dari berbagai tuntutan yang diajukan masyarakat tersebut adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat. Meski demikian, sebagian kalangan justru berpendapat bahwa dalam realitasnya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas.
Dengan demikian, untuk mencapai cita-cita kebangkitan nasional, khususnya tercapainya keadilan dalam bidang sosial dan ekonomi, semua kalangan harus menyepakati makna utama dari beberapa frasa di muka. Dengan demikian kebangkitan nasional nantinya diharapkan tidak hanya diartikan sebagai kebangkitan kalangan elite politik semata, melainkan justru menjadi kebangkitan dari seluruh rakyat Indonesia. Semoga. ***
Sumber: Media Indonesia, 19 Mei 2007
Komentar
Posting Komentar