Daerah Tanah Abang zaman baheula dan sekarang tak jauh beda. Dilihat dari komposisi penduduk mau pun aktivitas perekonomiannya sama sekali tak berubah jauh. Sejak awal abad ke-17 hingga kini, di Tanah Abang berkumpul masyarakat dari berbagai macam suku dan bangsa. Ada Arab, Cina, India, Jawa, dan pendatang dari Borneo, serta Sumatra.
Di tempat inilah kemudian terjadi kawin campur dan akulturasi serta interaksi sosial dengan segala plus-minusnya. Sedang dari segi aktivitas ekonomi, juga tak ada perubahan. Cap sebagai pusat perdagangan tetap melekat sampai sekarang. Alkisah pada akhir abad ke-18 masehi, datanglah seorang bangsawan ulama dari Minangkabau, Sumbar. Ia bergelar Sultan Raja Burhanuddin Syekh Al-Masri. Kedatangannya ke daerah Tanah Abang bermaksud untuk sekadar melongok pusat perdagangan di Batavia yang kesohor hingga ke Minang itu. Sultan Raja Burhanuddin ingin menyaksikan sendiri, mengapa pasar itu mampu menyedot minat pedagang-pedagang dari kampungnya.
Sultan Raja Burhanuddin kemudian menyimpulkan bahwa para pedagang dari kampungnya saat itu jauh dari agama. Mereka, karena kesibukan dagangnya, sering kali lupa menunaikan sholat dan tak pernah tersentuh dakwah. Letak masjid yang cukup jauh dari pasar membuat mereka enggan datang ke masjid. Sejak itu Sultan Raja Burhanuddin langsung berinisiatif mendirikan masjid yang cukup mudah dijangkau dari lokasi pasar dan pemukiman masyarakat pedagang di Tanah Abang. Dengan dibantu oleh berbagai pihak, berdirilah kemudian di tahun 1770 Masjid Jami Al-Islam--yang karena perkembangan wilayah kini berada di Jalan KS Tubun 61, Petamburan, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya, Masjid Jami Al-Islam kemudian dipimpin oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman Selatan berjuluk Habib Usman. Dalam melancarkan dakwahnya Habib Usman banyak dibantu dua orang kepercayaannya, yakni Haji Saidi dan Haji Muala yang asli Betawi Petamburan. Hingga tahun '20-an, dari tiga orang ulama Petamburan itu yang tersisa kemudian hanya tinggal Haji Muala. Sejak itu aktivitas dakwah di wilayah Petamburan dilakukan sendirian oleh Haji Muala yang juga menjabat sebagai Kepala Takmir Masjid Jami Al-Islam. Tahun 1925 mendahului ikrar penggunaan bahasa Indonesia pada "Sumpah Pemuda" 1928, Haji Muala sudah merintis pemakaian bahasa Melayu dalam khotbah Jum'at di Masjid Jami Al-Islam.
Terobosan baru Haji Muala itu sempat dikecam sesama ulama tradisional di Petamburan. Maklum, di masa itu di seluruh Batavia (Betawi) semua masjid menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar khotbah Jum'at. Meski dicap sebagai masjid yang melakukan bid'ah, Haji Muala bergeming. Yang terpikir di benaknya ketika itu hanyalah bagaimana caranya agar dakwah Islam bisa cepat diterima oleh alam pikiran masyarakat Melayu. Polemik panjang antara Haji Muala dengan para ulama itu terdengar sampai ke kuping Pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya Haji Muala digiring ke Kantor Polisi Belanda untuk dimintai keterangan. Walaupun dilarang Haji Muala tetapi saja dengan keputusannya. Anehnya, banyak masjid di sekitar Tanah Abang hingga seluruh wilayah Betawi beringsut-ingsut mengikuti jejak Masjid Jami Al-Islam menerapkan bahasa Melayu. Sikap nasionalis yang ditunjukkan Haji Muala tidak berhenti sampai di situ. Masjid yang memiliki model jendela lengkung di berandanya ini dijadikan sebagai basis perjuangan--biasa disebut sebagai tempat Kaum Republiken, melawan Belanda. Di masjid inilah para jampang di Petamburan dan Tanah Abang sering berkumpul membicarakan pergerakan. (pesantren.net/M-1)
Sumber: Tidak diketahui, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar