Kata persatuan menegaskan adanya pengakuan bahwa bahasa daerah juga tidak kalah pentingnya.
Budayawan Ajip Rosidi sempat gusar terhadap bunyi sumpah pemuda. Terutama yang menyangkut soal bahasa. "Ada penghilangan suku kata pada bunyi sumpah pemuda yang beredar saat ini dari teks asli sumpah pemuda. Itu jelas tindakan korupsi," ujar Ajip yang kini banyak bermukim di Jepang ini.
Menurut Ajip, bunyi salah satu bagian sumpah pemuda yang terkait dengan soal bahasa bukan, "... berbahasa satu, bahasa Indonesia". Namun, ... berbahasa satu, bahasa persatuan Indonesia. Penghilangan kata 'persatuan' itu menurut Ajip memiliki implikasi yang besar.
"Kata persatuan itu menegaskan adanya pengakuan bahwa selain bahasa Indonesia ada bahasa daerah yang juga tidak kalah pentingnya," ujar Ajip. Dalam kacamata budayawan yang giat memelihara pengembangan bahasa Sunda ini, penghilangan kata 'persatuan' sebagai cerminan untuk membawa paham sentralistik dalam masyarakat Indonesia.
Kungkungan paham sentralistik, menurut Ajip, telah membawa bangsa Indonesia ke sikap-sikap yang kurang bisa memahami keragaman, perbedaan maupun toleransi. Sebab semua bentuk kehidupan kemasyarakatan dibawa dalam suatu keseragaman. Sehingga yang tidak seragam adalah sesuatu yang menyimpang.
Tak heran, jika Ajip menilai bahwa baik disadari atau tidak selama ini sebenarnya telah terjadi penghancuran terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Pemerintah yang seharusnya ikut mengembangkan kebudayaan lokal malah berlaku sebaliknya.
"Lihat dalam UUD 1945. Bukankah di situ disebutkan bahwa pemerintah wajib menjunjung tinggi kebudayaan daerah. Apa yang dilakukan pemerintah selama ini?" ujar Ajip dengan nada bertanya. Itu sebabnya, Ajip menilai ironi yang telah terjadi selama ini hendaknya segera disadari dan dihentikan.
Sebagai penyusun utama kebudayaan nasional, kebudayaan daerah atau lokal sudah saatnya untuk dikembangkan. Ajip berpendapat terlalu berlebihan jika pengembangan kebudayaan lokal akan mengancam keberadaan kesatuan negara. Bahkan ia mempercayai yang terjadi justru sebaliknya.
Ajip justru berpendapat bahwa kekerasan antarsuku, gontok-gontokan antarpolitisi serta berbagai peristiwa pertikaian berbau SARA merupakan hasil penerapan paham sentralistik. Sebab, semua pihak tidak terbiasa untuk memahami perbedaan yang ada.
Pada titik yang paling ujung, Ajip mengkritik bahwa masyarakat Indonesia sekarang ini dihinggapi penyakit split personality (jiwa yang terbelah). "Coba dengar ucapan-ucapan masyarakat yang sering mengatakan ... sebenarnya saya setuju, namun .... Apa itu tidak jiwanya terbelah?" tegasnya.
***
"Apa yang bisa kita banggakan jika beras saja kini sudah diatur orang lain, yaitu IMF?" tanya seorang peserta sebuah diskusi ekonomi. "Jangankan pertumbuhan ekonomi, sekarang ini setiap hari yang bertambah hanya tukang ojek," kata peserta yang lain.
Fitria malah lebih heran lagi. "Berbagai asumsi sudah dikemukakan para ahli ekonomi. Tapi apa hasilnya?" ujar perempuan lulusan salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta ini. Ia malah beranggapan apa yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan IMF tak ada yang 'bertemu'.
Akibatnya, papar Fitria mencoba menganalisis, "semuanya berjalan sendiri-sendiri." Program pemulihan ekonomi pemerintah dinilai tak dirasakan rakyat. Sementara IMF, menurutnya, lebih banyak memaksakan kehendak untuk mengamankan dana dan programnya sendiri.
Lebih tiga tahun Indonesia terkoyak oleh krisis. Namun hingga saat ini seakan tak hendak datang penanganannya. Silih berganti pemerintahan seakan hanya meramaikan hiruk-pikuk kehidupan demokrasi yang ingin ditegakkan. Tugas pemulihan ekonomi yang banyak ditunggu-tunggu nyaris tak ada hasilnya.,
Lain lagi dengan Hendry. Pemuda yang mengaku nyaris setiap hari membuka internet ini tak terlalu pusing dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Baginya, saat ini dunia telah menjadi sempit. Itu dibuktikannya sendiri dengan kebiasaannya membuka internet.
"Saya tak ambil pusing dengan ekonomi di sini. Sebab saya buktinya masih bisa melakukan bisnis dengan orang asing di internet," ujarnya bangga. Bagi Hendry, batas negara tidak lagi terlalu mengekang untuk melakukan interaksi dengan kenalannya di luar negeri.
Hendry mengaku tak lupa-lupa banget dengan bunyi sumpah pemuda yang pernah ia pelajari saat di sekolah menengah. Namun ia mengaku tak lagi bisa memahami arti atau nilai sumpah pemuda itu saat ini. "Menurut saya sumpah pemuda itu cocok saat Indonesia masih dijajah Belanda. Saat ini dunia nyaris tak butuh lagi batas negara," ujarnya.
***
Ajip Rosidi memang masih gusar dengan penghapusan kata 'persatuan' dalam salah satu bunyi sumpah pemuda. Namun, kegusaran Ajip yang sudah ia kemukakan ke publik sekitar tahun 1979 tak juga mendapat sambutan yang memadai. Alhasil, bunyi sumpah pemuda itu pun masih tetap 'terkorupsi' hingga kini.
Bagi IMF, soal beras adalah berkaitan dengan soal dana yang dikucurkan kepada Indonesia. Oleh sebab itu lembaga keuangan dunia merasa perlu mengatur soal kebutuhan beras bangsa Indonesia. Bangsa yang mengaku bangsa agraris ini akhirnya hanya tertunduk patuh mengikuti 'petunjuk' IMF. Nyaris hilang kebanggaan sebagai negara agraris.
Sedang bagi generasi seperti Hendry dunia sudah nyaris hilang batas-batas antar negara. Hanya dengan 'klik' ia 'berbicara' dengan kenalannya di entah negara mana. Jadi apa lagi manfaat bangsa, batas negara dan bahasa Indonesia? [] ris
Sumber: Republika, 28 Oktober 2001
Komentar
Posting Komentar