Langsung ke konten utama

Sulitnya Mendatangkan Artefak Wali Songo

Pameran benda peninggalan Wali Songo di festival kali ini terasa kurang utuh. Benda peninggalan bersejarah (artefak) itu rupanya masih banyak yang tertinggal dan tidak bisa menyapa pengunjung festival. Lantaran terbatasnya artefak sembilan wali penyebar Islam di Jawa itu, banyak kritik disampaikan ke panitia. Sebab, keinginan utama sebagian besar pengunjung yang hadir adalah menyaksikan benda-benda itu.

Secara teoritis, boleh dibilang, pameran benda-benda peninggalan Wali inilah yang menjadi 'maskot' festival. Banyak pengunjung datang di festival ini lantaran rasa ingin tahunya terhadap benda-benda milik Wali Songo. Tak urung para pengunjung pun banyak yang mempertanyakan ketidaklengkapan itu. Dan inilah agaknya yang paling banyak mendapat sorotan dari pihak luar.

"Rasanya kok kurang lengkap dalam Festival Wali Songo ini. Karena, kok tidak semua barang-barang peninggalan seluruh Wali Songo itu bisa dipamerkan," kata Ny. Hamidah, seorang pengunjung.

Mengapa tak semua barang peninggalan Wali Songo dipamerkan? Agaknya, pengelola Yayasan Sunan Wali Songo keberatan bila semua artefak dipamerkan. Tidak seluruh Yayasan Sunan (Wali Songo) bersedia memberikan artefaknya kepada panitia. Menurut Ketua Panitia daerah Festival Wali Songo, Achmad Zaini, mereka rata-rata menyatakan takut dan khawatir. Terutama yang terkait dengan masalah keamanan benda-benda bersejarah yang punya nilai tinggi itu.

Namun demikian, sambungnya, masih ada beberapa artefak yang bisa disaksikan oleh masyarakat, seperti pedang duplikat Rasulullah saw, Sayidina Ali, Umar bin Khattab, dan lainnya. Sedangkan artefak dari para Wali Songo, di antaranya adalah keris Sunan Gunung Jati, pedang milik Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan lainnya. Semua itu bisa dilihat di arena pameran.

Pihak panitia menyadari bahwa untuk menampilkan seluruh artefak Wali Songo sangat sulit. Hal ini karena faktor keamanan terhadap nilai peninggalan sejarah para wali penyebar agama Islam itu.

Kendala lain yang membelit adalah persoalan administrasi. Hingga saat ini belum ada persetujuan dari keluarga keturunan Wali Songo sebagai ahli waris pemilik peninggalan. Bahkan ada keluarga keturunan wali sejumlah yayasan Wali Songo yang menolak dengan alasan tengah mempersiapkan pameran khusus artefak pada acara haul wali.

"Seperti keluarga Sunan Drajat dan Sunan Giri, dalam bulan ini juga akan mengadakan haul. Jadi benda-benda peninggalan milik Sunan Drajat dan Gunung Giri tak ikut dipamerkan dalam Festival Wali Songo," kata koordinator acara pentas seni dan budaya, Achmad Suyanto kepada Republika.

Seandainya tak akan menggelar haul sendiri, kemungkinan besar mereka juga akan ikut meramaikan festival di Surabaya ini. Suyanto juga menampik bila dikatakan, pihak panitia tak menghubungi atau minta doa restu pada keluarga dalam kegiatan yang mencatut nama Wali Songo. "Panitia sudah menghubungi. Itu karena mereka memiliki hajat sendiri hingga mereka tak ikut festival," papar Suyanto serius.

Dari sembilan wali yang ada, yang tak mengikuti pameran adalah Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria. Untuk Sunan Gunung Jati dan Sunan Muria, pihak keluarga merasa kesulitan untuk pengurusan administrasi. Mengingat membawa barang peninggalan, terlebih peninggalan Wali Songo itu memang tak mudah.

"Ketentuannya memang harus ada musyawarah dan mengurus surat-surat bila dipindahkan ke tempat lain. Jadi kendala itu yang terutama tak bisa diatasi. Sehingga, panitia tak bisa memaksa mereka untuk datang dalam festival," ungkapnya.

Pada awalnya artefak Wali Songo yang hadir hanya milik Sunan bonan saja. Benda itu pun kurang signifikan mewakili kentalnya syiar Islam, yang dilakukan Sunan Bonang di masa silam. Peninggalan itu hanyalah Yoni Bulat, Kemunicak, Relief Orang Semedi, Piring Keramik Bertulis Arab, Tiang Penyangga, Nisan Huruf Arab, dan Condro Sengkolo.

Namun demikian di minggu kedua ini, diharapkan ada tambahan benda-benda bersejarah peninggalan Wali Songo sudah berada di ruang pameran, Balai Budaya, Surabaya. Yang akan datang antara lain artefak Sunan Kudus, Sunan Ampel, Sunan Maulana Malik Ibrahim, dan Sunan Kalijaga. Peninggalan milik kelima wali ini yang dipamerkan umumnya senjata pedang.

Pameran artefak juga dihiasi dengan benda bersejarah dari manca negara, yakni anggota OKI. Benda itu adalah pedang duplikat Nabi SAW, yaitu pedang Dzul Faqor (pedang bercula dua milik Raja Ibnu Saud dari Saudi Arabia). Pedang ini berukuran 1,25 meter terbuat dari platina dengan gagang pegangannya terbuat dari campuran emas dan perak.

Masih dalam ruangan Balai Budaya Surabaya terdapat pula benda-benda peninggalan lainnya. Di antaranya adalah Alquran berukuran super mini dari Istambul, Alquran berusia 1030 tahun dengan kata pengantarnya berbahasa Perancis dan Arab. Sedangkan peninggalan dari tanah air adalah ukiran kaligrafi Surat Yasin hasil karya pemahat Muhammad Harun Abdul Ghani Umar, warga Mantingan, Kabupaten Jepara (Jateng). Belum lagi Gebyok (dinding tembok dari kayu) bertuliskan huruf Arab terbuat 300 tahun lalu dari Sumenep, Madura. 

Animo masyarakat umum untuk melihat benda-benda bersejarahkan Islam itu pun terlihat amat besar. Kendati, untuk bisa melihat benda-benda sejarah Islam ini harus dikenai karcis masuk sebesar Rp 1.000 per orang. Faktanya, Balai Budaya Surabaya yang jadi tempat pameran ini tak pernah sepi semenjak Festival Wali Songo digelar.

"Karcis yang terjual sekitar 3.500-4.000 lembar per hari. Jadi sangat besar minat warga masyarakat yang ingin melihat peninggalan Islam pada zaman kehidupan Wali Songo itu," urai Suyanto.

Malahan untuk hari Minggu, lanjut Suyanto, pameran artefak ini mampu menyedot pengunjung sekitar 10.000 pengunjung. Hasil penjualan karcis pameran artefak ini mampu menyumbangkan pendapatan sekitar Rp 5-10 juta.

Selain pameran artefak, yang menjadi 'maskot' Festival Wali Songo adalah pagelaran seni dan budaya Islami. Yang mengikuti umumnya kalangan pesantren dan kelompok seni yang peduli terhadap dakwah Islam. Setiap malam kegiatan pentas seni budaya ini nyaris digelar setiap hari. Memang panitia tak menjadwalkan pertunjukan seni secara rutin setiap hari.



Sumber: Republika, 9 Juli 1999



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...