Pada abad ke-18, tercatat nama sastrawan besar Raja Ali Haji yang karya-karyanya sarat dengan muatan sejarah sehingga menarik perhatian banyak kalangan, termasuk sarjana asing untuk dijadikan bahan studi. Salah satu karyanya yang cukup terkenal adalah Tuhfat al-Nafis yang ditulisnya bersama dengan ayahnya, Raja Ahmad Haji. Tuhfat al-Nafis merupakan epik penting tentang sejarah Bugis di dalam Kesultanan Malaka.
Sesuai dengan latar situasi yang dialami Raja Ali Haji pada masa itu, tak mengherankan jika tema Tuhfat al-Nafis erat berkaitan dengan hukum dan peperangan; dan secara sangat mengesankan ia mengangkat sejarah tentang kiprah orang Bugis di Kalimantan, Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaka pada abad ke-17 dan abad ke-18. Selain itu, Tuhfat al-Nafis juga berisi silsilah raja-raja Melayu, Bugis, Siak, Johor, sampai didirikannya Singapura oleh Raffles. Setiap peristiwa disertai tarikh dan juga sumber-sumber yang digunakannya.
Dari perspektif sejarah, apa yang membuat Tuhfat al-Nafis sebagai karya sastra dengan bobot sejarah? Buku ini menguraikan secara detail babakan-babakan sejarah sejak diterimanya Gubernur Jenderal VOC di Batavia dan menggelar manuver-manuver politiknya, bagaimana dakwah Islam (khususnya hukum dan peradilan) berkembang di Riau dan Johor, serta upaya tak kenal lelah menciptakan keamanan kawasan.
Secara esensial, Tuhfat al-Nafis berisi cerita tentang hubungan raja-raja Melayu dan Bugis dalam mengembangkan kerja sama dagang dan keamanan serta cara-cara negara asing (Portugis, Belanda, Inggris) menjajah dan menguasai Melayu, dengan politik adu-domba dan bantuan militer/senjata (RAH 1-4).
Tema-tema tersebut dikemas oleh Raja Ali Haji dalam nuansa agamis dan nuansa lokal dalam gaya yang tidak seperti dongeng. Selain tercermin jelas dari isi pesannya, hal itu juga tercermin dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita seperti Sultan Mahmud, Sultan Abdul Jalil, Raja Seri Teri Buana, Daeng Parani, dan sebagainya. Juga tercermin dari gelar-gelar yang diberikan kepada para tokoh seperti: Paduka Seri Maharaja (Damiya Raja; RAH 3:11), saksi di jalan Allah (Yang Dipertuan Muda Raja Haji; RAH 32:1), semoga Allah melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan atasnya (Nabi Muhammad; RAH 5: 11), Sultan Muzaffar Syah (Raja Kasim; RAH 6:11).
Pada bagian pembukaan, Raja Ali Haji yang nama lengkapnya Raja Ali Haji bin Haji Ahmad bin Yang Dipertuan Muda Raja Syahid fi Sabili-Lahi Ta'ala, mengawali tulisannya dengan puja-puji kepada Allah serta salawat dan salam kepada Muhammad dan pada bagian lain ia bercerita kerap dengan menyelipkan ayat-ayat suci Alquran. Jika kita perhatikan uraian cerita dalam paragraf demi paragraf, dapat dengan mudah tertangkap nasihat-nasihat agama dan pendidikan moral. Raja Ali Haji yang konon pengikut tasawuf Naqsyabandiyah menggunakan karyanya ini sebagai media untuk menjalankan tugas keulamaan. Islam, seperti yang tersurat dalam karya sastra ini, dianut secara konsekuen oleh tokoh-tokoh yang terlibat dalam kisah sejarah yang diangkat Raja Ali Haji itu. (Hukum) Islam diamalkan oleh masyarakat dan juga diterapkan dalam tata negara. Dari aspek kesejarahan, hal ini memberi gambaran yang jelas, bahwa pada masa itu pengaruh Islam begitu kuat dalam kehidupan masyarakat.
Bagi Raja Ali Haji, ketidakharmonisan dalam suatu negara timbul tatkala seseorang berupaya mengikuti kemauannya sendiri bukan mengikuti hukum Allah. Baginya, catatan sejarah sebagai sarana mengabadikan perilaku penguasa harus dijadikan pelajaran bagi umat manusia pada masa kini dan petunjuk bagi generasi mendatang.
Ada hal yang menjadi keistimewaan Tuhfat al-Nafis (Maman S. Mahayana, Suara Karya No. 759-XV). Pertama, buku ini diawali dengan puji-pujian, mengagungkan kebesaran Allah dan salawat kepada Nabi Muhammad. Buku ini sarat dengan pesan-pesan agamis (Islam), dan berbobot sejarah, sangat anti penjajahan (waktu itu bergantian Malaka dijajah oleh Portugis, Belanda, dan Inggris). Kedua, penulisnya secara baik telah menerapkan metoda dan teknik leksikografis bertradisi Arab yang berasal dari metode al-Khalil abad ke-8. Ketiga, di bagian lain Raja Ali Haji menggunakan metode Kuffa yang dipelopori al-Syaibani yang sezaman dengan al-Khalil. Kedua metode tersebut dikombinasikan dengan penyesuaian pelafalan ejaan Melayu.
Ringkasan Tuhfat al-Nafis
Diceritakan dalam buku Tuhfat al-Nafis bahwa Kerajaan Bugis pernah mengalami kejayaan yang ditandai dengan ekspansi pengaruhnya ke Johor, Kelang, Selangor, Riau, dan sampai ke Semenanjung Malaka. Kerajaan Bugis jatuh bangun sepanjang abad ke-18 ketika penjajah Belanda mendirikan VOC menyusul terdepaknya kekuatan Portugis di Malaka oleh kekuatan gabungan Belanda-Johor. Demi kepentingan politik dan ekonominya, Belanda melalui VOC mengobarkan permusuhan Malaka-Bugis serta menerapkan politik adu-domba dan pemberian bantuan militer (senjata).
Sejak akhir abad ke-17 secara bergelombang kelompok orang Bugis telah mulai bergerak ke barat untuk mendapatkan daerah di mana mereka bisa membangun tempat hunian yang permanen. Jumlah mereka semakin lama semakin membesar sehingga lahirlah koloni-koloni Bugis di pantai tenggara dan barat Kalimantan dan juga pantai barat Semenanjung Malaka. Pada tahun 1710, sudah terbentuk masyarakat Bugis di kawasan Johor: Lingga, Kelang, dan Selangor. Sejak itu pemerintahan Belanda di Malaka merasa cemas terhadap ancaman dagang dan militer dari masyarakat Bugis yang tersohor dengan kemampuan tempurnya. Akhirnya, Belanda menyerang masyarakat Bugis dengan dalih mengusir "pengembara gelandangan dan bajak laut". Serangan Belanda ini ditentang oleh para penguasa Malaka yang sudah merasakan manfaat dari kelebihan orang Bugis sehingga timbullah pertentangan di antara mereka.
[] mohammad shoelhi
Sumber: Republika, 1 Februari 1999
Komentar
Posting Komentar