Ketika Republika menghubungi seorang kenalan di Banjarnegara, Jawa Tengah ihwal rencana meliput HUT ke-92 SI (Syarikat Islam) di Alun-alun "Kota Gilar-Gilar" ini, kawan itu justru keheranan. "Lho, masih hidup tho, Syarikat Islam? Saya kira sudah mati," ucapnya serius.
Tentu itu pertanyaan yang menyiratkan kian kurang dikenalnya organisasi yang pernah mengharubirukan perpolitikan nasional zaman Hindia-Belanda. Pertanyaan serupa muncul pula dari sejumlah aktivis ormas Islam yang sempat ditemui Republika dalam perjalanan ke kota itu.
Agaknya, hanya di Banjarnegara lah SI punya pengaruh cukup besar. Ini diakui sejumlah fungsionaris DPP SI yang dikonfirmasi Republika di sela-sela acara itu. Jumlah anggota SI sendiri, tutur Sekretaris Panitia Nasional ke-92 SI, H Barna Soemantri, kini sekitar 3,6 juta orang. Jumlah anggota yang relatif tak terlampau besar dibandingkan misalnya NU atau Muhammadiyah.
Perhatian media massa juga tak banyak. HUT SI tingkat nasional yang dihadiri sekitar sepuluh ribu orang itu hanya diliput tiga wartawan lokal dari tiga koran daerah di Jawa Tengah dan DIY. Hanya Republika yang secara khusus datang dari Ibukota.
Malahan, salah satu rekan wartawan itu mengatakan bahwa banyak anggota SI di Banjarnegara yang terlantar, menjadi "anak asuh" dalam pengajian-pengajian NU dan Muhamadiyah. Demikian pula, pejabat yang hadir dalam acara itu hanya Sekjen Depag, Bupati Banjarnegara, dan sejumlah pejabat Kanwil Depag Jawa Tengah.
Lantas, inikah tanda-tanda bahwa dalam usianya yang ke-92 tahun, SI seperti orang tua yang terlupakan oleh anak cucunya sendiri?
***
Harry J Benda, dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Bawah Pendudukan Jepang (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), menilai kebangkitan gerakan muslim modern (pembaru) di Indonesia merupakan salah satu perkembangan politik terpenting yang nantinya akan berdampak besar atas sejarah politik Indonesia.
Penilaian Benda itu terbukti dalam sejarah. Yakni, setelah Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) 16 Oktober 1905 di Solo, lalu disusul KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta, ternyata kedua organisasi tersebut punya pengaruh besar bagi tumbuhnya pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Terutama munculnya SDI--yang lalu mengubah diri menjadi Syarekat Islam (SI) pada 1911--patut dicatat, sebab mendahului kemunculan organisasi priyayi Jawa, Budi Utomo (BU), pada 20 Mei 1908. Belakangan munculnya BU dianggap menjadi titik awal kebangkitan nasional Indoesia, dan tiap tahun tanggal lahirnya dirayakan sebagai hari kebangkitan nasional.
Sejalan dengan pendapat Benda tapi berbeda dari anggapan resmi, Pendeta Victor I Tanja malah menilai SI sebagai gerakan kebangsaan pertama di Indonesia. Sehingga, menurut Tanja dalam bukunya Himpunan Mahasiswa Islam, Sejarah dan Kedudukannya di Tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1982) ini, kelahiran SI-lah yang mestinya menjadi tonggal awal kebangkitan nasional kita.
Anggapan Benda dan Tanja sebenarnya tidaklah berlebihan. Sebab, nyatanya memang banyak pemimpin pergerakan nasional kita--baik yang kemudian tersingkir maupun yang mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan--merupakan anak asuh sekaligus mendapatkan inspirasinya dari pemimpin kharismatis SI, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Mereka antara lain adalah Soekarno yang pada 1927 mendirikan Partai Nasional Indonesia, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo yang lalu mengibarkan bendera separatisme lewat Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, dan Muso, pemimpin Partai Komunis Indonesia yang memberontak pada 1948 dan terkenal sebagai PKI Madiun, yang merupakan jelmaan dari SI-Merah. Ketiganya pernah tinggal satu kos di rumah HOS Tjokroaminoto sekaligus berguru kepadanya.
***
Ketika pertama kali muncul dalam panggung perpolitikan nasional, SI mendapat sambutan luar biasa. Pasalnya, SI bergerak dalam kancah politik-ekonomi Islam yang mengecam keras kolonialisme dan imperialisme Belanda, serta dominasi ekonomi kelompok Timur Asing.
Bahkan, ketua umumnya, HOS Tjokroaminoto kemudian menjadi mitos ratu adil yang dipercaya kebanyakan masyarakat sebagai sosok pembebas yang bakal membawa zaman keemasan, zaman adil makmur, bagi kaum bumiputera.
Namun, ketika organisasi-organisasi politik lain seperti PNI, PKI, bermunculan, Syarekat Islam makin hari kian kehilangan pamornya. Terlebih ideologi sosialisme Islam yang mereka tawarkan tidak mempunyai kerangka praksis yang jelas.
Ditambah kaum radikal SI yang lalu membentuk SI-Merah dan selanjutnya PKI, serta munculnya partai Islam lain yang lebih atraktif seperti Masyumi atau NU yang punya basis massa turun temurun, PSII makin lama kian terpinggirkan.
Maka, tak enak, kala berdiri Partai Islam Masyumi pada 7 November 1945, Syarikat Islam yang sudah berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia, sempat bergabung ke Masyumi sebelum berpisah lagi pada 1947.
Demikian pula dalam Pemilu 1955 dalam Pemilu 1971 misalnya, posisi PSII harus puas sebagai partai Islam gurem.
Dan ketika partai-partai Islam pada era Orde Baru difusikan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, Syarikat Islam pada 1973 mundur meninggalkan kehidupan politik praktis sepenuhnya. Aktivitasnya pun hanya bergerak dalam lapangan dakwah, pendidikan, dan ekonomi. Sayangnya, kiprah ini juga tak banyak terdengar gaungnya.
Tidak berbeda dengan organisasi induk, organisasi pemuda SI, Pemuda Muslim, yang berseragam merah darah dengan lambang kaligrafi bulan bintang di lengan atau dadanya juga tak banyak dikenal. Akibatnya, ketika berlangsung acara HUT ke-92 SI di Alun-alun Banjarnegara pekan lalu, banyak yang mengira para aktivis Pemuda Muslim itu sebagai aktivis PDI atau Pemuda Pancasila.
***
Agaknya, sulit bagi simpatisan SI memahami doktrin sosialisme Islam yang jadi komitmen organisasi hingga kini. Kendati Ketua Umum SI Taufiq Tjokroaminoto mengakui hal itu masih menjadi komitmen SI, namun dirinya pun sulit memberi jawaban memuaskan ketika Republika menanyakan, bagaimanakah operasionalisasi doktrin sosialisme Islam itu.
Yang jelas, katanya, SI tetap konsisten mengkritik kapitalisme. Lalu apa alternatifnya dalam dataran praksis? Perbanyak dan perkuat koperasi-koperasi, jawabnya.
Tentu saja, jawaban Taufiq boleh dibilang menyederhanakan persoalan ketika kita berkaca pada perekonomian yang kian kompetitif dan mengglobal ini. Lebih dari itu, hal tersebut juga menunjukkan bahwasanya SI saat ini tidak saja mengalami krisis popularitas dan pendukung, tapi juga krisis ideologi dan doktrin. Maka, tak heran jika SI makin hari makin terlupakan. [] jarot doso purwanto
Sumber: Republika, 31 Oktober 1997
Komentar
Posting Komentar