Langsung ke konten utama

Partai-partai Politik Masa Pergerakan (3) Nafas Terakhir Kolonial Belanda

Oleh Agus Sopian

GUBERNUR Jenderal De Graeff marah besar. Dalam kondisi begini, ia terperangkap ke dalam emosi-emosi yang tidak sepenuhnya terkontrol. Aura kearifannya pelan-pelan mulai berkurang, dan dia menjadi pemberang. De Graeff berang pada keadaan, pada kaum pergerakan, juga pada tersangka pelaku Pemberontakan 1926.

Di ujung keberangannya, ia mengambil keputusan khas penguasa yang terjerembap ke dalam animosity. Tak heran bila kemudian, misalnya, dia mengirimkan para tersangka itu ke 'tempat peristirahatannya' masing-masing: sekitar 4500 orang dikirim ke balik jeruji besi, 1300 ke Digul, 4 orang dikirim ke liang kubur.

Kebijakan Graeff yang pada akhirnya miring ke politik reaksioner dan represif, itu tentu saja menimbulkan rasa sebal buat sebagian kaum pergerakan, hingga beberapa di antara menceburkan ke kubangan radikalisme politik. Partai Nasionalisme Indonesia (PNI), berada di dalamnya.

Di bawah kendali Soekarno, seorang insinyur brilian--yang terpilih dalam Kongres I (27 - 30 Mei 1928) di Surabaya--PNI secara terang-terangan meminta Belanda untuk hengkang dari Bumi Pertiwi. Bagi PNI, untuk memperbaiki kerusakan struktur sosial, ekonomi, dan politis Indonesia, bangsa Indonesia harus memiliki kemerdekaan politik. Kemerdekaan politik, berarti berhentinya pemerintahan kolonial Belanda.

Retorika-retorika PNI yang pedas, segera menarik perhatian banyak kalangan. Tak hanya partai-partai politik independen yang menawarkan kerja sama, gerakan-gerakan pemuda pun--yang umumnya bertemperamen meledak-ledak--pun memilih untuk mem-back up manuver-manuver politik PNI. Tak heran kalau kemudian PNI dapat dengan mudah mempengaruhi Kongres Pemuda Indonesia II pada 26 - 27 Oktober 1928, untuk membentuk Indonesia Muda sebagai wadah utama perkumpulan-perkumpulan pemuda. Tak heran pula kalau PNI dapat mempengaruhi para pemuda untuk mengucapkan sebuah sumpah yang amat terkenal, Sumpah Pemuda.

Eksistensi PNI kian mencemaskan pemerintah kolonial. Berulang kali Belanda melancarkan propagandanya agar mewaspadai ekstremitas PNI. Sikap non-koperasi yang diperlihatkan PNI, seru kolonial, jelas-jelas menunjukkan bahaya permusuhan, dan karena itu pemerintah bisa mengamankan mereka kapan saja, sesuai prosedur yang berlaku. Walaupun menghadapi peringatan dan ancaman-ancaman, PNI jalan terus. Cabang-cabang PNI tumbuh bak cendawan di musim hujan. Puluhan ribu orang masuk ke dalamnya.

Lebih-lebih sejak Kongres II, pada 18 - 20 Mei 1929, pertumbuhan anggota nyaris sulit untuk diinterupsi. Bahkan, selain pertumbuhan kuantitatif, PNI secara evolutif merancang pertumbuhan kualitatif melalui berbagai kursus pimpinan, klub diskusi, dan pertukaran studi antar organisasi pergerakan yang ada saat itu. Lagi-lagi pemerintah tambah cemas. Maka, pada 9 Juli 1929, kolonial Belanda secara terang-terangan menyatakan kecurigaannya pada organisasi politik yang berbasiskan Marhaenisme itu. Kurang lebih sebulan kemudian, secara eksplisit pula pemerintah mengeluarkan ancaman-ancamannya. Ancaman ini ternyata bukan isapan jempol.

Pada 29 Desember 1929, Soekarno--yang kelak menjadi Presiden RI Pertama--diamankan ketika tengah berkongkow-kongkow dengan sejawatnya di Yogyakarta, lalu diboyong ke Bandung. Sebelumnya, pemerintah pun menangkapi sejumlah orang-orang PNI. Alasan penangkapan itu simpel saja: PNI akan berbuat makar pada awal 1930-an, dengan mengerahkan massa untuk melakukan pemberontakan fisik.

Di depan majelis hakim, di Bandung, Soekarno--bersama rekan-rekan seperjuangannya, tercatat Soepriadinata (anggota PNI Bandung), R Gatot Mangkoepraja (Sekretaris II PB PNI), dan Markoen Soemadiredja (Sekretaris II PNI Bandung)--mempertanggungjawabkan perbuatan dan tindakan-tindakannya pada 18 Agustus 1930 hingga 29 September 1930. Pengadilan ini, sekaligus melambungkan nama Soekarno. Lebih-lebih setelah Putra Fajar ini mengucapkan pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat.

Pengadilan dan hukuman atas tokoh-tokoh PNI, terutama Soekarno, sang motor penggerak massa itu, tak ubahnya seperti palu godam yang bertubi-tubi menghantam PNI. Buntutnya, PNI pun bubar. Buntutnya lagi, eksponen PNI terpecah jadi dua: Sartono dkk mendirikan Partai Indonesia (Partindo), lalu Moh Hatta dan Sutan Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru).

Menurut sebagian sejarawan, perbedaan keduanya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan persoalan pembaharuan sosial. Mereka tetap berpijak pada sebuah kontemplasi, bahwa kemerdekaan politik adalah tujuan perjuangan utama yang harus dicapai dengan taktik nonkoperasi. Hanya saja, dalam modusnya, mereka berbeda: PNI-Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan sosial, Partindo percaya bahwa organisasi massa dengan aksi massa adalah senjata yang tepat untuk mencapai kemerdekaan.

Apa pun, kedua organisasi itu nyaris tak dapat berbuat banyak dalam melancarkan advokasinya. Situasi politik yang amat kolot, represif, dan tiran itulah barangkali penyebab utamanya. Situasi seperti ini sangat mungkin berhulu pada figur pimpinan pemerintahan, de Jonge, yang baru saja diangkat menggantikan De Graeff--yang ternyata amat reaksioner, amat menindas. Ia tampil seperti seseorang yang melihat genderuwo di siang bolong, cepat panik, emosional, dan tak dapat mengontrol diri.

Tanpa ragu dan malu-malu, de Jonge memainkan skenario politik main kayu. Orang-orang dilarang berkumpul dan berapat, pegawai-pegawai dilarang menjadi bagian dari kegiatan ekstrim dan radikal. Lantas, terhadap mereka yang dianggap keterlaluan, de Jonge tanpa sungkan-sungkan memberi hadiah hotel prodeo atau membuangnya ke Endeh, Digul, atau ke mana saja yang dia suka.

Untuk mengamankan kebijakannya, de Jonge antara lain menciptakan Toezicht Ordonnantie (Ordonasi Pengawasan), yang dapat menolak izin untuk menyelenggarakan pengajaran, jika dipandang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Peraturan ini tentu saja melahirkan kontroversi. Tapi, pemerintah jalan terus--meskipun pejabat sangat hati-hati dalam mengejawantahkannya.

Di bawah tekanan politik de Jonge, gerakan non-koperasi kehilangan energi, bahkan lumpuh. Mereka yang berhaluan pragmatis, segera menjalankan politik ko-operasi. Pada fase ini, muncul Petisi Sutardjo (1936). Isinya, mengusulkan agar Indonesia berdiri sendiri tetapi tidak terlepas dari kerja sama dengan Belanda.

Petisi itu yang menghebohkan ini diemohi Belanda. Sebelum Belanda benar-benar menegaskan tekadnya, kaum pergerakan mencoba berdaya upaya dengan membentuk Central Comite Petisi Sutardjo (CCPS), pada 4 Oktober 1937. Di sini ditampung pelbagai aspirasi yang berkenaan dengan petisi itu. CCPS pun mengajak partai-partai untuk menentukan sikap atas petisi tersebut, dengan mengadakan suatu konferensi di Jakarta, pada 27 - 29 Mei 1939.

Tapi, gayung tak bersambut. Pasalnya, pada saat yang sama, beberapa partai politik bermaksud menggulirkan Nationale Concentratie, yang kemudian menghasilkan pembentukan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Sejarah kemudian mencatat, Petisi Sutardjo kehilangan gaung dan tenggelam begitu saja.

Petisi hilang, muncul tuntutan Kongres Rakyat Indonesia yang dikoordinir GAPI. Organisasi ini menetapkan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu kebangsaan. Selain itu, ditetapkan juga peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia. Pernyataan GAPI sebenarnya sudah menyerempet bahaya bagi kolonial Belanda. Untungnya saja GAPI lolos dari jerat hukum positif. Kondisi ini dimungkinkan sebab Belanda sendiri sudah tak berdaya menghadapi serbuan Jerman.

Tapi, dasar kolonial, meski dalam keadaan terjepit, Belanda masih mampu memamerkan gigi-gigi kekuasaannya: selain memperketat izin-izin penyelenggaraan rapat, rakyat pun dibebani oleh kewajiban bela (inheemse milite). Terlambat! Jepang keburu datang. Belanda, yang menganggap dirinya sebagai negara besar, beradab, berkuasa--dan karenanya 'berhak dan berkewajiban' untuk menjajah bangsa lain--akhirnya menyerah kalah, setelah diserang Jepang tidak lebih dari seminggu. Penyerahan singkat Belanda ini tampaknya bisa dijelaskan oleh 'Teori Suruga'.

Fukuzawa Yukichi, cendekiawan pembaharu di masa Restorasi Meiji, Jepang, yang juga dikenal sebagai pendiri Universitas Keio, sempat bercerita tentang negeri Suruga, ketika bangsa Jepang berada dalam masa perbegu.

Dalam salah satu karya reflektifnya--Gakuman No Susume (Himbauan untuk Belajar), yang belakangan diterbitkan dengan judul Jepang: Di Antara Feodalisme dan Modernisme--Fukuzawa bertutur, betapa negeri Suruga itu tiba-tiba habis tanpa bekas dalam tempo singkat, setelah digempur oleh Oda Nobunaga, seorang panglima perang entah dari negeri mana. Kekalahan singkat ini kontan menempatkan Suruga sebagai salah satu contoh kegagalan sistem feodal ala state society dan bukan civil society.

Dalam negara yang memiliki pola anut sistem semacam itu, sejatinya masyarakat terpilah ke dalam dua golongan besar. Fukuzawa menyebutnya golongan penguasa dan golongan penumpang. Golongan penguasa adalah sosok yang seolah-olah penuh keteladanan, kearifan, full speed power, dan karenanya hadir sebagai pancaran filosofi "Wahyu Makutha Rama". Sementara golongan penumpang adalah kelompok mayoritas yang dikesankan pandir, gegabah, lemah, sumber segala kesialan.

Kedua golongan tersebut ujung-ujungnya melahirkan suasana mental yang kontradiktif: golongan penguasa bermental "Gusti Sinuwun", dan penumpang bermental "Sumuhun". Untuk sebuah negara, struktur mentalitas model begini, mungkin akan melahirkan birokrasi yang mapan, aman, stabil, dan terkendali.

Ke-Gusti-Sinuwun-an penguasa bisa menekan warga untuk selalu taat aturan. Hanya saja, warga belum tentu memiliki sense of belonging atas negara, di mana mereka berpijak. Mereka hanya mampu tampil sebagai 'isi oplet si Doel' yang cuma meminta disopiri untuk diantarkan ke sebuah tempat yang ditujunya. Mereka tampil dalam kosmologi robot-robot di bawah kendali remote control.

Dan, ketika remote control itu rusak, para robot ini pastilah akan kehilangan dinamika, diam seribu bahasa, sumuhun, mangga wae. Mereka hidup tanpa posisi tawar.

(habis)

* Agus Sopian, wartawan Bandung Pos yang banyak meliput masalah politik dan hankam.



Sumber: Bandung Pos, 16 Agustus 1996



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...