Sore itu, jarum jam tertuju ke angka 17.30 WIB. Di bawah cuaca yang terbungkus mendung, sekitar 7.000 warga kota Bandung bergerak perlahan menyusuri hawa dingin yang mencucuk tulang. Di pundaknya, buntalan besar bergelantungan. Sesekali mata mereka berpaling ke belakang.
Tak ada ucapan selamat tinggal bagi rumah, kebun dan sawah yang beberapa jam lagi bakal berubah menjadi bola api kendati keyakinan untuk mempertahankan tanah tumpah darah begitu jelas terpancar dari raut wajah mereka.
Waktu terus berputar. Arak-arakan ini pun terus beringsut ke selatan. Di Jalan Cigereleng (sekarang Jalan Moh Toha), iring-iringan penduduk menyatu, membentuk antrean panjang yang makin menyemut.
Tepat pukul 21.00 WIB tiba-tiba bumi laksana pecah ketika terdengar suara dinamit menggelegar dari sudut Alun-alun Bandung. Ledakan dahsyat ini kemudian disusul oleh ledakan lainnya di seluruh penjuru kota.
Menit berikutnya, kota Bandung pun berkobar dahsyat tak ubahnya lautan bara. Bola api terus merembet ke Cicadas. Dari sana, api menjalar ke timur sampai Ujungberung, ke utara hingga Cihaurgeulis dan ke selatan mencapai Kiaracondong serta Kebongedang. Bandung benar-benar menjadi api unggun raksasa yang mengepulkan asap tebal ke angkasa!
Dan penduduk pun bersorak sorai menyambut peristiwa tersebut. Tak ada jerit minta tolong atau ucapan bernada penyesalan dalam kejadian ini, karena penduduk benar-benar menyerahkannya secara ikhlas.
Itulah detik-detik peristiwa Bandung Lautan Api (BLA). Keyakinan untuk membumihanguskan harta benda ketimbang menyerahkannya bulat-bulat kepada penjajah, memang menjadi roh bagi perjuangan tentara dan rakyat Bandung dalam mempertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah mereka.
Waktu peledakan dinamit yang menandai pembumihangusan kota Bandung oleh tentara Republik sebetulnya di luar harapan karena pelaksanaannya lebih cepat tiga jam dari waktu yang ditentukan. Mestinya, peledakan dinamit di Alun-alun Bandung dilakukan pukul 24.00 WIB sesuai batas ultimatum.
Namun letusan senapan mesin sebelum batas waktu yang ditentukan habis, ternyata telah mengacaukan rencana itu. Praktis pembumihangusan kota dan pengungsian penduduk tidak berlangsung secara teratur. Bahkan saat pembumihangusan kota dilaksanakan, sebagian penduduk baru beranjak dari batas kota. Toh secara keseluruhan, pembakaran kota Bandung dalam rangka mencegah invasi NICA berlangsung sukses.
Wapres dan Filateli
Tanggal 23 Maret ini, untuk yang kesekian kalinya peristiwa BLA diperingati dengan prosesi long march napak tilas sejauh kurang lebih 15 km dari Monumen BLA di Lapangan Tegallega hingga ke Dayeuhkolot. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, peringatan BLA tahun ini bisa jadi merupakan yang paling semarak dan menempati porsi tersendiri.
Soalnya, napak tilas yang menjadi ciri khas peringatan perjuangan rakyat Bandung melawan tirani penjajahan ini pun bakal dihadiri Wapres, Try Sutrisno yang akan menyerahkan langsung obor BLA dalam prosesi tersebut.
Tidak cuma itu. Peringatan BLA pun punya catatan tersendiri dalam pameran filateli remaja sedunia yang dilaksanakan di Bandung. Pameran filateli bertaraf internasional yang digelar di gedung PT Pos Indonesia dari tanggal 21 hingga 30 Maret itu memang berkaitan erat dengan peringatan peristiwa kepahlawanan rakyat Bandung dalam mempertahankan kemerdekaan pada tanggal 24-25 Maret 1946 yang dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api.
Masuknya BLA dalam agenda filateli jelas mengisyaratkan bahwa heroisme, ternyata tidak cuma bisa diwariskan lewat buku-buku sejarah atau "dongeng" semata. Melalui sekeping perangko, naluri heroisme juga bisa disentil, digugah, dirangsang, dipupuk, dan diestafetkan. Maka berbahagialah warga Bandung yang sempat menghirup masa-masa perjuangan 50 tahun silam dan kini bisa menyaksikan pameran filateli remaja sedunia "Indonesia '96".
Oleh karenanya, nilai perjuangan BLA dengan lagu Halo-halo Bandung-nya diharapkan tidak cuma dikenang, diabadikan, serta diwarisi dalam lingkup lokal atau nasional, melainkan juga bakal mampu bergema di seantero dunia. Pencabutan akar sejarah untuk ditempatkan dalam skala internasional ini tentu sangat beralasan mengingat BLA bukan simbol heroisme rakyat Bandung atau Jabar saja, tapi sudah menjadi lambang dan identitas perjuangan rakyat Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari cengkeraman penjajah.
Istilah Jurnalistik
Jarang sekali buku-buku sejarah yang mengupas asal muasal istilah BLA. Bahkan para pelaku sejarahnya pun tidak seluruhnya tahu persis lahirnya istilah tersebut.
BLA ternyata lahir dari istilah pers. Adalah wartawan perang Atje Bastaman yang mengabadikan pembumihangusan kota Bandung oleh para pejuang agar kota Bandung tidak jatuh ke tangan penjajah.
Atje yang meliput peristiwa besar tersebut, kemudian mengusulkan supaya Pemimpin Redaksi koran Suara Merdeka, Moh Kurdi yang berkedudukan di Tasikmalaya--setelah pindah dari Bandung--menurunkan berita utama dengan judul "Bandung Lautan Api". Kebetulan Moh Kurdi setuju. Maka istilah BLA pun melekat sampai sekarang.
Peristiwa BLA "dibidani" oleh kedatangan tentara Inggris Brigade Mac Donald Divisi 23 yang diboncengi pasukan Belanda di Stasiun KA Kebon Kawung pada tanggal 12 Oktober 1945. Mulai saat itulah, genderang perang mulai ditabuh di Bandung.
Dari pihak Republik, selain TRI (Tentara Rakyat Indonesia), pertempuran itu juga melibatkan BBRI (Barisan Benteng Republik Indonesia), Barisan Berani Mati, Lasykar Rakyat, Beruang Merah, Sabilillah, dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan tersebut memiliki pasukan tersendiri yang punya pengalaman selama perang dunia II, seperti AM (Angkatan Muda), AMKA, AMPTTT, AM-PU.
Mereka rata-rata bekas Heiho, Peta, Seinendan, Keibodan, Kaigun (AL), dan Junsa (polisi). Keandalan para pejuang Republik ini dibuktikan dengan keberhasilannya merampas seluruh logistik berikut senjata milik tentara NICA pada pertempuran 23 November 1945 di Jalan Garuda.
Kemenangan itu makin lengkap setelah 19 personel tentara Inggris asal India menyeberang ke Republik, lengkap dengan senjata, kendaraan, serta peralatan komunikasi. Ini mengakibatkan tentara Inggris makin terjepit di seluruh front palagan Bandung.
Adalah pasukan mortir Yon Beruang Merah pimpinan Abdullah Saleh yang mencecar musuh di bagian selatan, sementara pleton mortir Yon Bandung Utara (Sukanda Bratamanggala) membuat kewalahan pihak Inggris yang berkedudukan di bagian utara kota Bandung. Namun bukan berarti tentara Republik mutlak di atas angin. Sedikitnya 80 tentara kita tewas dalam pertempuran tersebut.
Karena kewalahan, Jenderal Mac Donald melalui ultimatumnya pada tanggal 29 November membagi dua kota Bandung dengan batas rel KA yang membelah kota itu. Kendati Inggris menduduki daerah utara, namun tentara kita tetap menguasai daerah pinggirannya, sekitar kawasan Cihaurgeulis, Reuma, Dago, dan lain-lain.
Tapi rupanya, diam-diam Inggris menggalang kekuatan. Tanggal 3 Desember 1945, pasukan kavaleri musuh yang dilengkapi tank menyerbu Gedung Sate. Dengan gigih, Pemuda PU yang dipimpin Didi Karmaga mempertahankannya. Karena kekuatan tak berimbang, Didi dan enam rekannya gugur dalam pertempuran itu.
Keberingasan tentara NICA tidak cuma sampai di situ. Musuh kemudian membombardir Pasar Cicadas secara membabi buta. Akibatnya, 335 rumah rata dengan tanah dan 16 orang Republik gugur. Ini belum termasuk 60 Tionghoa yang tewas. Saat itu juga, sekitar 8.000 penduduk mengungsi dari sana.
Diultimatum
Menghadapi kebrutalan Inggris, tentara Republik makin meningkatkan kekuatan serta gencar menyerang dan melumpuhkan setiap potensi kekuatan musuh. Kekuatan Republik yang terus meningkat menyebabkan Inggris mati kutu. Akhirnya musuh--melalui ultimatumnya--meminta kepada pemerintah pusat agar TRI dan pejuang bersenjata di Bandung mundur sejauh 11 km dari kota.
Para pejuang pun harus menerima kenyataan pahit dengan disetujuinya ultimatum tersebut oleh Perdana Menteri Syahrir yang menganggap musuh lebih kuat ketimbang tentara Republik. Tanggal 22 Maret, Syahrir mengutus Menteri Syafruddin Prawiranegara ke Bandung guna menyampaikan ultimatum Inggris itu.
Kendati begitu, Komandan Divisi III/TRI di Bandung, Kolonel AH Nasution beserta Komandemen TRI Jawa Barat, Jenderal Didi Kartasasmita berangkat ke Bandung Utara untuk meminta agar Inggris menunda atau membatalkan batas ultimatum bahwa TRI harus keluar dari kota Bandung paling lambat 24 Maret pukul 24.00 WIB seperti yang disetujui Syahrir.
Tapi perundingan yang dilangsungkan berkali-kali gagal membuahkan kesepakatan. Sepulang dari berunding, Kol Nasution dan Kapten Sugiharto mendapati sejumlah batok kelapa kering. Di situlah muncul ide untuk menjadikan batok kelapa sebagai bahan pembumihangusan kota Bandung. Apalagi ketika pulang ke pos komandonya, Nasution mendapat telegram dari MBT (Markas Besar Tentara) di Yogyakarta bahwa setiap jengkal tanah harus dipertahankan.
Namun demikian, Kol Nasution dihadapkan pada kebimbangan karena di satu pihak pemerintah pusat menghendaki ultimatum dilaksanakan, dan di pihak lain MBT memerintahkan agar TRI beserta lasykar perjuangan mempertahankan setiap jengkal tanah dari tangan penjajah.
Setelah berunding dengan para komandan dan pimpinan badan-badan perjuangan, akhirnya tercapai kesepakatan: tentara serta rakyat mundur, tapi Bandung dibumihanguskan! Maka keluarlah keputusan MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan). Isinya antara lain mencakup perintah keluar dari kota bagi pegawai dan rakyat sebelum pukul 24.00 WIB, dan perintah bumi hangus serta penyerangan posisi musuh di utara, termasuk pemindahan pos komando ke Kulelet di Dayeuhkolot.
MP3 juga memutuskan agar pemerintahan sipil mengungsi ke luar kota, masing-masing Keresidenan Priangan, Walikota, dan Jawatan Kereta Api pindah ke Garut, PTT ke Tasikmalaya, serta penjara Sukamiskin dipindahkan ke Yogyakarta. (Al Aziz)
Sumber: Suara Karya, 23 Maret 1996
Komentar
Posting Komentar