DORONGAN klasik bagi suatu invasi biasanya masalah ekonomi. Begitu pula dengan Jepang. Menurut Asiatic Land Battles: Japanese Ambitions in the Pacific yang ditulis oleh Trevor Nevitt Dupuy, seorang kolonel angkatan bersenjata AS, meskipun Jepang menjadi negara industri modern, namun negara ini kekurangan sumber bahan baku dan bahan mentah.
Karena itu, Jepang tidak bisa menghasilkan cukup banyak makanan buat memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya sebanyak 70 juta orang waktu itu. Untuk itu para pemimpin Jepang kemudian mulai melirik apa yang disebut "Kawasan Sumber Daya bagian Selatan" dari Asia Tenggara, yang berlimpah cadangan beras, dan bahan tambang seperti nikel, besi, emas, minyak, timah, serta sumber daya alam lainnya.
Namun kawasan ini kala (tahun 1940) itu masih diduduki sejumlah negara Barat. Inggris menduduki Myanmar, Malaysia, dan sebagian Kalimantan. Hindia Timur (Indonesia) dikuasai Belanda, Indocina oleh Perancis, dan Amerika Serikat memiliki Filipina.
Situasi di Eropa kala itu memberi kesempatan besar kepada Jepang untuk melakukan aksi militer ke kawasan yang kaya sumber daya alam ini. Perancis dan Belanda di Eropa tidak punya arti, karena telah ditaklukkan Jerman yang dipimpin Adolf Hitler. Sedangkan Inggris, angkatan lautnya lemah, dan sedang mati-matian mempersiapkan diri menghadapi invasi Jerman.
Sementara Rusia dan AS belum terlibat efektif dalam perang di Eropa. Rusia sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi Jerman, dan Armada Tempur Pasifik AS lebih kecil daripada angkatan laut Jepang. Jadi Rusia dan AS tidak mungkin berani mencampuri ambisi Jepang tersebut.
Dalam bulan September 1940, Jepang mulai melakukan sebuah pendudukan militer sistematik di Indocina yang diduduki Perancis. Perancis tidak memberi perlawanan berarti, karena tidak punya kekuatan memadai. Pada saat yang bersamaan, Jepang menandatangani sebuah persekutuan militer selama sepuluh tahun dengan Jerman dan Italia. Perjanjian itu disebut "Poros Tokyo-Roma-Berlin".
Pada tahun 1941 tepatnya bulan April Jepang membuat perjanjian kenetralan dengan Rusia. Langkah ini sebagai upaya Jepang untuk tidak memperbanyak musuh dalam perang. Sedangkan untuk mengontrol kawasan sumber daya bagian Selatan Jepang mengadakan perundingan diplomatik dengan AS. Ini dilakukan Jepang untuk menghindari perang dengan AS. Jepang mencoba mendorong AS agar mengakui hak khusus Jepang di seluruh kawasan Timur Jauh. Namun AS dengan tegas menuntut bahwa Jepang harus mengakhiri perangnya di Cina dan menghentikan semua ekspansi militernya lebih lanjut.
Presiden AS Roosevelt mengingatkan Jepang bahwa agresi militernya bisa menyebabkan negara ini harus berhadapan dengan AS. Dan ketika Jepang terus menduduki Indocina, Roosevelt kemudian menghentikan perdagangan AS dengan Jepang. Langkah Roosevelt ini memangkas sebagian besar pasokan minyak dan baja yang dibutuhkan oleh industri perang Jepang.
***
AKIBATNYA, bulan Oktober 1941, Perdana Menteri Jepang yang baru, Jenderal Hideki Tojo mulai merencanakan awal perang melawan AS. Pada saat itu kekuatan angkatan bersenjata Jepang 2,4 juta personel. Serdadu Jepang dilengkapi degan peralatan tempur yang baik, dan sebagian besar tentara tadi berpengalaman dalam medan tempur di Cina. Selain itu, Jepang juga melatih 3 juta orang sebagai tentara cadangan. Angkatan laut dan udara Jepang juga besar, efisien, dan siap tempur.
Sementara pasukan tempur gabungan antara AS, Inggris, dan Belanda hanya 350.000 personel. Dari jumlah itu hanya beberapa yang dilengkapi peralatan tempur memadai dan terlatih baik. Di samping kalah dalam jumlah personel militer, kapal perang dan pesawat tempur sekutu jauh lebih buruk ketimbang Jepang. Mesin-mesin perang sekutu sudah tua, kecil dan lambat. Di atas kertas Jepang jelas menang dalam segala hal.
Keunggulan militer Jepang di Timur Jauh ini digunakan untuk mengambil keuntungan. Dengan modal tersebut Jepang berencana menguasai kawasan sumber daya bagian Selatan dengan tiga rencana ofensif mendasar. Pertama dimulai dari menguasai Malaysia dan Singapura. Kedua memulai sesegera mungkin invasi laut dari Filipina. Dengan dua gerakan tadi, Jepang berharap bisa menusuk Jawa yang menjadi jantung pertahanan kekuatan Belanda di Hindia Timur. Jepang juga bermaksud menduduki Thailand sebagai sebuah basis untuk sasaran serangan ketiga, yakni menguasai Myanmar, Hongkong, dan Guam.
Rencana Jepang ternyata akurat. Dalam waktu relatif singkat, tentaranya berhasil menyapu bersih musuh-musuhnya dari Asia Tenggara. Untuk menguasai Indonesia, menurut Pasific Century: The Emergence of Modern Pacific Asia karya Mark Borthwick, Jepang hanya membutuhkan waktu sembilan hari. Sementara Belanda membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun.
Dan, selama Perang Dunia II baik di medan tempur Eropa maupun Asia, jutaan manusia menjadi korban keganasan mesin perang yang digerakkan oleh dua kelompok bermusuhan--kelompok sekutu berkekuatan 46.871.000 personel melawan kelompok poros berkekuatan 21.695.000 personel.
Kelompok sekutu terdiri dari Australia, Belgia, Kanada, Cina, Denmark, Perancis, Yunani, India, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Uni Soviet, Uni Afrika Selatan, Inggris, Yugoslavia, dan AS. Sedangkan kelompok poros terdiri dari Bulgaria, Finlandia, Hongaria, Rumania, Italia, Jerman, dan Jepang.
Menurut catatan sejarah jumlah yang tewas akibat perang di Eropa dan Asia tersebut mencapai 16.699.775 dari kalangan militer, dan 3.360.595 orang (tidak termasuk korban di Cina) merupakan korban dari orang sipil. Militer yang tewas sebagian besar dari kelompok sekutu yakni 11.371.281 personel, sedangkan dari kelompok poros mencapai 5.328.494 personel.
Kengerian akibat perang masa lalu telah mendorong pemerintah koalisi berkuasa Jepang yang dimotori PM Tomiichi Murayama untuk membuat permintaan maaf dalam bentuk resolusi parlemen. Jepang yang punya andil besar dalam penderitaan rakyat di Asia akhirnya merasa perlu membungkukkan badan dan merendahkan hati untuk menyesali agresi militernya di masa di Asia.
(Krista R. Riyanto, dari beberapa sumber)
Sumber: Kompas, Tanpa tanggal
Komentar
Posting Komentar