Oleh HARYADI SUADI
Doengeng Djawa sedjak dahoeloe toeroen temoeroen mentjeritakan hingga mendjadi kepertjajaan oemoem: "Tentara jang maha sakti kelak akan datang dari Timoer," itoe boleh dikatakan telah mendjelma di alam ini, dan pintoe sedjarahpoen telah terboeka.
(Dikutip dari Majalah "Djawa baroe" 1 Maret 2603).
KENDATI pada masa itu ramalan Joyoboyo dan Sabdapalon telah dianggap paling cocok, namun masih terdapat hal-hal yang masih simpang siur yakni mengenai lamanya tentara Jepang tinggal di tanah air kita. Joyoboyo meramalkan "seumur jagung". Sedangkan Sabdapalon menetapkan "jangkep kawasan dasa warsi" yang artinya tepat empat puluh tahun.
Tentang makna dari "seumur jagung", pada masa itu banyak yang mengartikan sebagai berikut: Umur pohon jagung dari mulai ditanam sampai menghasilkan buah, adalah tiga setengah bulan atau seratus hari.
Dalam artikel "Berdirinya Republik Indonesia" (Majalah "Pantjawarna" Agustus 1964) yang ditulis oleh Pringgodigdo, SH, dikatakan, bahwa pada saat itu boleh dikata semua orang percaya lamanya Jepang tinggal di Indonesia hanya seratus hari. Oleh karena itu bangsa kita tidak begitu risau, terhadap datangnya tentara Jepang itu. Dan konon banyak orang yang ingin membuktikan tentang kebenaran dari ramalan tersebut, dengan cara menanam jagung di halaman rumahnya.
Akan tetapi setelah mereka menunggu tiga setengah bulan, belum tampak tanda-tanda Jepang akan meninggalkan negeri kita. Jagung yang mereka tanam, memang sudah berbuah. Namun "saudara tua" kita tampaknya semakin betah tinggal bersama "saudara mudanya".
Lebih lanjut diungkapkan oleh Pringgodigdo, bahwa orang-orang terpelajar pun percaya terhadap Joyoboyo. Mereka dengan tidak sabar menanti-nanti waktu seumur jagung itu. Mereka yakin, Jepang akan angkat kaki dari negeri kita, seratus hari lagi. Dan kemerdekaan yang mereka idam-idamkan, sebentar lagi bakal menjadi kenyataan.
Atas dasar keyakinan ini, maka di Jakarta pada waktu itu ada sekelompok orang-orang cerdik pandai yang telah mempersiapkan tibanya hari yang ditunggu-tunggu itu, secara sungguh-sungguh. Kelompok itu terdiri dari para tokoh politik dan pemimpin pergerakan serta pejuang kemerdekaan yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Sejak tentara Jepang mulai menguasai negeri kita, mereka ini mulai merencanakan membentuk badan pemerintahan Indonesia. Para pemimpinnya tercatat antara lain Abikusno Cokrosuyoso yang akan diangkat menjadi perdana menteri. Dan Bung Karno yang pada saat itu masih berada di Sumatera sebagai orang buangan, akan dijadikan wakilnya. Tetapi setelah seratus hari, balatentara Nippon masih bercokol di Indonesia, rencana Abikusno dan kawan-kawannya ini, terpaksa dibatalkan. Pada masa itulah banyak orang merasa kecewa, karena ramalan Joyoboyo ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya.
Kekeliruan terhadap makna "seumur jagung" ini, konon telah menjadi bahan perdebatan. Ada sebagian orang yang telah melecehkan terhadap ramalan yang asli buatan Jawa ini. Namun di samping itu tidak sedikit pula orang yang masih yakin, bahwa ketidaktepatan ini bukan karena kesalahan Joyoboyo, melainkan karena keliru dalam cara menafsirkan. Kemudian muncullah tafsiran baru tentang makna "seumur jagung". Yang dimaksud dengan kalimat itu, menurut mereka adalah bukan umur pohonnya, tetapi umur bijinya. Biji jagung sebagai bibit, bisa bertahan disimpan selama tiga setengah tahun. Sesudah itu biji tersebut akan rusak dan tidak bisa tumbuh lagi. Seperti kita ketahui, bahwa di masa penjajahan Jepang telah berlangsung selama tiga setengah tahun.
Sekalipun sudah ditemukan penafsiran yang tepat, namun masyarakat masih tetap bimbang. Mereka masih ragu-ragu terhadap tafsiran tiga setengah tahun, karena Sabdapalon dengan jelas meramalkan Jepang menjajah Indonesia selama "kawan dasa warsi" atau 40 tahun. Seperti halnya kata "seumur jagung", "kawan dasa warsi" pun akhirnya ada orang-orang yang bisa mengungkapkan maknanya. Menurut penafsiran mereka, yang dimaksud 40 tahun bukan lamanya Jepang menjajah Indonesia, tetapi masa berjayanya mereka di kawasan Asia. Nama dari Nippon tiba-tiba menggegerkan dunia, setelah berhasil mengalahkan Rusia pada tahun 1905. Sejak itulah Jepang mengalami masa jayanya dan dipandang sebagai negara terkuat di Asia. Namun masa keemasannya ini hanya bertahan 40 tahun, karena pada tahun 1945 Amerika telah berhasil melumpuhkan Jepang dengan bom atomnya.
"Tentara maha sakti datang dari Timur"
Di zaman penjajahan Jepang, ramalan Djintan sedikit demi sedikit dilupakan orang. Pihak Jepang pun agaknya sengaja tidak mengutik-utik kembali, karena isinya berlawanan dengan kenyataan. Namun sebaliknya ramalan Joyoboyo semakin dipopulerkan. Sebab dengan tersebarnya ramalan itu, Jepang seolah-olah telah mendapat angin dari bangsa kita. Berkat ramalan itu, "bangsa kulit kuning" ini telah dianggap "dewa penolong" bagi bangsa Indonesia. Bahkan sebenarnya Jepang sempat memanfaatkan ramalan itu, sebelum mereka tiba di tanah air kita. Di awal tahun 1942, Jepang mulai menyerang negeri kita lewat udara. Pada saat itulah dari kapal terbang mereka sering menyebarkan surat selebaran di atas Pulau Jawa. Surat selebaran itu antara lain berbunyi: ... Raja-raja di Jawa, perintahkanlah serdadu tuan meninggalkan barisan Belanda. Kita akan datang tidak memerangi tuan dan serdadu tuan. Leluhur tuan, Raja Joyoboyo di Kediri pernah berkata, bahwa bangsa kulit kuning akan datang menolong tuan dan bangsa tuan. Dan sekaranglah kami datang menolong ....
Ketika tentara Jepang sudah menjadi penguasa di negeri kita, kalimat "bangsa kulit kuning akan datang menolong ...", masih terus dipopulerkan ke seluruh rakyat kita. Tanpa menyebut kata "seumur jagung", ramalan Joyoboyo telah mereka ubah sesuai dengan kepentingannya. Dalam majalah "Djawa Baroe" 1 Maret 2603, misalnya telah dimuat ramalan Joyoboyo "made in Japan" yang berbunyi sebagai berikut:
... "Tentara jang maha sakti kelak akan datang dari timoer" itoe boleh dikatakan telah mendjelma di alam ini, dan pintoe sedjarah poen laloe terboeka.
Namun bangsa kita yang sudah memiliki "senjata" Joyoboyo dan Sabdapalon, tidak mudah diperdaya. Apalagi pada masa itu, rakyat sudah maklum akan tipu daya Nippon. Karena siasatnya tidak berhasil, pihak penguasa mencoba lagi menyebarkan dongeng kuno yang masih berhubungan dengan "pahlawan sakti yang datang dari arah matahari terbit". Lewat dongeng tersebut, mereka berupaya meyakinkan kita, bahwa pahlawan sakti itu memang telah datang dari Pulau Jawa sejak zaman dahulu kala. Dikisahkan dalam dongeng itu, bahwa sang pahlawan ini sempat memperistri seorang wanita penduduk asli.
Dari perkawinan itu, mereka telah dikaruniai seorang putra. Namun setelah lahir anaknya itu, sang ayah kembali ke negeri asalnya. Sebelum berangkat dia berpesan kepada istrinya, bahwa seandainya si anak ingin bertemu ayahnya, carilah ke negeri tempat matahari terbit. Sesampai di sana, dia disambut oleh seorang pemuda. Setelah terjadi percakapan maka diketahuilah, bahwa pemuda tadi tidak lain kakak kandungnya sendiri. Dengan amat menyesal si abang memberitahukan kepada adiknya, bahwa ayahnya telah meninggal.
"Sekarang adikku, pulanglah kembali ke tempat asalmu. Nanti pada suatu saat pasti abangmu akan menyusul ke negerimu untuk menjumpaimu."
Begitulah kira-kira kisah dari pertemuan antara "saudara tua" dan adiknya yang selalu didengung-dengungkan oleh penguasa secara dari mulut ke mulut. Melalui dongeng-dongeng seperti ini, tampaknya pihak Jepang selalu berupaya ingin meyakinkan rakyat kita, bahwa Nippon - Indonesia sebenarnya punya hubungan saudara "sedarah sedaging". Selain itu ditekankan lagi, bahwa datangnya bangsa Nippon ke negeri kita, bukan bermaksud memusuhi, namun untuk melepas rindu seorang kakak kepada adiknya. Tetapi seperti telah dikatakan di atas, bahwa rayuan lewat ramalan dan dongeng-dongeng Jawa ini, akhirnya tidak lagi mampu mempengaruhi bangsa kita.
Ramalan "Sang Dajal"
Satu-satunya ramalan yang tidak pernah diperbincangkan secara terang-terangan pada zaman pendudukan Jepang, adalah ramalan yang bernama "Sang Dajal". Mengapa demikian, karena ramalan ini sesungguhnya telah menceritakan tentang bagaimana jatuhnya kekuasaan tentara Dai Nippon. Seperti halnya Djintan, ramalan Sang Dajal ini juga tidak diketahui siapa yang mempopulerkannya. Yang jelas pada saat balatentara Jepang sedang berada di puncak kekuasaannya, ramalan ini tersebar dari mulut ke mulut.
Dikisahkan dalam ramalan ini, bahwa Pulau Jawa bakal didatangi oleh makhluk raksasa yang bernama sang Dajal. Raksasa ini amat sakti, namun jahat dan kejam. Sesuai dengan wataknya yang serakah, dia akan memakan apa saja yang ditemukan, di samping membunuh dan merusak harta rakyat. Akibatnya rakyat di Pulau Jawa menderita kesengsaraan yang tidak terperikan. Para saat penderitaan rakyat mencapai puncaknya, muncullah Nabi Isa Rasulullah untuk menangkap sang Dajal. Setelah dibekuk batang lehernya, raksasa ini digusur ke tengah lapangan. Dengan goloknya, kemudian Nabi Isa menebas batang lehernya hingga putus. Darahnya pun menyembur keluar. Pada saat sekarat, sang Dajal mengeluarkan jeritan yang amat mengerikan. Dan orang-orang yang menyaksikan kematian raksasa itu dan kecipratan darahnya, niscaya akan mengalami penderitaan. Ramalan yang mengerikan ini, oleh para ahli tafsir pada masa itu, telah diartikan sebagai berikut:
Sang Dajal adalah tentara Jepang. Dan Nabi Isa adalah tentara Amerika yang beragama Naserani. Sedang orang-orang yang menyaksikan sekaratnya sang Dajal, adalah bangsa-bangsa Asia termasuk bangsa Indonesia. Dan hukuman pancung kepala yang dilakukan oleh Nabi Isa ini, artinya Amerika bakal melakukan tindakan yang tegas, sehingga Jepang akhirnya bisa dilumpuhkan.
Tentu saja ramalan yang mengungkapkan jatuhnya Jepang ini, pada masa itu tak seorang pun yang berani membahasnya secara terang-terangan. Barulah setelah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, ramalan sang Dajal mulai dibicarakan kembali. Dan akhrinya terungkap pula, bahwa makna dari "Nabi Isa memancung kepala sang Dajal" adalah Amerika telah melumpuhkan Jepang dengan senjata bom atom.***
Sumber: Pikiran Rakyat, 28 Maret 1995
Komentar
Posting Komentar