Langsung ke konten utama

Saat Menjelang Runtuhnya Pemerintah Hindia Belanda

Oleh HARYADI SUADI

Pemuda harapan bangsa
Berani madjoe ke moeka
Tidak takoet tidak gentar
Dalam membela jang benar
Berbakti kepada bangsa
Menempoeh djedjak pengandjoer
Meskipoen haroes bertempoer
Bertandang menentang lawan
Berdjoeang mendjadi koerban

(Sajak "Pemoeda harapan bangsa" oleh RS.
dikutip dari majalah "Pembangoen" 2 Agustus 1941.)

"Inheemsche Militie" atau wajib militer untuk kaum Pribumi, yang dirancang oleh pemerintah Hindia Belanda, telah banyak ditentang oleh bangsa kita. Namun sebaliknya pihak pemerintah dengan gigih pula berupaya untuk mengesahkan undang-undang itu dengan berbagai cara. Lewat media massa yang pro pemerintah, undang-undang ini telah dipropagandakan secara intensif. Dalam surat kabar terompet pemerintah "Bataviaasch Nieuwsblad" misalnya, telah disebarluaskan tentang pentingnya wajib militer di masa perang. Sehubungan dengan ditolaknya RUU ini oleh bangsa kita, surat kabar itu, telah berkomentar sebagai berikut: Apa sebab kaum inlanders (kaum pribumi - Pen) ini menolak milisi, karena mereka adalah bangsa yang penakut (lafheid).

Dalam sidang-sidang di Volksraad, seorang jenderal wakil bangsa Belanda bernama Bernschot dengan tegas meyakinkan kepada para anggotanya yang bersikap anti, bahwa "Inheemsche Militie" memang wajib dilaksanakan. Bahkan tanpa menghiraukan protes-protes yang dilancarkan bangsa kita, pihak Belanda memaksa para anggota Dewan Rakyat untuk menyetujui RUU tersebut. Karena di antara para anggotanya banyak yang pro maupun yang kontra, maka pemerintah mendesak Volksraad agar secepatnya melaksanakan pemungutan suara.

Sebelum pemungutan suara dilakukan, pihak GAPI kembali bergerak. Mereka mulai menyusun strateginya guna menghadapi sikap pemerintah yang semakin keras. Untuk menggagalkan RUU itu, pihak GAPI tidak cuma melakukan protes saja, melainkan juga telah melakukan berbagai tindakan.

Tindakan pertama adalah membuat maklumat yang berbunyi: "Seruan dan ajakan GAPI". Maklumat itu kemudian disebarluaskan lewat berbagai surat kabar milik bangsa kita yang sehaluan. Isi seruan itu antara lain meminta dukungan kepada semua pihak untuk bersama-sama menolak "Inheemsce Militie" secara lebih tegas. Seruan itu ternyata telah disambut hangat oleh masyarakat. Bahkan beberapa surat kabar seperti "Harian Pemandangan", "Sepakat", "Soeara Oemoem", "Penjebar Semangat", "Sipatahoenan" dll, dalam waktu singkat telah mengirim surat tanda simpati dan mendukung sepenuhnya gagasan GAPI itu.

Setelah rencana pertamanya dianggap berhasil, maka tindakan selanjutnya segera dilaksanakan yakni mereka mengumpulkan semua surat tanda simpati itu, kemudian dikirim ke Sri Ratu Wilhelmina.

Melalui surat tersebut, pimpinan GAPI memohon dengan segala kerendahan hati, agar Sri Ratu berkenan memperhatikan keberatan rakyat Bumiputera terhadap RUU "Inheemsche Militie".

Tindakan GAPI yang berani ini, tentu saja telah mengejutkan pemerintah. Pasalnya seseorang atau sekelompok kaum pribumi mengirimkan surat kepada ratu Belanda, tanpa sepengetahuan pemerintah, merupakan peristiwa yang langka dan unik pada masa itu. Apalagi surat itu berisi protes terhadap "kebijaksanaan" pemerintah. Karena tindakan yang dianggap "tidak umum" dan "ugal-ugalan" itu, maka nama GAPI semakin menjadi buah bibir. Tanpa diminta, surat-surat yang senada mengalir kembali ke meja pimpinan GAPI. Pada waktu itu tercatat sejumlah surat yang berasal dari berbagai organisasi nonpolitik, seperti "Stoeden Bangsa Indonesia", "Pegawai Firma Tjong", "Pedoman Minangkabau Moeda", dsb. Organisasi-organisasi ini bukan saja telah mendukung, namun juga bersedia menanggung segala ongkos pengiriman surat yang ditujukan kepada Wilhelmina tersebut.

Gagal melawan "Inheemsche Militie"

Bagaimana tanggapan Ratu Wilhelmina terhadap surat tersebut, sayang sekali tidak diperoleh keterangan. Namun yang jelas setelah terjadinya peristiwa yang menggegerkan ini, pemerintah semakin bersemangat untuk segera memberlakukan RUU itu. Pemungutan suara pun segera dilaksanakan oleh pimpinan Volksraad. Namun pada hari pelaksanaannya, telah terjadi lagi insiden kecil. Sebagian besar wakil rakyat yang bersikap anti, tiba-tiba bubar meninggalkan sidang. Alasannya mereka tidak bertanggung jawab seandainya RUU ini disetujui dan disahkan. Mereka yang meninggalkan sidang tercatat antara lain Oto Iskandardinata dari Golongan "Pasoendan", Sukarjo Wiryopranoto, Suroso, dan Mr. Syamsudin dari "Parindra".

Sekalipun telah diboikot oleh sebagian anggotanya, namun pemungutan suara tetap dilaksanakan. Seperti telah diduga semula, pihak pemerintah pasti yang akan memperoleh suara lebih banyak, yakni 43 suara menyatakan setuju, sedangkan yang menolak hanya 4 suara. Keempat suara tadi adalah Mr. Mohamad Yamin, Tajudin Noor, Dr. Rasyid dan Soangkopuan dari "Golongan Nasional Indonesia".

Namun kemenangan di pihak Belanda ini, tampaknya tidak membuat putus asa bangsa kita. Sehari setelah disahkannya undang-undang itu, pucuk pimpinan "Partai Serikat Islam Indonesia" juga telah mengirim kawat kepada Ratu Belanda. Lewat kawat tersebut, mereka memohon kepada Sri Ratu untuk mencabut kembali "Inheemsche Militie" yang baru disahkan.

Beberapa hari kemudian GAPI bersama MIAI (Majelis Islam A la Indonesia), "Persatoean Istri Indonesia", dan "Persatoean Pers Indonesia", kembali melayangkan surat kepada Wilhelmina. Namun tidak diperoleh keterangan, apakah surat-surat itu sampai ke alamat. Sebab baik pemerintah Hindia Belanda maupun Sri Ratu tidak pernah memberikan jawaban. Oleh karena itu perjuangan bangsa kita untuk menggagalkan undang-undang wajib militer ini, akhirnya dianggap tidak berhasil.

Namun kegagalan ini pun ternyata tidak melemahkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya untuk melawan kaum penjajah. Bahkan menurut majalah "Pembangoen" 19 Juli 1941, kegagalan ini justru telah menimbulkan hikmah yang tidak terduga, yakni semakin eratnya rasa persatuan yang dijalin bangsa kita .... Dengan begitoe, soal milisi membawa akibat timboelnja eenheldfront (barisan persatuan), baik di dalam maoepoen di loear Volksraad, jaitoe kalangan rakjat Indonesia jang berpikir dan tersoesoen dalam segala matjam organisasi nasional ... demikian majalah "Pembangoen".

Dijelaskan kemudian, setelah dilaksanakannya pemungutan suara, dalam tubuh Volksraad telah terjadi peristiwa yang menggembirakan. Dua anggotanya, yakni "Fraksi Nasional" dan "Golongan Nasional Indonesia", telah sepakat untuk bergabung menjadi satu. Hasil dari penggabungan ini, telah melahirkan "Fraksi Nasional Indonesia" atau disingkat "FRANI". Fraksi yang kemudian dipimpin oleh Mr. Moh. Yamin bersama Suroso ini, hanya punya satu tujuan, yakni: Indonesia harus Merdeka.

Begitu pula semangat persatuan yang dijalin oleh orpol yang tergabung dalam GAPI bersama organisasi nonpolitik lainnya, terasa semakin kuat.

Pada masa itulah rakyat kita di mana-mana semakin berani, mengutarakan isi hatinya, yaitu kerinduannya terhadap kemerdekaan. Kata-kata "Indonesia Tanah Airku" dan lagu "Indonesia Raya" yang semula dilarang dikumandangkan di muka umum, secara terang-terangan telah dilanggar.

Kemudian sekelompok pemuda pelajar bangsa kita dengan berani telah menerbitkan majalah yang diberi nama yang ditakuti pemerintah Belanda, yakni "Indonesia Raya". Sekalipun akhirnya diberangus pemerintah, namun tindakan ini merupakan suatu tanda bahwa mereka dengan berani telah memanfaatkan dunia pers untuk mengungkapkan cita-citanya.

Dalam media massa semacam itulah, sering dimuat tulisan-tulisan yang isinya mengobarkan semangat bangsanya dan sekaligus mengeritik pemerintah Hindia Belanda.

Majalah "Pembangoen" yang dikelola oleh para pejuang kemerdekaan seperti Anwar Cokroaminoto, Asmara Hadi, dan Mr. Sumanang, juga termasuk media massa berhaluan nasionalis yang cukup berani mengoreksi pemerintah.

Tatkala bangsa kita sedang menggebu-gebu memperjuangkan "Tiga Tuntutan", yakni Parlemen Indonesia, Dewan Rakyat yang sejati dan cabut kembali "Inheemsche Militie", majalah tersebut secara demonstratif telah memuat sebuah sajak yang berjudul "Pemoeda Harapan Bangsa". Sajak ini sesungguhnya secara terselubung telah mengeritik pemerintah yang pada waktu itu sedang giat mengusulkan RUU wajib militer bagi bangsa Indonesia.

Lewat sajak itu pula para pemimpin kita berupaya mengingatkan rakyat Indonesia, bahwa perlunya mengangkat senjata dan mengorbankan jiwanya, bukan untuk kepentingan Belanda, melainkan untuk kepentingan bangsa dan tanah air kita sendiri, yaitu Indonesia.

Tidak lama setelah Pemerintah mengesahkan undang-undang tersebut, majalah ini pun dengan berani melontarkan sindiran yang berbunyi sebagai berikut: .... Sesoedah rentjana milisi diterima baik oleh Dewan Rakjat, ada orang tjerita kepada kita, bahwa moelai sekarang soedah ada jang mengimpi pegang bedil, ada jang mengimpi pegang meriam, ada jang mengimpi gosok-gosok kuda militer, ada jang mengimpi naik kapal terbang, enzoovort (dan sebagainya - Pen.). Adakah jang soedah mengimpi mati ...?

"Spitfire Fonds" yang mencekik leher rakyat

Tindakan-tindakan rakyat kita yang berani itu, tentu saja semakin menggelisahkan pemerintah. Apalagi ancaman dari pemerintah Tenno Heika yang semakin gencar itu, bukan cuma sekadar gertak sambal belaka. Oleh karena itu dalam keadaan panik, pada bulan Agustus 1941, pemerintah Belanda mulai mengaktifkan latihan militernya. Sesuai dengan bunyi undang-undang "Inheemsche Militie", semua pria yang berada di tanah air kita (kecuali bangsa Belanda) yang berusia antara 18-45 tahun, diwajibkan mendaftarkan diri. Dari peraturan tersebut, pemerintah telah berhasil menghimpun sekitar 15.000 pemuda calon serdadu yang katanya "rela berkorban untuk nusa dan bangsa".

Dalam pada itu para pemuda bangsa Belanda yang tidak kena peraturan milisi, telah dipanggil pula. Mereka diwajibkan untuk mengikuti serangkaian latihan seperti memadamkan kebakaran, latihan bahaya udara, menolong orang yang luka-luka dsb. Untuk keperluan itu, pemerintah telah membentuk "Luchtbeschermingdienst" (Dinas Pertahanan Udara) yang pada masa itu terkenal dengan nama Barisan LBD. Begitu pula para wanitanya telah dididik menjadi juru rawat yang tergabung dalam "Vrouwlijk Auto Korps". Korps wanita itu tugasnya hanya menangani orang-orang yang luka-luka.

Kemudian para pemeluk agama Islam, terutama para alim ulama dan kiai, telah diperintahkan juga untuk berdoa dan bersembahyang bersama, guna keselamatan dan kemenangan pemerintah Nederlandsch Indie dalam mempertahankan negeri jajahannya dari serangan Jepang.

Sekalipun barisan pertahanan yang disebut di atas sudah disiapsiagakan, namun agaknya pemerintah masih belum siap menghadapi musuh. Pasalnya kondisi tentara maupun persenjataannya dinilai belum layak diterjunkan ke medan pertempuran.

Latihan kemiliteran yang berlangsung hanya beberapa bulan, tentunya tidak akan mencapai hasil yang memadai. Di samping itu pemerintah pun tidak punya dana untuk melaksanakan peperangan. Oleh karena itu dalam keadaan tergesa-gesa, pemerintah mulai mencari dana. Cara yang paling mudah untuk mengumpulkan uang, adalah menarik sumbangan wajib dan menaikkan pajak.

Konon pada masa itu tidak sedikit kaum jutawan dan para pengusaha yang mendadak jatuh miskin, gara-gara sumbangan wajib ini. Masalahnya besarnya sumbangan wajib itu tidak boleh kurang dari 10 ribu gulden.

Para pengusaha Cina, Arab, sampai sultan-sultan di Jawa, telah ditarik sumbangan "sukarela" yang jumlahnya mencapai ratusan ribu gulden.

Kesultanan Pakubuwono dan Mangkunegaran tercantum sebagai para sultan yang telah memberikan sumbangan paling besar, yakni masing-masing 15 ribu gulden.

Sementara itu, rakyat pun tanpa pilih bulu, telah diminta sumbangannya. Dalam keadaan yang merana, mereka dicekik pajak. Sedangkan harga barang semakin tidak terjangkau. Tekanan hidup semakin sulit, ketika pemerintah mengeluarkan lagi peraturan baru yang bernama "Spitfire Fonds" atau dana untuk membeli pesawat terbang. Spitfire adalah sejenis pesawat terbang buatan Inggris yang memang sangat diperlukan dalam menghadapi peperangan. Untuk mempermudah penarikan dana ini, pihak penguasa telah mengerahkan petugas khusus yang dipersenjatai dan didampingi polisi rahasia. Dengan cara demikian, maka rakyat mau tidak mau harus menyisihkan uangnya untuk kepentingan penguasa.***



Sumber: Pikiran Rakyat, 17 Januari 1995



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...