Langsung ke konten utama

Awal Kekuasaan Sampai ke Desa

Tanam paksa membuat petani Jawa miskin karena tanah dan hasilnya menjadi hak penguasa daerah dan pusat. Dengan tanam paksa, terbentuk jaringan kekuasaan sampai desa.

NAMA Dr. Robert van Niel tak asing bagi sejarawan Indonesia, khususnya ahli zaman kolonial dan permulaan pergerakan. Sejarawan pengajar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Hawaii, AS, ini keturunan Belanda yang masih fasih berbahasa Belanda. Ini tentu membantunya dalam meneliti sejarah Indonesia masa penjajahan.

Sepuluh tulisan Robert van Niel yang dimuat dalam buku ini adalah kumpulan studinya selama bertahun-tahun tentang tanam paksa (1830-1870). Mungkin ini studi yang pertama dalam bahasa Inggris mengenai sistem tanam paksa di Indonesia. Singkatnya, Van Niel merupakan pelopor studi tentang abad ke-19, khususnya tentang sistem tanam paksa. Fasseur, R. Elson, Sartono Kartodirjo, dan saya sendiri juga melakukan studi mengenai abad ke-19.

Van Niel mengkaji sistem tanam paksa dengan menekankan pada perkembangannya sebagai suatu sistem, kebijaksanaan para gubernur jenderal Hindia Belanda, dan hasil-hasil sistem itu. Lalu ia mengkaji zaman akhir tanam paksa yang menyangkut pengaruh sistem itu bagi masyarakat Jawa.

Tanam paksa, begitu tulis Van Niel, menjadikan Pulau Jawa sebagai perkebunan kolonial yang memproduksi hasil bumi untuk ekspor, seperti gula, kopi, teh, dan nila. Tapi--ini yang mengacaukan--sering sistem yang memaksa rakyat menanam dan memelihara hasil bumi untuk ekspor itu disebut sebagai "pajak tanah", yang dipungut oleh Hindia Belanda dalam bentuk tanah dan tenaga kerja dari petani.

Pemakaian istilah "pajak tanah" ini tampaknya dikaitkan dengan asas ekonomi liberal saat itu. Sebab, pemakaian kata "paksa-memaksa" tak populer di masa liberal, terutama yang berkaitan dengan campur tangan pemerintah pada perekonomian rakyat. Maka, ditempuhlah tradisi menyebut suatu sistem ekonomi, politik, ataupun sosial dengan istilah yang kedengarannya "enak". Namun, isi dan akibatnya justru kebalikannya.

Tanam paksa dirancang oleh Gubernur Jenderal J. van den Bosch (1830). Dan sistem ini sebenarnya bukan bersifat "nasional". Pelaksanaannya beraneka ragam--tergantung daerahnya. Peraturan dari pusat (Batavia) itu sering tak dipahami oleh daerah dan sering samar-samar.

Perkebunan merupakan proyek bagi semua tingkat pejabat, baik yang Belanda maupun yang Jawa. Dengan caranya sendiri, mereka berhasil mengisi kas pemerintah Belanda yang kosong. Sampai-sampai Multatuli menyebut sistem tanam paksa itu sebagai "moralitas feodal yang dituangkan dalam undang-undang".

"Primadona" tanam paksa ternyata gula, yang membuat Jawa terkenal di dunia dan memperkaya Hindia Belanda. Sampai depresi 1930, gula dari Jawa masih menjadi sumber penghasilan terbesar Belanda.

Di zaman tanam paksa, Hindia Belanda memperkukuh kekuasaannya dan masuk sampai desa-desa. Sistem ini membuat masyarakat Jawa mempunyai pangreh praja-nya sampai ke para lurah di desa. Para pejabat, yang Belanda atau yang Jawa, menjadi sangat otoriter dengan kekuasaannya.

Lepas dari kerugian yang diderita petani Jawa, sistem tanam paksa berhasil meningkatkan produksi, dan keuntungan diperoleh dengan mudah oleh pemerintah. Pada masa itu, luas tanah perkebunan tak begitu besar lantaran penduduk belum demikian padat dan tanah masih luas, sementara tenaga kerja yang diperlukan pun sangat besar. Dengan otoritas pejabat, kebutuhan tenaga kerja pun dipenuhi. Tapi, akibatnya, sawah-sawah petani telantar, tak ada waktu untuk menggarapnya. Tenaga mereka habis di perkebunan.

Setelah 1870, ketika Hindia Belanda meswastakan perkebunan-perkebunan--dan menyebutnya zaman liberal--penduduk non-Eropa tetap merasakannya sebagai zaman "tidak liberal". Penduduk timur-asing, Cina misalnya, tetap dikenai restriksi mobilitas fisik seperti adanya keharusan tinggal di kampung Cina atau pas jalan untuk bepergian. Untuk penduduk Jawa, dengan otoritas pejabat, tanah dan tenaga mereka tetap harus diserahkan ke pengusaha demi kemakmurannya. Sehingga, nasib petani Jawa sangat menderita karena tenaga dan tanahnya selalu dikatikan dengan "pajak tanah" yang menjadi hak para pejabat di atasnya. Di sinilah rahasia kemiskinan mereka walau punya tanah dan tenaga yang dibutuhkan. 

Pada zaman tanam paksa, pemerintah memaksakan konsep bahwa tanah itu milik negara, komunitas. Dan saya rasa, pengaruh tanam paksa pada masyarakat Indonesia sampai sekarang pun belum berakhir. Van Niel sekali lagi menyoroti dengan jelas masalah-masalah di sekitarnya dan hingga kini masih relevan. Misalnya, penguasaan dana masyarakat, seperti tanah dan tenaganya, masih dikuasai bukan oleh manusia, melainkan oleh negara.

Onghokham



JAVA UNDER THE CULTIVATON SYSTEM
Penulis: Robert van Niel
Penerbit: KITLV Press, Leiden, 1992, 244 halaman



Sumber: Tempo Nomor 40 Tahun XXIII - 4 Desember 1993



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...