Langsung ke konten utama

JALAN MENUJU PEARL HARBOR

JALAN Jepang ke Pearl Harbor sebetulnya bukanlah suatu rencana sesaat. Keinginan untuk menghajar Amerika Serikat atau bangsa Anglo Sakson sudah tumbuh jauh sebelum peristiwa 7 Desember 1941, 50 tahun silam itu.

Jepang mengalami berbagai masalah besar setelah Perang Dunia I. Terjadi kemelut sosial dan ekonomi. Bencana alam juga sering menghantam bangsa ini. Sementara itu dalam dunia politik, tampil ke permukaan kaum hipernasionalis yang rata-rata perwira Angkatan Darat yang ambisius. Mereka berpendirian, berbagai masalah yang sedang melanda Jepang bisa diatasi dengan cara ekspansi keluar dan pembaharuan di dalam. Maksudnya, segala yang berbau Barat harus dikikis habis.

Dalam membentuk diri menjadi negara modern, Jepang pada 1880 telah banyak mencontoh kehidupan Barat mulai dari iptek sampai politik. Misalnya dalam dunia politik dibentuk Diet, parlemen Barat a la Jepang. Kaum nasionalis militan mengeritik itu dan mereka mengatakan hal itu hanya akan mematikan tradisi Jepang. Maka mereka menyerang Diet dengan alasan Diet memutuskan hubungan mistis antara rakyat dan Kaisar. Pemilihan umum juga diminta dihapus. "Barang demokrasi impor hanya akan membawa bencana," kata kaum hipernasionalis itu. Mereka menghendaki suatu suara nasional tanpa ada suara yang menantang.

Keinginan lain dari kaum hipernasionalis itu adalah mencari jajahan di Asia guna mendapatkan sumber mentah yang sangat dibutuhkan, pasaran paksaan bagi barang-barang buatan Jepang dan jalan keluar bagi kelebihan penduduk. Mereka lantas menyerbu Cina dan Mansuria yang memang kaya dengan bahan mentah yang Jepang butuhkan.

Ekspansi yang dilakukan Jepang segera mengundang kutukan dari berbagai negara Barat. Maka, negara Barat langsung menjatuhkan embargo. Hal itu tentu saja membangkitkan amarah kaum hipernasionalis Jepang.

Dalam negeri para jingo atau patriot fanatik Jepang mengajarkan kekerasan sebagai sarana terbaik untuk mencapai tujuan politis. "Tikam, tusuk, pancung dan tembak," seorang fanatik nasionalis berteriak. "Nyala api akan mulai berkobar dan orang secita-cita akan bergabung."

Begitulah sejarah panjang Jepang pada dekade 1930-an diisi dengan pembunuhan den pemberontakan kaum hipernasionalis tadi. Pada 1941 surat kabar mencanangkan garis kebijakan kaum nasionalis, "ketenteraman dan kepuasan dapat diperoleh hanya dengan menghapus sama sekali penggerogotan jahat orang Anglo Sakson." Jepang akhirnya menjadi bangsa yang matang untuk revolusi.

Mansuria akhirnya dicaplok pada September 1931 dengan dalang Letnan Kolonel Kanji Ishihara. Prakarsanya itu membuatnya naik pangkat jadi kolonel. Bagian yang dikuasai itu kemudian dijadikan negara boneka dengan nama Machukuo.

Menurut impian Ishihara, Manchukuo harus menjadi sebuah kerajaan dengan pemerintahan yang benar secara moral, tempat orang Cina, Korea, Manchu, dan Mongolia akan mencapai kemakmuran di bawah Jepang.

Apa yang dilihat sebagai kemenangan yang adil oleh Jepang, dinilai negara-negara Barat sebagai agresi 100 persen. Jepang dikutuk. Lantas dia menarik diri dari Liga Bangsa-bangsa.

"Misi suci Jepang ialah menciptakan perdamaian di Timur," demikian pernyataan Menteri Perang, Jenderal Sadao Araki. "Liga Bangsa-bangsa tidak menghormati misi itu. Bahwa Jepang dikepung oleh seluruh dunia terlihat dalam insiden Mansuria. Akan datang harinya ketika dunia akan mendongak untuk melihat kebajikan-kebajikan nasional kita," jenderal itu berseru.

Setelah itu Jepang diisi dengan berbagai pergolakan dalam negeri seperti pembunuhan untuk melakukan pembersihan terhadap mereka yang tidak menyetujui sikap agresi. Semua keyakinan "yang tidak Jepang" dibabat habis. Lalu terjadi kudeta di kalangan tentara namun dapat digagalkan. Itu terjadi pada Februari 1936.

Pihak militer, terutama Angkatan Darat makin memperlihatkan kukunya. Mereka mulai mencakar ke mana-mana, membatasi kebebasan. Pada Februari 1936, saat negara masih dalam keadaan belum stabil karena adanya usaha kudeta, Komando Tertinggi Angkatan Darat mengusulkan kepada Perdana Menteri agar kekuasaan Diet dikurangi.

Usul tersebut segera mendapat serangan dari pihak politisi pada Januari 1937. Kunimatsu Hamada, mantan Ketua Parlemen yang sangat disegani, mengeluarkan tuduhan, Angkatan Darat hendak menghancurkan kebebasan berbicara, merencanakan menghapuskan kekuasaan sipil, membiarkan pembunuhan dan menyebabkan pajak yang tinggi karena pengeluaran militer yang besar sekali di Cina.

Jenderal Hisaichi Terauchi, Menteri Perang, balik menyerang Hamada. Hisaichi menuduh Hamada melancarkan penghinaan yang tidak berdasar, dan penghinaan semacam itu hanya dapat diperbaiki dengan cara bunuh diri. Hamada balik membalas. "Periksalah catatan! Jika anda menemukan kata-kata hinaan di sana, saya akan melakukan minta maaf dengan bunuh diri. Jika tidak ada kata-kata seperti itu anda harus bunuh diri." Kedua pemimpin itu tidak pernah bunuh diri. Yang terjadi adalah Terauchi akhirnya mundur dari jabatannya.

Pada Februari 1940 seorang anggota Diet, Takao Saito, melemparkan gagasan agar Angkatan Darat Jepang menghentikan ekspansinya. Dia mengutuk penyerbuan ke Cina. "Jika kita tidak memanfaatkan suatu kesempatan untuk perdamaian selagi ada, kaum politisi hari ini tidak akan mampu menghapus kejahatan mereka dengan kematian mereka sekalipun," katanya. Tentu saja pernyataan tersebut membuat kaum militer berang. Saito diseret ke komite kedisiplinan Diet dan diperintahkan mengundurkan diri. Enam bulan setelah peristiwa tersebut semua partai politik di Jepang dibubarkan.

Sementara itu di Eropa terjadi peristiwa yang luar biasa. Hal itu memberi inspirasi bagi pemimpin militer Jepang untuk segera bergabung dengan poros Berlin - Roma secepatnya. Kemenangan Hitler yang luar biasa di Eropa membuat kekuasaan di Asia Tenggara jadi kosong. Hal itu sangat menggoda Jepang untuk menguasai bekas jajahan Inggris dan Belanda. Jika Jepang bersekutu dengan Jerman, kaum ekspansionis Jepang berpendapat Asia akan dilepas untuk Jepang.

Di Berlin, Duta Besar Hiroshi Oshima mengadakan pembicaraan yang gigih dengan pemimpin Nazi sementara di dalam negeri kaum hipernasionalis melancarkan kampanye anti Amerika Serikat dan Inggris kepada penduduk sipil.

Hitler dan Mussollini menyambut Jepang untuk bersekutu sebagai salah satu sarana untuk menetralisasi AS. Dan pada 27 September 1940, Jepang, Jerman, Italia menandatangani Pakta Tiga Negara dengan berjanji untuk saling membantu dengan segala sarana politik ekonomi dan militer. "Sejak saat itulah Jepang mulai merencanakan gerakan pendudukan di Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya. Serbuan pertama adalah menghancurkan Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor. Menurut kaum militer Jepang, bila Pearl Harbor sudah dilumpuhkan, maka Jepang akan dengan mudah menguasai kawasan Pasifik dan memaksa AS menandatangani Perjanjian Pasifik. Namun Laksamana Yamamoto, ahli strategi perang Jepang, sebenarnya agak ragu dengan gebrakan Jepang itu. "Enam bulan atau satu tahun saya dapat merajalela," kata Laksamana Yamamoto, Panglima Tertinggi Armada Gabungan Jepang. Tetapi Yamamoto yang mengetahui dan menyegani daya produksi industri AS menambahkan dengan sikap tahu diri. "Sesudah itu, entahlah." Yang pasti, Jepang telah menyiapkan diri begitu lama menuju Pearl Harbor.

(W-3/M-4/Berbagai sumber)



Sumber: SKM, Minggu kedua Desember 1991



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...