Mengenang Peristiwa Bandung Lautan Api (2-Habis) Tinggalkan Bandung Bukan Karena Ultimatum tapi Karena Taat pada Perintah Pusat
Oleh H. ATJE BASTAMAN
BEBERAPA jam sebelum berakhirnya batas waktu yang ditetapkan Sekutu mengenai pemindahan tersebut, sikap dan kepentingan pihak militer dan orang-orang sipil dari generasi yang tua menjadi persoalan terbuka. Kaum muda bersedia pergi dan menyenangi ide tersebut. Orang-orang sipil ingin tinggal, bukan karena mereka pro Belanda, tetapi terutama disebabkan mereka lebih cocok untuk kerja di kota dan untuk tawar-menawar dan negosiasi yang diperlukan guna mempertahankan suatu pemerintah Republik di suatu daerah kantong bangsa asing.
Dalam keadaan seperti itu tak dapat dihindarkan ide untuk memaksakan suatu pengungsian umum termasuk pengungsian pemerintah lokal dan penghancuran kota yang akan mereka tinggalkan, merupakan rangsangan bagi para pemuda yang ingin mengambil langkah revolusioner yang menggelegar dalam menghadapi suatu force majeure.
Dalam menghadapi keadaan tersebut yang berwenang di bidang sipil tak berdaya. Pukul 2.30 sore walikota mengabarkan melalui siaran radio keputusan Pemerintah Pusat dan mengumumkan bahwa pemerintah kota akan tetap tinggal di dalam kota.
Tetapi kira-kira pukul 4.00 sore, diterima pesan dari komandan Divisi 3 bahwa pemerintah kota harus meninggalkan kota sekitar pukul 8.00 malam, karena seluruh kota akan dibakar dan dihancurkan.
Usaha untuk membahas soal ini nyatanya gagal, karena komandan divisi tidak dapat dijumpai dan ketua MP3 tak dapat mengubah rencana pemusnahan kota yang telah ditetapkan.
Rumah walikota penuh orang-orang dari Tentara Republik Indonesia dari komandemen, Wakil Perdana Menteri St Syahrir, komandan divisi, residen, orang-orang dari MP3 dan lain-lain orang terkemuka.
Mereka memperkirakan tentang ultimatum Inggris, agar seluruh rakyat Indonesia yang bersenjata ke luar dari Kota Bandung sedikitnya 11 km. Jika kehendak Inggris itu tidak dikabulkan, Kota Bandung akan digempur habis-habisan. Jika ada orang Indonesia yang masih bersenjata tinggal di dalam kota akan ditembak mati.
Darah siapa tidak mendidih, selama ia bernama putra sejati dari Tanah Ibu Indonesia?
Kesombongan dan pancingan yang dilontarkan kepada pemuda-pemuda Indonesia sudah barang tentu disambut dengan kejengkelan dan kemarahan yang tidak ada taranya, dengan keberanian menghadapi segala risiko, apa jua pun jadinya.
Di antara yang hadir ada yang mencucurkan air mata karena menahan marah, ada pula yang ketawa oleh amarah yang mengguncang segenap jasadnya. Tetapi akhirnya diambil keputusan, supaya kepada Inggris disampaikan penolakan terhadap ultimatum itu.
Pertemuan selesai dan beberapa orang utusan pergi ke Jakarta, kepada Markas Besar Tentara Inggris disampaikan penolakan rakyat Bandung itu.
Rupanya pihak Inggris pun menolak semua usul yang berdasar perdamaian. Sebagai jalan keluarnya Pemerintah Pusat Republik Indonesia pada hari Minggu 24 Maret 1946 memerintahkan supaya segenap rakyat dan tentara yang bersenjata memenuhi permintaan Inggris agar keluar dari Kota Bandung sejauh 11 km.
Goodwill diserobot Inggris
Rupanya goodwill Pemerintah Republik itu oleh Inggris diserobot lagi dengan tidak memberi waktu yang cukup untuk memindahkan tentara dan peralatannya serta rakyat yang bersenjata untuk keluar, sebab pada jam satu siang hari Minggu tanggal 24 Maret 1946 itu, Inggris menjatuhkan ultimatumnya kepada seluruh penduduk Bandung, agar semua sudah keluar dalam tempo 12 jam.
Sebelum batas waktu yang telah ditetapkan habis, ternyata NICA/Gurkha telah menyerang bangsa Indonesia di beberapa tempat. Di daerah Andir, Cimahi, dan beberapa tempat lain, NICA menyerang kedudukan orang Indonesia. Di beberapa tempat lain mata-mata NICA bergerak untuk mengacaukan penyingkiran dan pengunduran. Rentetan tembakan senapan mesin 5 jam sebelum batas waktu itu, telah menggemuruh menembaki rakyat, satuan-satuan tentara dan pemuda, sehingga kesempatan untuk menyingkir tidak dapat dijalankan dengan teratur.
Mengingat semua itu MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) mengeluarkan perintah ke segenap rakyat sbb:
Merdeka!
Ultimatum Inggris via Pusat telah diterima. Meminta supaya TRI dan pasukan-pasukan bersenjata meninggalkan Kota Bandung di luar straal 11 km.
TRI dan MP3 memutuskan perintah tertulis di bawah dan harus segera dilakukan.
1. Masing-masing pasukan bersenjata sejak saat ini menjaga stelling masing-masing dengan senjata lengkap.
2. Alat-alat peledak disediakan.
3. Pasukan tidak bersenjata supaya menyelamatkan barang-barang penting.
4. Sampai ada perintah lain tetap defensif (mempertahankan). Hanya boleh menembak untuk membela diri.
5. Segera mengirimkan ordonnands ke MP3
(dt) Kepala Pembelaan MP3
S O E T O K O
Perintah MP3 itu disambut dengan semangat bernyala-nyala oleh barisan rakyat dari segala golongan dan pasukan, dan dengan hati yang berdebar-debar menunggu saat genting tersebut.
Pihak Tentara Republik Indonesia melakukan persiapan untuk meninggalkan Bandung tercinta dengan rasa gelisah dan duka, semata-mata karena patuh dan tunduk kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Semenjak tentara berkemas-kemas hendak meninggalkan kota, segenap lapisan rakyat menjadi gelisah. Tentara yang selama ini dihajatkan untuk melindungi keamanan rumah-tangga mereka akan pergi. Karena tak mau berpisah, seluruh rakyat pun siap sehidup-semati dengan tentara yang dibanggakannya.
Tidak kurang di antara tentara kita yang menangis terharu menghadapi kesetiaan rakyat terhadap mereka dan kotanya, dan segala itu memperkuat tekad pada diri masing-masing untuk menggempur musuh. Perasaan senasib dan seperjuangan pada setiap golongan dan tingkatan, menjelmakan solidariteitsgevoel yang kokoh.
Kenyataan demikian rupanya tidak tampak oleh musuh kita. Mereka mengira, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya berupa sepuhan semata-mata. Padahal penghinaan dan tindasan kaum penjajah telah mendorong rakyat untuk bersedia menderita dengan segala kepahitan, hingga rakyat itu membulatkan tekad akan membeli kemerdekaan itu dengan segala kekuatan yang ada pada mereka.
Gerilya dimantapkan
Menyusun kembali kekuatan bersenjata di pengungsian dengan susah payah dapat dibangun dalam waktu lebih dari tiga bulan. Baru akhir bulan Juni 1946 serangan gerilya dilakukan di Ujungberung. Selanjutnya di Cimahi. Pertempuran beruntun terjadi di Banjaran, Dayeuhkolot, Pemeungpeuk, Rancaekek, Haurgeulis, Batujajar, Cililin, Gedebage, Cilampeni, Kulalet, Baleendah, Jelekong, Tagogapu, Ciparay, dan tempat-tempat lain di tepian kota.
Meledaknya gedung mesiu di Dayeuhkolot sempat menyalakan semangat perjuangan Usmar Ismail, sehingga memprodusir Film "Toha Pahlawan Bandung Selatan", yang menjadi catatan sejarah perjuangan bangsa.
Pertempuran-pertempuran selanjutnya tidak terputus-putus hingga merepotkan pihak lawan sampai penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda. ***
Sumber: Pikiran Rakyat, 22 Maret 1989
Komentar
Posting Komentar