Oleh: A. C. Ton
PENGANTAR: A. C Ton, seorang sejarawan dan penerbit dari negeri Belanda menulis mengenai Petisi Soetardjo dan Volksraad yang dimuat di NRC Handelsblad tepat 50 tahun ulang tahun Petisi Soetardjo. Judulnya "Petitie-Soetardjo, 15 Juli 1936,: een gemiste kans voor Nederlands-Indie". Pandangan A. C Ton mengevaluasi peristiwa itu sangat menarik karena dibuat pada masa kini. Di bawah ini terjemahannya.
-- Redaksi
TEPAT 50 tahun yang lalu di Volksraad, Nederlandsch Indie, terjadi sesuatu yang luar biasa. Pegawai Pamong Praja Soetardjo pada tanggal 15 Juli 1936 mengajukan usul di perwakilan rakyat dengan maksud memberikan kemerdekaan kepada Nederlandsch Indie dalam jangka waktu 10 tahun: Indie, sebagai dominion dalam Kerajaan Belanda. Dua tahun lamanya usul tersebut yang menjadi terkenal sebagai "Petitie Soetardjo" berhasil memikat perhatian orang di Indie.
Petisi tersebut tidaklah bersifat revolusioner atau pun radikal. Kalau dibandingkan dengan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis seperti Sukarno dan Hatta, petisi ini adalah suatu hasil gerakan nasionalisme yang lunak ("gematigd"). Sekiranya pemerintahan kolonial bersedia memberikan otonomi kepada orang-orang Indonesia yang mau bekerja sama dengan Belanda, maka usaha Soekarno-Hatta mungkin gagal. Namun yang menyolok, usul itu datangnya dari seorang pegawai pamong praja. Agaknya pemerintahan kolonial tidak senang salah seorang pegawainya turut bergerak di bidang nasionalisme, betapapun lunaknya.
Elite
Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo termasuk kalangan atas (elite) priyayi. Mereka memimpin rakyat Indonesia untuk pemerintahan tertinggi Belanda dan mereka kebanyakan berasal dari kaum bangsawan. Para bupati, yang merupakan priyayi terpenting, menjalankan kekuasaannya dalam abad ke-19 itu hampir-hampir seperti dewa. Namun sebagai pegawai pamong praja, bupati diawasi ketat oleh pegawai-pegawai pemerintah Belanda seperti residen, asisten residen, dan kontrolir.
Para kepala rakyat mempunyai kedudukan yang khas. Mereka merupakan suatu mata rantai antara pemerintah Nederlandsch Indie di Batavia serta rakyat di desa dan karenanya mereka adalah sokoguru dalam roda kolonial. Rakyat patuh kepada bupati dan bupati patuh kepada pemerintah. Soetardjo naik dalam kariernya sampai patih Grissee (Gresik); patih adalah tangan kanan bupati.
Pada peralihan abad, terjadi beberapa perubahan yang drastis dalam sistem kolonial. Terbentuklah elite baru yang terdiri dari kaum muda terpelajar Indonesia yang mendapat pengaruh dari nasionalisme. Unsur-unsur radikal seperti Sukarno dan Hatta ingin mencapai kemerdekaan secepatnya dan mereka tidak bersedia kerja sama dengan pemerintah kolonial.
Bagian terbesar elite tersebut berpendapat bahwa perubahan-perubahan secara bertahap adalah lebih nyata dan mereka pun bersedia untuk berunding dengan pemerintah atau memangku suatu jabatan. Soetardjo memang ingin mengubah sistem pamong praja. Ia kesal terhadap pengawasan yang ketat oleh pegawai Eropa pada pegawai bumiputra, karena hal itu sangat membatasi kedudukan para priyayi.
Dalam sistem yang berlaku pada saat itu seorang bupati tidak dapat membela kepentingan rakyat. Dalam pada itu kaum nasionalis yang masuk organisasi mulai tampil sebagai pemimpin-pemimpin rakyat yang baru. Mereka menuduh pihak priyayi berkhianat terhadap rakyat dan "menjualnya" kepada pihak kolonial melalui kerja sama dengan mereka. Pihak priyayi--dipimpin oleh Soetardjo--menyadari bahwa secara tradisional kewibawaan mereka terancam.
Modern
Soetardjo berusaha mengatasi masalah tersebut dengan cara yang modern. Bersama dengan bupati Bandung Wiranatakusuma, ia mendirikan Perhimpunan Pegawai Binnenlands Besturr (PPBB) di tahun 1929. Perhimpunan tersebut berkembang dan mempunyai 4800 anggota termasuk sejumlah besar para bupati.
Di tahun 1931 PPBB menduduki 7 kursi di Volksraad. Soetardjo menggunakan Volksraad bukan saja untuk kepentingan penentuan gaji para pegawai bumiputra lima tahun kemudian ia merasa sudah tiba saatnya untuk tampil sebagai wakil segenap rakyat Indonesia. Petisi diajukannya atas namanya sendiri dengan cara yang berhati-hati sekali agar mendapat dukungan yang sebesar-besarnya dari Volksraad. Ia mengusulkan suatu pertemuan antara para wakil Belanda dan Nederlandsch Indie untuk membuat rencana pemberian kemerdekaan kepada Indonesia dalam jangka waktu 10 tahun atau menurut hasil perundingan nanti dalam batas undang-undang dasar.
Di Volksraad, Petisi diterima dengan 26 suara pro dan 20 anti. Soetardjo mendapat dukungan kelompok Indo-Eropa dan hampir semua anggota Indonesia. Kaum nasionalis yang anti, berpendapat bahwa petisi yang lunak itu merugikan perjuangan kemerdekaan, sedangka pihak priyayi semuanya pro.
Yang diinginkan Soetardjo adalah Indie yang otonom dengan parlemen yang sah, dipilih oleh rakyat dan para menteri yang bertanggung jawab terhadap parlemen. Perbedaan antara pimpinan Eropa dan bumiputra harus ditiadakan.
Mula-mula reaksi pers kolonial berkisar dari dingin (koran Indo) sampai menolak (koran Eropa). Tetapi setelah pimpinan s.k. "Pemandangan" Tabrani secara luas memperkenalkan Petisi, hal itu berubah. Dengan karangan-karangan Tabrani yang bersifat membela, pers jadi antusias.
Ia mengusulkan pendirian sebuah Komite yang terdiri dari orang Indonesia--di luar ikatan partai--untuk menyebarluaskan Petisi dan mengerahkan pendapat umum di Nederlandsch Indie dan negeri Belanda. Pada tanggal 5 Oktober 1937 berdirilah "Central Comite Petitie Soetardjo", yang diketuai Soetardjo sendiri. Semula ia agak ragu-ragu karena ia tahu benar bahwa pemerintah kolonial tidak menyetujui kegiatan yang demikian oleh seorang priyayi.
Komite mengeluarkan bermacam penerbitan dan menjalankan aksi tanda tangan. Pada waktu itu aksi semacam itu masih kurang dikenal dan hanya sejumlah orang saja yang mau memberikan tanda tangan mereka. Sebaliknya rapat-rapat umum Komite merupakan sukses yang besar.
Sayang sekali pendapat umum di negeri Belanda sukar untuk dikerahkan karena perhatian terhadap soal-soal kolonial tidak begitu besar. Bagian terbesar di Tweede Kamer mengikuti pendapat Premier Colijn dan menteri Koloni-nya Welter. Colijn mulai kariernya di Indie dan pernah juga menjadi Menteri daerah jajahan. Ia berpendapat secara keseluruhan Indie belum matang untuk mendapat kemerdekaan dan pendapatnya itu juga dianut oleh Gubernur Jenderal Indie Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Terus terang saja, Petisi tidak begitu diperhatikan oleh mereka dan seolah-olah disingkirkan oleh Colijn. Baru pada tanggal 16 November 1938 petisi ditolak berdasarkan Keputusan Kerajaan. "Indie" sangat kecewa.
Komite Petisi memang berhasil sekali dalam hal kerja sama dan dukungan rakyat. Rasa kecewa tentang penolakan tersebut akhirnya merupakan suatu jalan bagi partai-partai nasional untuk mencapai persatuan yang telah lama mereka dambakan. Mereka lalu mendirikan GAPI yang menampung semua partai dan mulai beraksi untuk mencapai suatu parlemen yang sah. Pada tanggal 11 Mei 1939 Komite Petisi akhirnya dibubarkan.
Kecewa
Soetardjo merasa sangat kecewa mengenai penolakan Petisinya. Pemerintah kolonial memperlihatkan lagi bahwa mereka tidak mampu menilai kekuatan nasional sebagaimana mestinya. Sebenarnya petisi Soetardjo menawarkan kesempatan kepada pemerintah untuk memberikan bentuk yang tersendiri kepada kolonialismenya melalui kerja sama dengan pihak Indonesia yang bersedia. Tetapi pihak Belanda tetap bersitegang pada cara berpikir kolonial abad yang lalu. Dengan demikian lambat laun kaum priyayi di Jawa terpaksa mundur terhadap para pemimpin nasionalis dan makin dekatlah kemerdekaan di ambang pintu.
Akhirnya karena kecewa atas sikap pemerintah kolonial, Soetardjo bergabung dengan pihak nasionalis. Soetardjo menjadi Gubernur Jawa Barat dalam Republik Indonesia. Namanya sudah dilupakan orang(?). Ia berdiri di antara penguasa kolonial dan kaum nasionalis. Memang, pemerintah kolonial kehilangan kesempatan untuk menggunakan pandangan-pandangan tajam Soetardjo. ***
Sumber: Sinar Harapan, 31 Juli 1986
Komentar
Posting Komentar