Langsung ke konten utama

Makna Persatuan dan Kesatuan Bangsa

Oleh: H. Anton DJAWAMAKU

CSIS


Realita kita sebagai suatu masyarakat majemuk menyebabkan persoalan mengenai persatuan dan kesatuan bangsa, akan tetap aktual sepanjang sejarah Bangsa dan Negara. Dewasa ini kadar aktualitas persoalan persatuan dan kesatuan bangsa terasa semakin meningkat, oleh karena sebagai bangsa, kita semua berada dalam suatu proses penataan kembali seluruh kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan kita sesuai kehendak konstitusi 1945. Dalam pada itu muncul kekhawatiran di sementara kalangan masyarakat kita. Mereka beranggapan bahwa membangun masyarakat Indonesia yang majemuk berarti memberikan kemungkinan sebesar-besarnya kepada kemajemukan itu untuk berkembang. Anggapan ini sebenarnya mengabaikan hakikat masyarakat kita: masyarakat "bhinneka tunggal ika". Berkaitan dengan hal itu kiranya perlu ditelaah apa makna persatuan dan kesatuan bangsa atau persatuan Indonesia, sila ketiga Pancasila.


Makna Persatuan dan Kesatuan dalam Kebangkitan Nasional

Masa kebangkitan nasional diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Semenjak itu bermunculan berbagai organisasi pergerakan yang beraneka ragam, bentuk, dan coraknya. Budi Utomo pada mulanya lebih merupakan pergerakan kultural daripada politis, untuk membentuk identitas kultural yang sama sebagai landasan perjuangan kebangsaan. Kesadaran kultural itu segera disambut dengan berdirinya Indische Partij pada tahun 1912, suatu organisasi politik yang pertama sekali mengembangkan cita-cita kemerdekaan tanah air dan bangsa serta menentang diskriminasi. Semangat dan cita-cita kebangsaan yang telah disingkap ini, terus disulut oleh Ir. Soekarno dengan PNI-nya dengan mengobar-ngobarkan perasaan nasionalisme ke seluruh lapisan masyarakat. Usaha Soekarno dkk berhasil, sehingga perasaan nasionalisme mulai merayap menjiwai seluruh rakyat.

Pada sisi yang lain terjadi dinamika yang menyatukan organisasi-organisasi pergerakan yang beraneka ragam itu. Bentuk yang paling awal tampak di dalam "Radicale Concentratie" pada tahun 1918, yaitu persatuan wakil-wakil bumi putra dalam Volksraad. Keinsyafan akan mutlak perlunya persatuan guna mensukseskan perjuangan kemerdekaan telah mendorong berdirinya Permupakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada bulan Desember 1927. Untuk menghindari perselisihan paham di dalamnya, hal-hal yang dianggap rawan seperti keagamaan dan asas perhimpunan tidak dibicarakan. Kemunduran PPPKI telah mendorong pembentukan GAPI (Gabungan Organisasi-organisasi Politik Indonesia) pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta. Dalam Kongres GAPI tahun 1941 terbentuklah Majelis Rakyat Indonesia, sebagai badan perwakilan seluruh rakyat. Dalam majelis ini duduk wakil-wakil GAPI, MIAI (federasi organisasi-organisasi agama Islam) dan PVPN (federasi perkumpulan-perkumpulan serikat sekerja dan pegawai negeri). Dibandingkan dengan PPPKI, perkembangan persatuan yang tercapai di dalam GAPI tampaknya lebih maju.

Proses integratif juga tampak dalam organisasi-organisasi pergerakan kepemudaan. Dalam Kongres Pemuda ke-I pada tahun 1926 di Jakarta terbentuklah organisasi Pemuda Indonesia yang merupakan hasil peleburan dari pelbagai organisasi pemuda yang pada waktu itu umumnya bersifat kedaerahan. Dalam Kongres Pemuda ke-II tahun 1928, konsep kebangsaan yang menjadi landasan dan cita-cita perjuangan semua organisasi pergerakan, mulai menemukan perumusan yang nyata pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Inti Sumpah Pemuda adalah tekad untuk bersatu dengan ikrar mengaku bertumpah darah satu, Tanah Indonesia; mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Di samping itu juga dinyatakan keyakinan bahwa persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya, yakni: Kemauan, Sejarah, Hukum Adat serta Pendidikan dan Kepanduan.

Dinamika perjuangan bangsa terus bergerak dalam zaman pendudukan Jepang, meskipun periode ini merupakan masa yang amat berat dalam sejarah bangsa Indonesia. Langkah-langkah politik yang diambil Jepang dalam menghadapi kapitulasinya, justru semakin mematangkan dan memacu gerakan perjuangan kemerdekaan. Oleh karena itu setelah Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), masalah pokok yang pertama-tama dibahas dalam badan ini adalah dasar Indonesia Merdeka. Dalam pembahasan itu diketahui ada tiga aliran ideologi yang saling bertarung. Yaitu ideologi kebangsaan menghendaki agar kebangsaan menjadi sadar negara; ideologi Islam menghendaki agar Islam menjadi dasar negara; dan ideologi Barat Modern Sekular yang menghendaki dimasukkannya hak-hak dasar manusia di dalam konstitusi Negara.

Hasil kompromi antara golongan kebangsaan dan penganut aliran Barat Modern Sekuler, tampak di dalam pasal-pasal yang memuat hak dan kewajiban asasi warga negara di dalam Undang Undang Dasar. Akan tetapi dimuatnya pasal-pasal tersebut merupakan bagian yang dirasakan tidak bertentangan dengan alam pikiran kekeluargaan dan kedaulatan rakyat yang dipertahankan oleh golongan kebangsaan. Sedangkan kompromi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam, menghasilkan rancangan Pembukaan Undang Undang Dasar yang kemudian dikenal sebagai "Piagam Jakarta". Akan tetapi hasil kompromi ini ternyata ditolak oleh sebagian golongan kebangsaan yang beraliran keras. Walaupun Soekarno meminta kesediaan mereka untuk memufakati hasil kompromi itu, tetapi tampaknya tidak menyelesaikan persoalan.

Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 terjadi perkembangan-perkembangan penting yang berkenaan dengan dasar negara Indonesia Merdeka yang baru diproklamasikan itu. Mengawali sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, wakil Ketua Moh. Hatta menyampaikan keterangan bahwa Pembukaan Undang Undang Dasar, sebagaimana telah disetujui oleh BPUPKI mengalami perubahan, berupa dihilangkanya kata-kata: " ... dengan kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeluk-pemeluknja". Atas dasar itu perubahan-perubahan terjadi pula pada beberapa bagian dari Batang Tubuh Undang Undang Dasar. Yaitu pasal 29 ayat (1) diubah menjadi: "Negara berdasarkan atas ke-Tuhan-an jang Maha Esa" dan pasal 6 ayat (1) menjadi: "Presiden ialah orang Indonesia aseli". Kata-kata: " ... yang beragama Islam", dicoret.

Menurut Moh. Hatta perubahan yang dilakukan itu setelah mendapat persetujuan berbagai golongan dan dengan pertimbangan bahwa dalam suatu penyataan pokok mengenai seluruh bangsa sebaiknya tidak ditempatkan suatu hal yang hanya mengenai sebagian rakyat Indonesia, sekalipun bagian yang terbesar. Pencoretan yang dilakukan adalah untuk menjaga persatuan bangsa dan keutuhan seluruh wilayah Indonesia. Di dalam sidang Bung Hatta mengatakan: "Oleh karena hasrat kita semua jalah menjatakan bangsa Indonesia seluruhnya, supaja dalam masa jang genting ini kita mewudjudkan persatuan jang bulat, maka pasal-pasal jang bertentangan dikeluarkan dari Undang Undang Dasar. Inilah perubahan jang maha penting menjatukan segala bangsa." Selanjutnya masih ada perubahan yang hanya bersifat penegasan. Setelah disetujui semua anggota, Pembukaan itu lalu disahkan. Demikian juga halnya dengan Undang Undang Dasar (Batang Tubuh Undang Undang Dasar). Dengan begitu maka seluruh konstitusi Undang Undang Dasar 1945 menjadi acuan besama seluruh golongan, seluruh rakyat.

Dari uraian-uraian di atas tampaklah bahwa periode kebangkitan nasional itu ditandai dengan tumbuhnya organisasi-organisasi pergerakan yang beraneka ragam, menunjukkan sifat kebhinnekaannya. Akan tetapi dalam kebhinnekaan itu tumbuh dan berkembang sangat kuat dinamika yang integratif. Suatu dinamika yang berusaha menyatukan dan mengatasi kebhinnekaan dan keanekaragaman itu. Yang tumbuh untuk menyatukan dan mengatasi kebhinnekaan itu adalah konsep kebangsaan Indonesia yang pada mulanya tampak dalam Sumpah Pemuda. Konsep kebangsaan lalu menjadi acuan bangsa Indonesia seluruhnya, setelah pasal-pasal yang tidak mencakup bangsa Indonesia seluruhnya atau yang bertentangan dengan peraturan, dihapuskan dari naskah rancangan Undang Undang Dasar. Dengan demikian dapatlah ditarik benang merah dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasan Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena keseluruhannya itu merupakan perwujudan dari konsep kebangsaan yang otentik, yang murni.


Makna Persatuan dan Kesatuan Setelah Kemerdekaan

Dengan disahkannya Undang Undang Dasar pada tanggal 18 Agustus 1945, Negara Proklamasi memiliki Konstitusi Negara. Konstitusi ini terdiri dari tiga bagian dan diundangkan di dalam Berita Negara RI Nomor 7 tahun 1946. Pembukaan dan Batang Tubuh dimuat sebagai Lampiran I, sedangkan Penjelasannya dimuat sebagai Lampiran II dari Berita RI tersebut. Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 memuat Pancasila, ideologi Negara yang mengandung cita-cita kenegaraan dan cita-cita hukum, selanjutnya dijabarkan di dalam pasal-pasal Undang Undang Dasar. Penjelasan merupakan uraian ideologi kebangsaan mengenai Konstitusi Negara RI. Undang Undang Dasar dan Penjelasannya itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan konsitusi tersebut.

Dari sejarah penyusunannya, diketahui bahwa ideologi negara itu adalah suatu hasil kompromi, hasil dari musyawarah yang telah dilakukan secara panjang lebar sampai akhirnya diterima oleh semua pihak sebagai dasar negara Indonesia Merdeka. Dengan demikian dasar negara RI ini adalah suatu konsensus yang harus dipegang teguh untuk mencegah terjadinya perpecahan, ketegangan dan konflik sosial, dan untuk memelihara persatuan dan perdamaian antar golongan. Dalam keadaan demikian, Pancasila berfungsi mempersatukan berbagai golongan dan aliran pemikiran yang ada di bumi Indonesia. Dalam pengertian ini, Pancasila berfungsi sebagai dinamik inti bagi segala golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.

Konsensus itu dicapai tidak hanya karena semua pihak secara mendalam menyadari perlunya persatuan, tetapi juga karena Pancasila memuat unsur-unsur yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia. Dengan perkataan lain Pancasila dapat diterima oleh semua pihak karena memuat unsur-unsur bersama, sehingga masing-masing dapat melihatnya sebagai miliknya, sebagai bagian penting dari pandangan hidupnya. Di samping itu Pancasila adalah suatu sintese antara dasar-dasar kenegaraan yang telah terbukti kebenarannya sepanjang sejarah dan apa yang baik dan berguna dari tradisi hidup kebangsaan Indonesia untuk menyusun suatu tertib negara modern.

Dengan demikian Pancasila bukan hanya sebagai wadah, sekaligus juga isi. Kedua hal ini hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Ibarat sekeping mata uang dengan dua sisi yang berbeda. Dari sudut isi, Pancasila tidak sekadar nama dan rumus mengenai dasar negara, sumber hukum, dan ideologi. Akan tetapi Pancasila adalah satu kesatuan ideologi negara yang memuat pula ajaran-ajaran mengenai negara, hukum, dan mengenai manusia dan masyarakat. Dalam pengertian sebagai satu kesatuan ideologi ini, Pancasila menjadi wadah, menjadi kerangka acuan bagi seluruh rakyat, seluruh lapisan masyarakat. Jadi Pancasila mempersatukan pelbagai golongan masyarakat bangsa Indonesia, mempersatukan pelbagai kebhinnekaan yang ada.

Dengan fungsi persatuan, sesungguhnya telah terkandung kesadaran adanya kebhinnekaan dalam masyarakat kita. Oleh karena itu sila ketiga Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Persatuan tetap diusahakan dan kebhinnekaan dipertahankan, sejauh kebhinnekaan itu tidak merongrong dan merugikan persatuan. Dalam wadah Negara Kesatuan yang berdasarkan Pancasila, negara menjalankan fungsi persatuan. Negara melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara Pancasila menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Suatu kesatuan bangsa yang menurut Konstitusi 1945 tidak hanya terdiri dari suku-suku bangsa, tetapi juga golongan peranakan yang menghendaki Indonesia Merdeka dan mencintai Indonesia sebagai tanah airnya.

Dalam perkembangan sejarah ternyata menunjukkan bahwa kebhinnekaan itu terus tumbuh dan kadang-kadang disintegratif. Berdirinya banyak partai politik setelah kemerdekaan, menyebabkan kelompok-kelompok politik lebih berorientasi kepada ideologinya masing-masing. Ideologi nasional tidak menjadi kerangka acuan. Bahkan konflik ideologi muncul secara terbuka dan memuncak dalam Sidang Konstituante 1956-1959 di Bandung. Sementara itu gerakan-gerakan separatis seperti Darul Islam, PRRI/Permesta, mengancam status Negara Kesatuan. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kita kembali kepada UUD 1945. Ini berarti bahwa krisis terhadap status konstitusional dapat diakhiri. 

Walaupun demikian ternyata konflik ideologi masih terus berlangsung. Oleh karena dalam konsiderans Dekrit 5 Juli itu terdapat pernyataan mengenai Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena Presiden Soekarno memberikan kompromi ideologis kepada golongan ideologis komunis dengan mengetengahkan konsepsi NASAKOM. Pertarungan ideologis yang dipentaskan dalam periode setelah Dekrit, akhirnya bermuara pada pemberontakan G-30-S/PKI.

Orde Baru bangkit dengan tekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sikap itu tak jelas dalam penghayatan dan pengalaman Pancasila dan UUD 1945. Dalam Orde Baru dilaksanakanlah pembangunan nasional berdasarkan Pancasila, meliputi pembangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Pembangunan nasional ini dilaksanakan dalam suatu wawasan kebangsaan, yaitu Wawasan Nusantara. Dalam wawasan ini dengan jelas dinyatakan bahwa Indonesia adalah satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan.

Untuk tetap memungkinkan berjalannya pembangunan nasional secara berkelanjutan, Orde Baru mengupayakan jalinan timbal-balik secara dinamis integralistik antara pembangunan nasional dan ketahanan nasional. Yaitu berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan nasional. Selanjutnya ketahanan nasional yang tangguh akan lebih mendorong lagi pembangunan nasional. Dan yang lebih penting lagi, Orde Baru menegaskan bahwa pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila dan Pancasila menjadi satu-satunya asas bagi semua kekuatan sosial politik, termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan.

Upaya-upaya Orde Baru itu merupakan bagian yang konsisten dari proses pemantapan kehidupan kebangsaan. Dengan demikian sekali lagi tampak adanya jalinan benang merah tentang konsep kebangsaan di dalam Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, UUD 1945, Pembangunan Nasional, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional. Cita-cita kebangsaan yang telah menyatukan itu adalah cita-cita yang dinamis dan kreatif. Kebangsaan itu tumbuh dan berkembang terus dalam sejarah dan membentuk sejarah hidup dan kehidupan kita bangsa Indonesia.


Penutup

Masyarakat kita adalah masyarakat bhinneka tunggal ika. Dalam seluruh proses perkembangan sejarah bangsa, kebhinnekaan tumbuh berjalinan dengan ketunggalikaan. Proses inilah yang selanjutnya berkembang, melahirkan Sumpah Pemuda, di mana dinyatakan kebulatan tekad membangun dan mewujudkan Indonesia sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, didasarkan atas persamaan sejarah dan perjuangan. Adalah cita-cita kebangsaan ini pula yang selanjutnya mengantarkan perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaannya, sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, serta mendirikan negaranya sebagai satu negara kebangsaan, dengan satu dasar negara kebangsaan dan satu ideologi kebangsaan: Pancasila dan UUD 1945. 

Karena masyarakat kita adalah bhinneka tunggal ika, maka kebhinnekaan memang mudah sekali cenderung menjadi faktor disintegratif. Apalagi kalau salah satu faktor kebhinnekaan kemudian dikembangtumbuhkan untuk dipaksakan menjadi acuan yang sifatnya nasional, menyeluruh, semesta.

Hal inilah satu dan lain hal yang tampak di dalam pergumulan politik dan ideologi yang tidak kunjung berhenti di dalam sejarah kehidupan kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan kita, baik pada tataran formal maupun pada tataran nonformal. Di dalam cita-cita kebangsaan sesungguhnya kebhinnekaan akan dapat mengalami perkembangan yang sebaik-baiknya dengan keserasian di dalam ketunggalikaan bangsa Indonesia.

Persatuan dan kesatuan yang dibina dan dikembangkan dewasa ini, adalah dalam makna membina dan mengembangkan secara positif dan kreatif, kebhinnekaan yang terjalin dalam ketunggalikaan. Persatuan yang dimaksudkan dalam hal ini tiada lain adalah jiwa, semangat, dinamik ini, yang membuat semua orang, semua golongan, merasa sebagai satu bangsa, satu kesatuan. Sedangkan kesatuan adalah wadah yang memungkinkan jiwa, semangat, dan dinamik inti yang mendorong persatuan itu, berfungsi secara utuh sepenuhnya. Persatuan dan kesatuan yang tumbuh dan berkembang secara acuan kebangsaan, baik dalam wujud dasar negara, konstitusi, ideologi dan pandangan hidup bangsa itu, bukanlah persatuan dan kesatuan yang mematikan, membekukan.

Menyadari makna persatuan dan kesatuan sedalam-dalamnya, Ki Hadjar Dewantara menyatakan: Kita tidak menyatukan yang memang tidak dapat disatukan. Kita tidak pula menyatukan yang memang tidak perlu disatukan. Persatuan dalam hal-hal yang sungguh-sungguh menyatukan itulah dasar asasinya. Kebhinnekaan masyarakat Indonesia memang disatukan di dalam kenyataan bahwa kita adalah satu bangsa, kita adalah bagian dari umat manusia, bahkan kita disatukan oleh sejarah, oleh kebudayaan, disatukan dalam satu negara kebangsaan, satu pandangan kebangsaan, satu dasar negara dan satu ideologi nasional: Pancasila.

Di dalam persatuan dan kesatuan kehidupan kebangsaan, kenegaraan, dan kemasyarakatan kita, kebhinnekaan berkembang tanpa menjadi faktor disintegratif. Kebhinnekaan berkembang tanpa menumbuhkan sekat-sekat pengkotakan kehidupan bersama.

Kebhinnekaan tumbuh dan dijauhkan dari segala bentuk diskriminasi. Kebhinnekaan berkembang di dalam interaksi dan interelasi yang kreatif dan dinamis, menjadi kenyataan yang memperkaya, memperkuat kehidupan kita, sebagai satu bangsa, dalam satu negara dan satu masyarakat. Ini juga salah satu tantangan kita bersama, yaitu membangun kualitas bangsa Indonesia dengan menyatukan secara dinamis dan kreatif berbagai macam kemajemukan yang terkandung di dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri. * * *


Sumber: Suara Karya, 19 Maret 1985


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...