Langsung ke konten utama

Indonesia Menjelang Perang Pasifik (1) Maeda Berteman dengan Jenderal Wenninger Pangkalan Surabaya Menjadi Sasaran

Oleh: H ROSIHAN ANWAR

TANGGAL 20 Oktober 1940 berakhirlah perundingan di Betawi antara delegasi Jepang yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian Kobayashi dengan delegasi Belanda yang dipimpin oleh Dr. H. J. van Mook, Direktur Urusan Ekonomi Hindia Belanda. Dalam perundingan itu dicapai persetujuan tentang penjualan minyak oleh Belanda kepada Jepang sejumlah 1.419.500 ton. Persetujuan yang lebih umum sifatnya ditentang oleh pihak Belanda.

Pada waktu itu Belanda telah mampu memecahkan rahasia kode (sandi) Kementerian Luarnegeri Jepang, sehingga mengetahui apa sebenarnya tujuan missi Kobayashi ke Betawi. Tujuannya ialah sejauh mungkin menunda persenjataan Hindia Belanda dengan jalan memberikan keterangan bersifat damai, mencegah jangan sampai Hindia Belanda dalam hal timbulnya sengketa lalu menghancurkan ladang-ladang minyak, membujuk Hindia Belanda jangan mengadakan kontak terlalu erat dengan Inggris dan Amerika, akan tetapi menggabungkan diri kepada orde baru Jepang di Asia, akhirnya memajukan leveransi bahan-bahan baku penting untuk ekonomi perang Jepang.

Belanda dapat membaca ini dalam kawat-kawat dari Tokyo yang disadapnya, dan pencegatan-pencegatan ini dinamakannya "sybillijnen". Inggris mengetahui kode tentara Jepang, sedangkan Amerika Serikat menamakan kawat-kawat Jepang yang dicegatnya "magics". Cerita tentang pemecahan kode Jepang ini dapat dibaca dalam buku "Tien jaren Japans gowroet in Nederlandsch-Indie" yang diterbitkan sebelum pecahnya Perang Pasifik oleh Dienst Oost-Aziatische Zaken, Batavia.

Dr. Ogawa Pelatih Spion

PADA Dinas Urusan Asia Timur (Jepang dan Cina) atau Dienst Oost Aziatische Zaken (O.A.Z.) di Betawi tahun 1940 terdapat E-afdeling yang tugasnya mengamati dan mencatat penetrasi (penyusupan) dan aksi subversif Jepang di Hindia Belanda. Menurut O.A.Z. penetrasi terpusat pada lima bidang yaitu (1) Aksi dan propaganda anti Belanda yang dilancarkan dari Jepang, (2) Propaganda dalam Hindia Belanda atau ditujukan terhadap orang-orang Indonesia yang mengunjungi Jepang, (3) Penetrasi ekonomi, (4) Spionase, (5) Aktivitas subversi konsulat-konsulat Jepang dan para anggora missi-missi Jepang.

Setelah pecah perang di Eropah bulan September 1939 dengan penyerbuan Nazi Jerman ke Polandia, Jepang mengadakan tekanan terhadap pemerintah Belanda mempertahankan keadaan yang ada atau status quo di Hindia Belanda. Bersama dengan itu dalam pers Jepang dilakukan propaganda pan-Asia. 

Pada bulan Oktober 1940 Menteri Luarnegeri Jepang Matsuoka menerangkan adalah menjadi tugas Jepang membebaskan bangsa-bangsa Asia Timur dari belenggu mereka. Tahun 1940 itu didirikan di Tokyo Federasi Untuk Pembebasan Rakyat Asia Tenggara, ditokohi oleh Dr. Ogawa yang pernah mengepalai sebuah lembaga tempat mendidik para spion Jepang. Pada masa itu propaganda antikolonial dan pan-Asia tidak saja dilancarkan terhadap Inggris, tetapi juga terhadap Hindia Belanda.

Sinar Selatan di Semarang

PROPAGANDA Jepang selanjutnya ditujukan terhadap para mahasiswa Indonesia yang berada di Jepang. Walau bukan negeri Islam, Jepang bertindak sebagai pelindung Islam dan melancarkan propaganda pan-Islam. Di Kobe dan Tokyo dibuka mesjid-mesjid baru. Kitab Qur'an dicetak di Jepang. Di Hindia Belanda dicoba menimbulkan suasana pro Jepang dengan jalan mempengaruhi pers Indonesia. Di Semarang dengan bantuan modal Jepang dan dua orang wartawan Indonesia didirikan suratkabar "Sinar Selatan". Dalam koran ini secara teratur dimuat tulisan-tulisan yang bersifat kritis terhadap keadaan di Hindia Belanda.

Sebuah alat yang dipakai untuk mempengaruhi penduduk Indonesia ialah kampanye desas-desus. Pegawai-pegawai Indonesia yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Jepang dipergunakan sebagai penyebar desas-desus (sas-sus). Dalam sas-sus ditunjukkan betapa angkatan bersenjata Jepang tidak dapat dikalahkan, sebaliknya betapa lemahnya keadaan Hindia Belanda. Salah satu tema yang suka dipakai dalam kampanye sas-sus ini ialah ramalan Joyoboyo yaitu bahwa Jawa setelah diperintah sebentar oleh suatu bangsa berkulit kuning akan menjadi merdeka. Sudah barang tentu propaganda radio tidak diabaikan. Tiap hari Radio Tokyo dan radio Jepang di Formosa (Taiwan) memancarkan siaran berita dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Indonesia. Dalam siaran Melayu secara sistematis penduduk pribumi dihasut untuk menentang pemerintah Hindia Belanda.

Penetrasi ekonomi Jepang sudah dimulai sejak tahun 1930-an, tatkala Jepang melemparkan barang-barangnya yang murah harganya di pasar Hindia Belanda. Karena waktu itu sedang zaman "malaise" (kritis), dengan sendirinya barang-barang murah Jepang gampang memperoleh pembeli di kalangan penduduk pribumi. Para nelayan Jepang sudah bertahun-tahun lamanya aktif di perairan Nusantara. Menurut buku "Tien Jaren Japans Gewroet in Nederlandsch-Indie", jumlah nelayan Jepang pada awal tahun 1940 yang beroperasi di Indonesia ialah 4000 orang yang terbagi atas 500 buah kapal. Menurut aktivitas dan relasi mereka, maka armada nelayan Jepang itu dapat dianggap sebagai pelopor Angkatan Laut Dai Nippon. Mereka aktif dekat pulau Dobo antara Timor dengan Australia, di perairan sebelah Timur Laut Sulawesi, sebelah Timur Kalimantan, di pintu Selat Makassar dan di sekitar Singapura. Para nelayan Jepang itu sering menimbulkan insiden-insiden. Mereka melakukan terror terhadap penduduk pribumi setempat. Mereka melawan marine Belanda, bila kapal mereka ditahan.

Nyonya Kohatsu di Irian

PENETRASI ekonomi sebagai unsur dari penetrasi politik dan militer juga dijalankan oleh perusahaan-perusahaan besar Jepang di bidang pertanian, kehutanan, dan pertambangan yang didukung oleh pemerintah Jepang. Sebuah perusahaan paling besar ialah Nanyo Kohatsu Kabushiki Kaisha yang menanam kapas di Nieuw Guinea. Karena Nieu Guinea (kini Irian Jaya) tidak cocok untuk penanaman kapas, maka usaha itu gagal secara ekonomi. Namun perusahaan itu memperoleh perhatian istimewa dari Angkatan Laut Jepang dan mempunyai dana yang besar. Minat perhatian militer perusahaan ini dilukiskan oleh sebuah surat dari direktur di Tokyo kepada manager di Nieuw Guinea yang diterakan dalam buku "Tien Jaren Japans Gewroet in Nederlandsch-Indie" sebagai Dokumen V. Di situ disebutkan tentang pembukaan jaring penerbangan Tokyo - Palao (ibukota salah satu kepulauan mandat Jepang yang terletak dekat Nieuw Guinea) yang harus diterbangi oleh pesawat-pesawat di bawah komando para perwira aktif dari Angkatan Laut Jepang. Tujuannya ialah menggalakkan ekspansi ke Nieuw Guinea.

Nanyo Kohatsu juga aktif sekali di Timor Portugis (kini Timor Timur). Perusahaan Jepang itu memiliki saham besar dalam perusahaan Portugis "Sociedade" yang punya posisi monopoli di Timor. Para ekspert Jepang datang dan menunjukkan minat khusus terhadap lapangan terbang. Tahun 1940 diputuskan mengadakan jaring penerbangan antara Palao dengan Dilly, dan bulan Mei 1941 perhubungan baru itu dibuka. Sebuah konsulat Jepang yang di antara anggota-anggotanya terdapat orang tentara dan angkatan laut Jepang didirikan di Dilly.

Di Sulawesi dan Kalimantan Nanyo Kohatsu melalui perusahaan-anaknya aktif di lapangan penerbangan kayu. Dari sensor surat yang dilaksanakan sesudah Mei 1940 ternyata semua karyawan perusahaan-perusahaan besar Jepang menganggap diri mereka sebagai alat ekspansi militer Jepang.

(BERSAMBUNG)



Sumber: Pikiran Rakyat, 12 November 1984



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baodeh-pun Berbahasa Arab Prokem

"E nte cari rumah si Ali? Itu dia, shebe  (bapak) dan ajus (ibu)-nya ada di bed  (rumah)," kata seorang pemuda keturunan Cina di Jalan Kejayaan, Kelurahan Krukut, Jakarta Barat kepada wartawan Republika  yang bertanya kepadanya. Baodeh  (keturunan Cina) di sini, khususnya yang telah bergaul dengan jamaah , memang bisa berbahasa Arab sehari-hari. Hal yang sama juga terjadi di Kampung Pekojan, yang juga dikenal sebagai perkampungan Arab. Tapi tidak hanya baodeh  yang terpengaruh. "Kami juga menjadi akrab dengan bahasa Cina sehari-hari," kata beberapa pemuda keturunan Arab yang berhasil ditemui. Dalam buku Kampung Tua di Jakarta  terbitan Pemda DKI Jakarta, disebutkan akibat adanya tiga etnis golongan penduduk Kampung Krukut, yakni Betawi, Arab, dan Cina. Disadari atau tidak, mereka telah terlibat dalam suatu usaha interaksi serta penyesuaian diri dalam lingkungan masyarakat mereka. Kata-kata ane  (saya), ente  (kamu), fulus  (uang), tafran ...

Dr. Danudirjo Setiabudi

Dr. Danudirdjo Setiabudi  adalah nama Indonesia dari Dr. Ernest F. E. Douwes Dekker. Beberapa waktu yang lalu, pemerintah memberikan gelar kepada Danudirjo sebagai Perintis Perkembangan Pers Indonesia, bersama beberapa orang yang lain yang berjasa. Kalau pemerintah menganggap Danudirjo sebagai perintis perkembangan pers Indonesia, maka sebenarnya jasa beliau lebih besar dari itu. Beliau adalah pendekar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bersama Suwardi Suryaningrat (K. H. Dewantara) dan Dr. Cipto Mangunkusumo, mereka disebut Tiga Serangkai, karena mereka bertiga bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan bangsa lewat wadah Indische Partij. Danudirjo Setiabudi lahir pada tahun 1879 di sebuah kota kecil di Jawa Timur yakni Pasuruan. Setelah berhasil menamatkan sekolah menengahnya dan sekolah lanjutannya di Indonesia, Danurdirjo pergi ke Eropa dan melanjutkan pelajarannya, kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Zurich (Swiss). Sejak bocah, Danudirjo telah memiliki jiwa kemerdekaan yang...

Seni dan Budaya Jadi Medium Awal

Seni dan budaya menjadi medium dakwah para penyebar Islam pertama di Pulau Jawa. Wali sanga menjadikan seni dan budaya sebagai medium penyampai ajaran Islam, saat masyarakat Jawa pada masa itu masih dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha. Dakwah seperti ini pun berhasil. D i sejumlah daerah pesisir utara Pulau Jawa, karakter Islam yang pada masa awal kedatangannya di Nusantara membangun harmoni dengan adat dan budaya masyarakat setempat terlihat jelas hingga saat ini. Di Masjid Menara Kudus, Jawa Tengah, yang pada masa lalu jadi pusat dakwah Sunan Kudus, misalnya, kini masih bisa dilihat bukti arsitektur Jawa-Hindu. Masjid Menara Kudus dengan tinggi sekitar 17 meter itu diperkirakan dibangun pada 19 Rajab 956 Hijriyah atau sekitar tahun 1549. Akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa-Hndu di masjid itu mewujud dalam bentuk bangunan menara. Kaki menaranya menyerupai Candi Jago di Malang, Jawa Timur. Candi itu dibuat pada masa Kerajaan Singasari. Bagian tubuh hingga atap Masjid Menara Kudu...

Cheng Ho dan Tiga Teori Jangkar Raksasa

S EBAGAIMANA catatan sejarah, pelayaran Laksamana Cheng Ho menyimpan berjuta kisah sejarah yang sangat menarik di nusantara. Tidak saja karena kebetulan petinggi kekaisaran Mongol yang menguasai daratan Tiongkok dari abad ke-13 sampai ke-17 itu beragama Islam, tetapi ekspedisi laut pada abad ke-15 Masehi itu membawa pengaruh politik dan budaya sangat besar. Jejak sejarah tinggalan ekspedisi Cheng Ho yang merupakan duta intenasional Kaisar Yongle, generasi ketiga keturunan Kaisar Ming dari Mongol yang menguasai daratan Tiongkok, tersebar di sepanjang Pulau Jawa bagian utara. Hinggi kini, jejak-jejak arkeologis, historis, sosiologis, dan kultur dari ekspedisi laut laksamana yang memiliki nama Islam Haji Mahmud Shams ini, bertebaran di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Di Cirebon armada kapalnya sempat singgah dan menetap sebelum melanjutkan perjalanan ke arah timur dan mendarat di pelabuhan yang kini masuk wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah. Laksamana Cheng Ho datang pada masa akhir...

Manunggaling Ilmu dan Laku

Alkisah ada seorang bocah pribumi yang telaten dan fasih membaca buku-buku tentang kesusastraan dan keagamaan, baik dalam bahasa Jawa, Melayu, Belanda, Jerman, maupun Latin. Bocah ini sanggup melafalkan dengan apik puisi-puisi Virgilius dalam bahasa Latin. Oleh  BANDUNG MAWARDI K etelatenan belajar mengantarkan bocah ini menjadi sosok yang fenomenal dalam tradisi intelektual di Indonesia dan Eropa. Bocah dari Jawa itu dikenal dengan nama Sosrokartono. Herry A Poeze (1986) mencatat, Sosrokartono pada puncak intelektualitasnya di Eropa menguasai sembilan bahasa Timur dan 17 bahasa Barat. Kompetensi intelektualitasnya itu dibarengi dengan publikasi tulisan dan pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh kunci dalam lingkungan intelektual di Belanda. Sosrokartono pun mendapat julukan "Pangeran Jawa" sebagai ungkapan untuk sosok intelektual-priayi dari Hindia Belanda. Biografi intelektual pribumi pada saat itu memang tak bebas dari bayang-bayang kolonial. Sosrokartono pun tumbuh dalam ...

Hari ini, 36 tahun lalu: Bom atom pertama dicoba di Alamogordo

Jalannya sejarah bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia mungkin akan berbeda kalau tidak ada peristiwa yang terjadi 16 Juli, 36 tahun lalu. Pada hari itu Amerika Serikat membuka babak baru di dalam teknik, yakni berhasil meledakkan bom atom di New Mexico, tepatnya di Alamogordo. Percobaan yang berhasil ini telah memungkinkan Amerika Serikat menghasilkan bom atom lainnya yang dijatuhkan atas Hiroshima dan Nagasaki. Ketakutan akan akibat bom atom ini telah membuat Jepang ketakutan dan menyerah kepada sekutu, pada 14 Agustus 1945. Jauh-jauh hari sebelum bom atom pertama diledakkan di gurun Alamogordo itu, kurang lebih enam tahun sebelumnya Presiden Franklin D. Roosevelt menerima sepucuk surat dari Dr. Albert Einstein yang isinya mengenai kemungkinan pembuatan bom uranium yang kemampuannya sangat besar. Surat itulah yang kemudian melahirkan suatu proyek yang sangat dirahasiakan dan hanya kalangan kecil yang mengenalnya dengan nama Manhattan Engineer District di bawah pimpinan Mayor...

Menjaga Prasyarat Hidup Bersatu

Komitmen persatuan, seperti yang disepakati pada 28 Oktober 1928, hadir dengan sejumlah prasyarat. Setelah 90 tahun berlalu, kini dibutuhkan penanda-penanda baru untuk makin mengeratkan persatuan bangsa Indonesia. P rasasti besar di Gedung Sumpah Pemuda, Jakarta, mengingatkan bahwa selain kesepakatan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa pada 90 tahun silam, para pemuda juga menyepakati lima prasyarat. Ironisnya, lima prasyarat yang menjadi dasar dari persatuan yang saat itu disepakati tersebut kini sering luput dari perhatian. Lima prasyarat itu adalah kemauan, bahasa, hukum adat, serta pendidikan dan kepanduan. Mengapa lima prasyarat itu menjadi konsepsi yang juga dicantumkan secara tegas di dalam naskah putusan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928? Buku 45 Tahun Sumpah Pemuda  mencatat lima hal itu sebagai dasar terjadinya persatuan. "Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia. Mengelu...